Ketika Tan Malaka Bersatu dengan Sang Guru dan Panglima

Eri Nugroho
Pengajar di Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Seorang pembelajar penuh waktu.
Konten dari Pengguna
2 Mei 2023 6:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Eri Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tan Malaka Muda. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Tan Malaka Muda. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Memperingati Hari Buruh International dengan membaca sejarah tentang dua tokoh pahlawan terbaik republik. Tan Malaka, dan Jenderal Soedirman.
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 1 Mei diperingati bersama sebagai Hari Buruh Internasional (May Day). Hari yang lahir dari berbagai peristiwa perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis dan hak-hak industrial.
Setelahnya, tanggal 2 Mei kita peringati bersama sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hari yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk merayakan kelahiran sang filosof Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.
Kedua hari tersebut memiliki sejarah-panjang, banyak sekali rentetan peristiwa historis Hari Buruh maupun Hardiknas. Terlepas dari itu semua, saya tertarik untuk memperingati dan merayakan hari buruh beserta hari pendidikan nasional ini, dengan membuka kembali sejarah antara sang Bapak Republik dan sang Jenderal.
Jenderal Soedirman. Foto: Shutter Stock
Dua orang legenda Indonesia. Satunya seorang bara-api revolusioner, satu yang lain adalah gerilyawan-taktis. Membahas kedua tokoh ini memanglah sangat memikat, pesona sejarah keduanya juga menarik untuk dibaca kembali. Pertama, sang Ideolog besar yakni Tan Malaka dan Kedua, sang Jenderal adalah Soedirman.
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, Tan Malaka dan Soedirman pernah berdampingan dan berdekatan. Bukan dalam konteks romantisme pria-dan-pria, tapi pada konteks perjuangan bangsa. Sepintas, memang kalau dilihat dari spektrum politik, menyandingkan kedua sosok tersebut tidaklah estetik. Tidak pas. Tidak cetho. Namun, ternyata mereka pernah dekat, pernah serasi dan bersama-sama berjuang menyelesaikan tugas revolusi Bangsa.
Mari kita membaca kedua tokoh tersebut secara runtut. Seperti penulisan angka dalam kalender bulan mei, dimulai dari 1 Mei, berikutnya 2 Mei. Satu mei dahulu, dua mei kemudian. Hari buruh dahulu, hari pendidikan kemudian. Maka, Tan Malaka dahulu, Jendral Soedirman kemudian.

Tan Malaka dan Buruh

Barangkali memang kebiasaan apabila orang yang idelais-revolusioner berangkat dari hidup melarat dalam kondisi depresi ekonomi keluarga, diasingkan, dan menjadi pelarian. Begitupun Tan Malaka, Ia anak dari keluarga Buruh.
ADVERTISEMENT
Ayahnya adalah Rasad Cinago, seorang buruh tani. Kekurangan dan kemisikinan tidak asing bagi hidup Tan Malaka. Untuk melanjutkan studinya saja, biayanya dibantu oleh sumbangan para tetua Nagari Pandan Gadang Suliki dan seorang guru Belanda, bernama Honresma. (Rudolf Marzek, Semesta Tan Malaka)
Setelah menyelesaikan studi di Belanda. Ia menjadi seorang guru, profesi yang dicita-citakan. Ia mengajar anak dari kuli kontrak buruh perkembunan teh di Deli Sumatra Barat. Saat proses mengajar, Tan Malaka melihat banyak ketimpangan dan perlakuan buruk yang diterima oleh buruh perkebunan. Hal ini membuat Tan melakukan ingin melakukan perubahan-perubahan besar, untuk mengentaskan ketimpangan yang ada.
Perubahan-perubahan besar yang ingin Tan lakukan demi membela ketimpangan yang terjadi, ia tuliskan dengan detail, dalam karya-karyanya. Salah satunya, yakni Aksi Massa (1926). Dalam catatan tersebut, Tan mengawali uraian tulisannya dengan gagah berani, Asia sudah bangun! Dilanjutkan dengan pengantar yang menjelaskan kondisi geo-politik yang terjadi.
Tan Malaka (ilustrasi). Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan
Singkatnya, dalam uraian tersebut, Tan Malaka mengkritik kaum terpelajar, jangan sampai aksi massa yang dilakoni bukan atas nama buruh, dan rakyat, ataupun bukan untuk massa banyak. Jangan sampai menjadi gerombolan elite, Tan menyebutnya, Putch. Gerombolan yang membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri, tanpa peduli kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Pembelaan Tan terhadap buruh dan orang tertindas memang tidak perlu diragukan lagi. Melalui karya-karyanya tersebut layak diakui, bahwa Tan ini memang seorang yang matang dalam menangkap realitas. Perjuangan agar dapat terjadi perubahan besar pada masyarakat perlu perencanaan yang taktis, tidak tergesa sehingga berakhir sia-sia.
Dalam perjuangannya tersebut, pelarian dan keterasingan menjadi bagian hidup Tan Malaka. Gonta-ganti nama Ia lakukan untuk bersembunyi. Dicari-diancam-ditodong sudah biasa. Nomaden dari negeri Belanda, Jerman, Rusia, Kanton, Filipina hingga Singapura ia lakukan. Hidupnya, sengsara dalam pelarian. Tercatat jelas dalam bukunya, dari penjara ke penjara. Ia mengatakan : banyak perubahan terjadi dalam hidup saya, dimana jasmani menderita karena kekurangan. Rohani dalam kungkungan lahir dan batin.
Dalam berjuang, dia selalu berada didalam barisan rakyat. Dia terbiasa membaur. Saat merayakan proklamasi kemerdekaan saja, dia memilih untuk menjadi aktor balik layar dan menjadi seorang supporter yang bertepuk tangan. Jalan sunyi tersebut mau dilakukan dilakukan atas nama, buruh, rakyat dan bangsa.
ADVERTISEMENT

