Mewajarkan Ketidakjujuran, Merawat Korupsi

Erlangga Pratama
Mahasiswa jurnalistik di Jatinangor, Sumedang.
Konten dari Pengguna
26 Desember 2018 20:50 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erlangga Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi e-KTP. (Foto: (Istimewa))
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi e-KTP. (Foto: (Istimewa))
ADVERTISEMENT
Korupsi bukanlah barang baru bagi bangsa besar sekelas Indonesia. Setiap tahunnya, berita utama koran hingga tayangan televisi tidak ada bosannya mengabarkan maraknya pejabat pemerintah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan korupsi.
ADVERTISEMENT
Berbagai tujuan pun dilancarkan dalam rangka mempertebal dompet sendiri. Meski demikian, kita semua sebagai rakyat tentu sepakat bahwa tindak korupsi merupakan cerminan sikap tidak terpujinya seseorang.
Siapa sih yang ingin menyangkal bahwa DPR atau DPRD merupakan sarang dari koruptor? Mulai dari akuntan, pengemudi ojek online, pedagang rokok asongan, dan lapisan masyarakat lainnya mungkin sudah beranggapan demikian. Anggapan tersebut juga tidak sepenuhnya salah.
Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan dalam kurun waktu 2004-Mei 2018 terdapat 205 tindak korupsi terjadi di badan legislatif tersebut. Tahun 2018 (hingga Mei) menjadi catatan yang paling kelam dengan 61 orang, naik 200 persen lebih dari tahun sebelumnya yang hanya 20 orang.
Pemeriksaan perdana tersangka anggota DPRD Malang, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeriksaan perdana tersangka anggota DPRD Malang, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Masih tersimpan di memori kita tentang penangkapan 45 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, yang sangat menghebohkan masyarakat. Mirisnya, angka tersebut merupakan sebagian besar atau sejumlah 90 persen dari total anggota DPRD yang dipercaya masyarakat mengatur tatanan Kota Malang. Kata lainnya, hanya 5 dari total 50 anggota DPRD yang tidak ditetapkan KPK sebagai tersangka tindak korupsi.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, KPK juga menetapkan Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniawan, usai pemeriksaan di kantor KPK pada Jumat (2/11). Taufik diduga menerima hadiah atau janji terkait anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) pada perubahan APBN Tahun Anggaran 2016. Penangkapan tersebut layaknya pembuktian kuat bahwa lembaga legislatif di Indonesia merupakan sarang korupsi, dari jabatan tertinggi hingga kroconya.
Taufik Kurniawan(Kiri) dan Setya Novanto(Kanan) (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan, Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Taufik Kurniawan(Kiri) dan Setya Novanto(Kanan) (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan, Nugroho Sejati/kumparan)
Bagi Anda yang dahulu sering menonton tayangan sinetron di televisi tentunya tidak asing dengan nama Zumi Zola. Apalagi, setelah ia juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi dengan status Gubernur atau kepala daerah Provinsi Jambi.
Selain Zumi Zola, terdapat 26 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi setidaknya hingga November 2018. “Kita patut prihatin sekali lagi terhadap salah satu pemimpin daerah,” ujar Ketua KPK, Agus Raharjo, saat menyampaikan konferensi pers soal penangkapan Bupati Pakpak Bharat, Minggu (18/11).
ADVERTISEMENT
Korupsi pun tak sekadar melingkar di pusaran pejabat pemerintah, namun juga di sektor swasta atau korporasi. Laporan tahunan KPK menyebutkan selama kurun waktu 2004-2017 jumlah koruptor yang berasal dari pihak swasta berjumlah 184 orang. Catatan tersebut ditambah dengan laporan lembaga Transparancy International Indonesia (TII) yang menyebutkan sebagian besar dari 100 perusahaan terbesar di Indonesia dinilai tidak cukup terbuka kepada publik. Perusahaan tersebut juga berpotensi gagal membuktikan program antikorupsi di internal perusahaan.
Sejak berdirinya KPK pada 2004, lembaga independenden ini telah memproses hukum 554 orang dari berbagai kalangan. Mereka antara lain 205 anggota legislatif, 100 kepala daerah, 204 orang pihak sektor swasta, 22 hakim, 7 jaksa, 4 korporasi hukum, dan 10 pengacara.
ADVERTISEMENT
Survei Global Corruption Barometer 2017 juga menyatakan sebesar 32 persen orang di Indonesia masih memilih melakukan suap untuk melancarkan usaha dan keperluannya saat harus berhadapan dengan lembaga atau birokrasi. Data tersebut setidaknya menjadi bukti rendahnya kesadaran masyarakat akan buruknya korupsi bagi masyarakat.
Pendidikan, Jawaban dari Tantangan
Pemerintah bergerak cepat untuk mengatasi besarnya angka koruptor di Indonesia. Presiden Indonesia Joko Widodo baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2018 yang berkaitan dengan penghargaan pada masyarakat yang melaporkan tindak korupsi berupa uang Rp 200 juta. PP ini memberikan ruang bagi masyarakat agar lebih getol berpartisipasi dalam memberantas korupsi.
Namun demikian, PP ini juga bisa dijadikan instrumen masyarakat menebar kebohongan dan fitnah hanya untuk uang. Solusi sebenarnya padahal ada di unsur tubuh pendidikan.
ADVERTISEMENT
Anda berbohong apabila menyatakan tidak pernah menyontek saat masa-masa sekolah. Meskipun terlalu menggeneralisir, umumnya siswa di bangku sekolah hingga mungkin universitas menjadikan praktik ini sebagai cara mendapatkan nilai tanpa harus belajar dengan keras. Kebiasaan berbohong di ranah pendidikan ini bisa menjadi cerminan buruknya pendidikan di Indonesia soal kejujuran.
Apa yang menyebabkan menyontek bisa menjadi sangat marak? Pertama, tidak adanya pengawasan dan penegakan yang tegas untuk tindakan ini. Bahkan, beberapa sekolah menganggap perilaku menyontek sebagai tindakan yang wajar di wajah pendidikan. Kedua, pelajar hanya ditekankan untuk memperoleh nilai yang tinggi, bukan sikap yang baik. Hal inilah yang menyebabkan pelajar menghalalkan segala cara untuk meraih nilai, namun meninggalkan esensi dari kejujuran dalam setiap pembelajaran itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Perilaku menyontek akan membuat pelajar menjadi malas belajar, malas merenung untuk berpikir, dan malas membaca. Padahal, pelajar adalah cerminan masa depan bangsa yang harus terus diasah sikap dan intelektualnya sehingga mampu membawa bangsa lebih berkualitas.
Tidak berhenti di sana, sikap ketidakjujuran pada diri sendiri akan terus tertanam hingga kelak dewasa. Tentunya bisa saja berakibat pada pewajaran terhadap tindak korupsi dan suap di masa depan.
Pemerintah melalui pendidikan harus giat menanamkan pentingnya nilai kejujuran dalam belajar melebihi nilai itu sendiri. Pelajar juga harus ditanamkan pemahaman bahwa sikap lebih utama dari sekadar guratan nilai di atas kertas.
Sekolah juga harus terus meningkatkan pengawasan serta penindakan yang represif sehingga tertanam dalam hatinya untuk terus berada dalam kejujruan. Korupsi tidak akan berhenti begitu saja tatkala sedini mungkin kita sudah mewajarkan ketidakjujuran di setiap aspek kehidupan. Oleh karenanya, nilai kejujuran wajib ditanamkan melebihi segalanya, khususnya di pendidikan.
ADVERTISEMENT