Konten dari Pengguna

Toko Buku, Penerbit, dan Lembaran-lembaran Penunjang Literasi

Erlangga Pratama
Mahasiswa jurnalistik di Jatinangor, Sumedang.
26 Mei 2018 14:29 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erlangga Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toko Buku, Penerbit, dan Lembaran-lembaran Penunjang Literasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun 2016 menjadi tahun yang cukup menohok bagi Indonesia, khususnya perihal literasi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara perihal tingkat literasi membaca masyarakat. Peringkat Indonesia diapit olrh Bostwana di urutan 61 dan Thailand di urutan 59. Survei diadakan oleh Central Connecticut State University pada 2016 lalu.
ADVERTISEMENT
Pada 2012 lembaga bernama PISA atau Programme for International Student Assesment menunjukkan hasil yang buruk bagi peringkat literasi membaca masyarakat Indonesia. Indonesia berada di peringkat 60 dari 65 negara yang lembaga tersebut teliti. Padahal, survei yang dilakukan oleh lembaga yang sama pada 2009, Indonesia berada di tempat yang sedikit “mendingan” yaitu 57.
Secara rincian, Indonesia mendapakan skor sejumlah 396 yang didapat berdasarkan indikator gabungan antara penilaian memahami, menggunakan, dan merefleksikan bacaan. Sementara itu, skor rata-rata internasional yang ditetapkan PISA sendiri sejumlah 500.
Buruknya tingkat literasi membaca masyarakat Indonesia yang direfleksikan angka-angka di atas berpengaruh juga ke industri perbukuan. Salah satu toko buku ternama, Aksara Indonesia, akhir-akhir ini menyatakan telah menutup dua toko bukunya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Aksara Indonesia, gulung tikarnya toko buku juga melanda beberapa toko bahkan di Bandung, salah satunya Toko Buku Djawa. Toko buku tersebut kini bertransformasi menjadi kedai kopi bernama Kopi Toko Djawa.
“Penjualan buku ritel tidak pernah mudah di Jakarta, atau belahan mana pun di dunia,” seperti yang tercatat di keterangan salah satu gambar Instagram Aksara Indonesia.
Ilustrasi Wanita Membaca Buku. (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wanita Membaca Buku. (Foto: Pexels)
Beberapa gerobak jualan berjejeran sembari menahan teriknya panas siang itu. Penjual es goyobod sesekali mengusap keringatnya dengan handuk kering yang mengalungi lehernya. Begitupun dengan tukang siomay yang sedang menyajikan batagor, kol rebus, telor, dan makanan lainnya ke dalam sebuah plastik bening.
Para penjual tersebut berteduh di atas sebuah pohon dengan daun yang rindang, sebuah pohon tersebut mengakar di sebuah halaman kantor penerbitan bernama Nuansa Cendekia Bandung.
ADVERTISEMENT
Bangunan tersebut berukuran sedang, tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah lainnya di sekitar Jalan Sukup Baru, Ujungberung. Di sebelah pintu masuk utama, terlihat tiga pegawai menggunakan kemeja kantor berwarna hijau cerah sedang mengangkat buku-buku dari ruangan penyimpanan ke boks yang terdapat di area belakang mobil.
Sekitaran gedung penerbitan tersebut dikelilingi banyak tanaman bunga dan rerumputan. Begitupun di dalam ruangan tamu kantor yang dihiasi beberapa bunga hias dan tentunya buku-buku hasil terbitannya.
Mathori A Elwa, editor buku Penerbit Nuansa Cendekia kelahiran Magelang, 6 September 1966 menyambut dengan kemeja kantor berwara cokelat oranye. Dengan logat khas Jawanya, ia kemudian menunjukkan buku apa saja yang Penerbit Nuansa Cendekia terbitkan.
Penerbit Nuansa Cendekia sendiri merupakan penerbitan buku yang berdiri sejak tahun 2000 serta konsisten dalam menerbitkan berbagai buku, baik fiksi maupun non-fiksi. “Di sini ada buku kuliah, sekolah, sastra, banyak pokoknya,” ujarnya sembari menunjukkan beberapa buku yang terpampang di sebuah etalase.
ADVERTISEMENT
Angka literasi membaca masyarakat Indonesia yang menurun, serta banyaknya toko buku yang tutup, lantas mempengaruhi aktivitas penerbitan. Mathori berucap, penerbitan dan percetakan buku juga mengalami banyak kendala yang berimbas pada penurunan angka pencetakan.
Menurutnya selain e-book, masyarakat juga lebih memilih membeli pulsa atau biaya internet dibandingkan buku yang memiliki harga relatif sama atau tidak jauh berbeda.