Guru itu, Bernama Soedirman

patung Jenderal Soedirman. Foto: Dok.Universitas Jenderal Soedirman
Agak aneh rasanya, seorang panglima besar (pangsar) kita ganti panggilannya sebagai seorang guru. Hal ini dikarenakan kita lebih mengenal sosok beliau sebagai seorang prajurit. Karisma dan wibawanya memang tinggi. Tak salah jika beliau terpilih sebagai panglima TNI termuda.
Namun, siapa sangka panglima tersebut adalah mantan guru sekolah dasar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Dalam biografi Sudirman Prajurit Teladan tertulis “Untuk mencukupi kebutuhan dan biaya hidupnya, dia aktif sebagai guru di HIS Muhammadiyah Cilacap.”
Secara akademis, memang soedirman tercatat hanya lulusan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wirotomo. Tidak seperti Tan Malaka, ia tidak memiliki ijazah seorang guru, yakni HIK (Hollandsch Indlansche Kweekschool).
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
Ia memiliki kemampuan mengajar, setelah berguru ilmu keguruan kepada R. Mokh. Kholil dan pengalaman membimbing anak anak dalam kepanduan HW (Hizbul Wathan) atau pramukanya Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Modalnya menjadi seorang guru hanya ikhlas, kesadaran dan tanggung jawab. Mengutip biografinya kembali dikatakan bahwa “Bagi Soedirman pekerjaan sebagai guru didasarkan atas keikhlasan dan kesadaran serta rasa tanggung jawab akan pentingnya pendidikan.”
Soedirman besar menjadi seorang guru yang populer, disukai murid-muridnya. Dikarenakan cara pengajarannya yang mudah untuk dimengerti. Ketekunan Soedirman dan perhatian serius yang diberikan kepada pendidikan menjadikan Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah di HIS Muhammadiyah Cilacap.

Purwokerto Menyala, Sang Bara-api Revolusi dan Sang Jendral bertemu

4 Januari 1946. Purwokerto menyala, orang-orang berduyun-duyun menyaksikan tamu yang akan datang. Societeit, dipenuhi oleh wakil dari 141 organisasi politik, organisasi kemasyarakatan dan laskar. Rakyat berdesakan dan antusias.
Peristiwa itu juga dihadiri elite politik pimpinan pusat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Partai Buruh, Hizbullah, dan Masyumi. Panglima besar Soedirman juga berada di tengah-tengah mereka.
ADVERTISEMENT
Tan Malaka, membangun persatuan perjuangan di Purwokerto. Tan malaka, mengagasnya untuk menentang politik diplomasi pemerintah, melawan kapitalisme dan penjajahan serta untuk menggapai kesejahteraan.
Harry A. Poeze dalam bukunya menggambarkan peserta rapat terdiam ketika Tan naik podium. Tan menyampaikan tentang tuntutan merdeka 100 persen, merupakan sebuah tuntutan mutlak.
Adam Malik Foto: Dok. Kemdikbud
Pada kongres tersebut, sang guru sekaligus sang jenderal sepakat dengan tuntutan tan malaka. Ia juga ikut meledak dalam gagap-gemilangnya kongres persatuan perjuangan :”Lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100 persen.”
Tan malaka dan Soedirman akhirnya bertemu, mereka bersepakat dan menentang politik diplomasi. Mereka memilih menjadi oposisi pemerintah syahrir. Harry A. Poeze, mengatakan bahwa sosok Tan-Soedirman mempunyai banyak persamaan pendapat dan Ideologi.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut juga dikuatkan oleh Adam Malik, dalam buku Mengabdi pada Republik Jilid II, menyebut mereka berdua adalah Dwi Tunggal. Ia menyamakan hubungan kedua tokoh tersebut seperti: Soekarno-hatta ataupun Sjahrir-Amir Sjarifuddin.
Dengan demikian, cerita antara Tan Malaka dan Soedirman diperingati dan dirayakan. Mereka akan terus bertemu di bulan Mei, ini. Peringatan hari buruh dilanjutkan peringatan hari pendidikan. Antara aktivis pembela buruh dan sang guru Muhammadiyah. Jalan temu keduanya bermuara pada: Mengupayakan merdeka 100 persen, untuk bangsanya.