Pemburu Harimau Sumatera di Hutan Leuser Banyak dari Luar Aceh

13 November 2018 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
ADVERTISEMENT
Ibnu Hasyim mengeleng-gelengkan kepalanya saat menatap lebatnya hutan leuser dari balik kaca mobil. Manager Database Forum Konservasi Leuser (FKL) itu kehabisan akal, saat mengingat maraknya aktivitas perburuan yang mengusik populasi harimau Sumatera di hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.
ADVERTISEMENT
“Kenapa ada orang yang keji membunuh harimau,” ucap Ibnu saat mengunjungi kawasan koridor Harimau di Beutong, Nagan Raya, Aceh, selasa (13/11).
Penyebab aksi perburuan harimau itu salah satunya karena tergiur uang yang dihasilkan. Para pemburu itu juga mayoritas dilakukan oleh orang dari luar Aceh. Meski demikian, Ibnu tak memungkiri bahwa orang Aceh sendiri ikut terlibat di dalamnya.
“Kalau sekarang ini tidak bisa percaya 100 persen kalau orang Aceh itu tidak ikut terlibat. Namun sejauh ini dari hasil data yang kita temukan, banyak pemburu itu berasal dari luar Aceh. Kalau ini terus dibiarkan maka harimau Sumatera kita akan punah,” ucapnya.
Dari data hasil patroli yang dilakukan oleh dua tim ranger di kawasan Beutong sejak Juli 2017 hingga September 2018. Ditemukan jumlah kasus perburuan sebanyak 74 kasus. Di antaranya, ditemukan aktivitas pemburu sebanyak 8 orang, 40 kamp pemburu, dan jerat atau perangkap harimau sebanyak 77 kasus.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, sejak kurun waktu beberapa tahun terakhir, FKL telah mengumpulkan sebanyak 5.000 lebih perangkap atau jerat harimau di seluruh areal dalam hutan KEL. Mulai dari jerat tali nilon hingga jerat seling yang dibuat dari baja dengan ukuran kecil dan besar. Jerat ini merupakan hasil temuan yang dilakukan oleh para ranger saat berpatroli di dalam hutan.
“Keseluruh jerat yang kita temukan ini bisa dipastikan memang untuk menangkap dan memburu harimau,” ucapnya.
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Anggota FKL dan ranger tidak memiliki wewenang untuk menangkap para pemburu di lapangan. Mereka hanya bertugas untuk memantau dan menjaga kawasan Leuser serta satwa yang ada di dalamnya.
Para ranger yang berpatroli akan mencatat setiap temuan baik hal mencurigakan seperti gerak-gerik pemburu dan bekas jejak satwa. Kemudian hasil temuan itu disampaikan kepada tim FKL sebagai bahan data hasil temua per bulannya.
ADVERTISEMENT
“Umumnya kita mengumpulkan data itu untuk melihat bagaimana persebaran harimau itu sendiri dari setiap bulan ke bulannya. Apabila terjadi kekhawatiran terhadap aksi pemburuan dan kerusakan hutan maka data temuan itu kita serahkan kepada pihak berwenang baik data satwa liar maupun data aktivitas ilegal yang kita temukan di lapangan,” ujar Ibnu.
“Pasukan ranger kita juga diwajibkan untuk membersihkan jerat dan perangkap yang ditemukan dalam HL atau KEL. Kita juga mewajibkan anggota di lapangan untuk safety first, sebenarnya tugas FKL hanya sampai disitu,” tambahnya.
Ibnu menjelaskan, para anggota yang bekerja di lapangan tidak menemukan adanya kendala yang berarti. Hanya saja faktor alam di mana rute yang ditempuh setiap bulannya berbeda-beda. Hambatan itu terjadi di alam, lantaran faktor geografis dan kondisi kontur yang tinggi dan curam mengakibatkan para ranger di lapagan kewalahan.
ADVERTISEMENT
“Di beberapa lokasi itu yang berada di atas ketinggian 2000 an, ranger harus bisa menghabiskan waktu selama 25 hari untuk mencapai lokasi tujuan. Itulah hambatan yang sering kita alami,” pungkasnya.
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
Masa Depan Harimau Sumatera di Aceh
Maraknya perburuan harimau Sumatera menurut Ibnu, disebabkan oleh faktor budaya dan kearifan lokal yang hilang di tengah masyarakat serta pengaruh nilai ekonomis dari harga jual kulit harimau itu sendiri.
Ibnu menjelaskan, orang tua dan nenek moyang Aceh zaman dulu terkenal dengan kearifan lokalnya di mana mereka bersahabat dengan harimau. Menurut kisah orang tua terdahulu,harimau dipercaya sebagai penjaga hutan.
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menilik Jejak Masa Depan Harimau Sumatera di Hutan Aceh. (Foto: Zuhri Noviandi/kumparan)
“Orang tua dulunya menganggap harimau itu sebagai kawan atau sahabat. Tapi kenapa saat ini banyak yang menganggap harimau itu menjadi hama. Orang dulu tidak mengincar uang dengan cara menjual kulit harimau. Makanya saya bilang ada pergeseran nilai, orang sekarang mengincar atau membunuh harimau karena kulitnya itu memang nilai jualnya sangat fantastis,” kata Ibnu.
ADVERTISEMENT
Ibnu mengajak semua pihak terkait dan aktivis lingkungan untuk sama-sama menjaga satwa kunci yang masih tersisa di hutan Aceh ini. Karena jika tidak, seiring berjalan waktu hewan ini akan punah.
“Kalau tidak dimulai dari sekarang untuk penyelamatannya maka sangat besar peluangnya untuk punah. Sejatinya rumah yang paling bagus untuk harimau itu adalah berada di KEL. Dari seluruh kawasan di Sumatera, hutan yang paling bagus saat ini adanya di sana. Apabila di KEL ini terjadi tekanan yang sangat kuat. Maka saya tidak tahu lagi di mana rumah harimau itu yang paling bagus,” imbuhnya.