Tambahnya, melimpahnya informasi di internet membuat orang-orang jarang menganggap buku sebagai sumber utama mencari informasi. Oleh karena itu, buku semacam ensiklopedi sudah jarang lagi ada di pasaran karena informasinya mudah didapatkan di internet.
Berbeda dengan beberapa tahun lalu, menurutnya angka penjualan buku terus menurun. Biasanya, Penerbit Nuansa Cendekia mencetak hingga 5000 buku per judul, sementara kini hanya sekitar 1000 hingga 1500 tergantung kepada target dan permintaan pasar.
ADVERTISEMENT
“Tergantung juga habisnya, ada yang cepat ada juga yang bertahun-tahun enggak habis-habis,” kata lulusan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.
Ilustrasi buku-buku. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku-buku. (Foto: Pixabay)
Di tempat lain, sebuah pohon jambu pun menjulang tidak terlalu tinggi di halaman kantor tempat Penerbit Fokusmedia Bandung menetap. Dasar halaman kantor dihiasi lantai-lantai yang tersusun dari batu-batu kecil. Batu-batu kecil terdiri dari berbagai warna, beberapanya membentuk sebuah formasi huruf “FM” yang merupakan singkatan dari Fokusmedia.
Suasana sepi pun menyelimuti kantor yang telah beraktivitas sejak tahun 2000 tersebut. Fokusmedia merupakan penerbitan buku cetak, khususnya buku pemerintahan, perundang-undangan, hukum, dan agama.
“Selamat siang dari Fokusmedia Publishing ada yang bisa kami bantu?” ujar seorang pegawai administrasi bernama Fitri beberapa detik setelah telepon berdering yang kemudian ia angkat gagangnya.
ADVERTISEMENT
Suasana senyap kemudian berubah menjadi ramai, setelah Afrizal datang dan menyapa serta bertanya-tanya ke beberapa pegawai yang ada di ruangan tersebut.
Laki-laki kelahiran Bukittingi, Sumatera Barat, 5 Mei 1965 tersebut berucap perkembangan teknologi ialah penyebab utama kemerosotan aktivitas penerbitannya, khususnya internet di mana mampu menyediakan banyak informasi umum yang biasanya terdapat dalam buku.
Angka percetakan buku di Fokusmedia selalu mengalami penurunan setiap tahunnya. Ia tidak bisa memungkiri kalau tuntutan peralihan teknologi juga menuntut penerbitan buku untuk bertindak inovatif. Meski demikian, menurutnya buku cetak masih banyak digemari karena keabsahan informasinya, mengingat banyak sekali informasi tidak valid bertebaran di internet.
“Ada (usaha membuat buku digital), tapi gak terlalu fokus. Kami melihat buku cetak lebih banyak dibutuhkan dibandingkan buku digital,” ujar pria kelahiran 5 Mei 1965.
ADVERTISEMENT
Penerbit Nuansa Cendekia juga tidak ingin kalah dengan tuntutan zaman yang serba digital. Meskipun belum merintis benar-benar buku versi digital, Mathori kemudian menjelaskan pemerintah sudah cukup mendukung perihal buku digital tersebut. Salah satunya dengan iPusnas di mana pemerintah membeli hak cipta buku termasuk terbitan Nuansa Cendekia lalu diubah menjadi buku digital yang bisa dipinjam secara online.
iPusnas ialah aplikasi perpustakaan digital persembahan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. iPusnas berbentuk aplikasi perpustakaan digital untuk mengakses berbagai macam buku dalam bentuk e-book.
Mathori juga menyinggung pemerintah Indonesia yang terlihat tidak terlalu peduli terhadap buku cetak, sehingga kini buku cetak dianggap mahal dan seakan-akan sulit menjangkau masyarakat. Ia menganggap, subsidi buku adalah langkah terbaik guna meningkatkan minat masyarakat membeli dan membaca buku.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah memang sejak dulu seperti menganaktirikan buku, tidak seperti olahraga atau hal lainnya,” ucap pria yang sekaligus layouter buku tersebut.
Kendala juga diutarakan Afrizal perihal bisnis penerbitan buku saat ini. Menurutnya, mahalnya bahan baku kertas diutarakan sebagai penyebab utama kenapa buku sulit sekali ditekan semurah mungkin. Hal tersebut ditambahnya sebagai pekerjaan rumah pemerintah guna mewujudkan buku yang murah, bermutu, dan merata tanpa diskriminasi di masyarakat.
“Pemerintah sendiri enggak kelihatan support-nya ke penerbitan buku atau bahan bacaan, pelaku atau produsen buku itu dibiarkan aja istilahnya ya,” ucap Afrizal dengan logat minang yang cukup kental.
Guna menghadapi sedikitnya permintaan terhadap buku cetak, Afrizal berucap agar lebih selektif lagi dalam memilih buku yang akan penerbitnya cetak. Meski demikian, Afrizal tidak menampik buku-buku perkuliahan atau referensi masih menjadi andalan penerbitnya. Selain itu, buku tentang keagamaan dan Al-Qur’an masih konsisten dicetak karena permintaan pasar yang dianggap masih ada.
Ilustrasi buku (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku (Foto: Pixabay)
Mathori juga mengkritik peran kurang bagus Ikatan Penerbi Indonesia yang menurutnya belum menerapkan langkah besar guna mendukung industri penerbitan buku cetak meningkatkan kesejahteraan. Ikapi biasanya mengadakan festival buku atau pameran buku yang menurutnya hanya menguntungkan penerbit-penerbit besar dan memiliki kekuatan finansial yang baik.
ADVERTISEMENT
“Ikapi biasanya bikin stand pameran buku, tapi ya harga sewa stand-nya mahal. Penerbit gurem bisa apa?” ujarnya sembari nampak meluap emosinya.
Meski demikian, Mathori menyatakan akan terus mempertahankan buku cetak yang dirasa masih dibutuhkan masyarakat. Buku dijelaskannya harus berisikan sesuatu yang inovatif tanpa meninggalkan kreativitas. Buku dengan kreativitas tinggi dan inovasi baru di masyarakat dianggapnya akan mampu berdaya saing semahal apapun harganya.
“Agar berdaya saing, buku harus berisikan sesuatu yang gak ada di internet,” ujarnya sembari mengangkat jari telunjuknya tanda penegasan.
Dosen Ilmpu Perpustakaan Universitas Padjadjaran, Asep Saepul Rohman, menjelaskan, buku cetak dan buku digital sama-sama diperlukan dalam langkah meliterasi masyarakat, hanya saja disesuaikan dengan kebutuhannya.
Menurutnya, masyarakat ada yang nyaman membaca degan buku cetak dan ada juga dengan membaca buku versi digital. Ia juga tidak menampik buku cetak akan lebih menguntungkan pihak percetakan atau penerbitan, terutama penerbitan yang dirasa masih sulit untuk menyesuaikan produknya menjadi buku digital.
ADVERTISEMENT
“Buku cetak mau enggak mau menggambarkan bagaimana pengetahuan yang dimiliki dan menggambarkan sejauh mana perkembangan peradaban, makanya buku cetak masih diperlukan,” kata laki-laki yang aktif dalam gerakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tersebut.
Menurutnya Asep, sapaannya, buku cetak memeliki kelebihan seperti tidak harus menggunakan alat bantu baca dan bisa memastikan penghargaan terhadap penulis buku tersebut. Namun demikian, buku digital juga dijelaskan memiliki kelebihannya sendiri seperti lebih mudah diakses, tidak ribet, dan juga dilengkapi berbagai fitur yang tidak terdapat dalam buku cetak.
Fitur audiobook juga terdapat di beberapa e-book yang tersebar di internet. Audiobook sendiri merujuk kepada kemampuan buku digital untuk menarasikan dengan suara isi buku.
Menurutnya, pemerintah Indonesia sudah cukup berusaha dalam meningkatkan literasi membaca masyarakatnya, khususnya melalui gerakan-gerakan literasi membaca. Salah satunya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) dengan cara membaca buku nonpelajaran selama 15 menit sebelum waktu belajar dimulai. Ada juga penggiatan gerakan TBM yang mendorong masyarakat di pelosok memiliki minat membaca dengan taman bacaan buku gratis.
ADVERTISEMENT
Lanjutnya, kendala yang sebenarnya dihadapi pemerintah hanyalah akses masyarakat kepada buku cetak yang sangat sulit. Asep berujar pemerintah harus mencontoh Jepang yang menyediakan buku di berbagai pelosok hingga fasilitas umum.
“Aktivitas keseharian masyarakatnya dibanjiri bacaan, baik di terminal, stasiun, pesawat, bahkan toilet,” ujarnya sembari sesekali mengetik tuts laptopnya.
Mau tidak mau perkembangan zaman menuntut teknologi juga berkembang, salah satunya dalam industri perbukuan. Nuansa Cendekia dan Fokusmedia menunjukkan bahwa internet sangat berpengaruh terhadap aktivitas percetakan menjadi lebih selektif. “Bisa bunuh diri kalau semua buku kita cetak,” Afrizal sembari mengangkat dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya lalu dilanjutkan dengan tertawa.