Suriah dan Konflik Jaringan Pipa

Irsad Ade Irawan
Cendekia Muda dari GP Ansor-Banser dan FPPI, Wakil Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta, Peneliti di Yayasan Satunama dan YLBH SIKAP
Konten dari Pengguna
5 Mei 2017 15:46 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Irsad Ade Irawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tentara Suriah membawa senjata di Aleppo (Foto: Goran Tomasevic)
Bisnis industri bahan bakar fosil/energi selain memiliki sisi positif, juga memiliki sisi negatif yang merusak. Dampak negatif industri ini misalnya berupa kerusakan lingkungan seperti polusi beracun dan pemanasan global.
ADVERTISEMENT
Selain itu, industri minyak dan bahan bakar fosil lainnya juga menjadi salah satu faktor penting penyebab kekacauan sosial, perang, terorisme, krisis pengungsi, dan hilangnya demokrasi serta hak-hak sosial, politikl, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam catatan sejarah, konflik-konflik di dunia dan Timur Tengah pada khususnya, tidak bisa dilepaskan dari geliat industri bahan bakar fosil dan energi ini.
Oleh karena itu, diperlukan analisa yang melampaui penjelasan praktik agama dan idelogi sebagai penyebab konflik dalam rangka untuk menjelaskan fenomena kebangkitan ISIS dan untuk mengetahui sumber dari kekejaman dan kebiadaban serangan teroris di Paris, San Bernardino, Moskow, dan belahan bumi lainnya yang merenggut banyak korban tidak berdosa.
Penjelasan atas fenomena ISIS dan konflik-konflik lain di Timur Tengah hendaknnya dipusatkan pada sejarah dan industri minyak/energi yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Penulis berpendapat, masalah terorisme dan konflik di Timur Tengah, juga disebabkan oleh kecenderungan militerisme dan Imperialisme Amerika Serikat (AS) serta bisnis minyak/energi.
Ilustrasi bendera Amerika Serikat (Foto: Pixabay)
Pada 8 Desember 2015 , New York Times, di halaman utamanya memberitakan pemimpin politik dan perencana strategis ISIS pada waktu itu sedang berusaha memprovakasi intervensi militer AS, yang mereka ketahui dari pengalaman, akan justru menambah sukarelawan jihadis, yang didapatkan dari seruan mereka untuk moderasi dan persatuan Islam sedunia melawan AS.
Kini, AS telah terlibat lebih jauh dalam konflik di Timur Tengah dan Suriah pada khususnya setelah Trump memerintahkan tentaranya untuk membombardir Suriah beberapa waktu yang lampau.
Untuk memahami dinamika konflik Suriah ini, perlu melihat sejarah lebih khususnya pada benih-benih konflik saat ini.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum pendudukan AS di Irak 2003 yanng memicu perlawanan Sunni (the Sunni Uprising) yang sekarang menjelma menjadi ISIS, Badan Pusat Intelijen AS (CIA) telah memilihara kelompok Jihadis sebagai suatu senjata Perang Dingin dan memperburuk hubungan AS-Suriah.
Pada dasarwarsa 1950an, Presiden Eisenhower dan Dulles bersaudara menolak proposal perjanjian Uni Soviet untuk meninggalkan Timur Tengah dan menjadikannya sebagai Zona Netral Perang Dingin serta membiarkan orang Arab mengatur kawasan Arabia.
Namun, mereka malah menggalakkan perang rahasia (clandestine war) melawan Nasionalisme Arab—yang mana Direktur CIA Allan Dulles menyamakannya dengan Komunisme—khususnya ketika negara Arab mengancam konsensi minyak bumi.
Mereka memompa bantuan militer AS secara rahasia kepada para tiran di Arab Saudi, Irak, Yordania, dan Libanon dengan memaikan boneka kelompok jihadis yang mereka kesankan sebagai anti-tesis terhadap Marxisme Soviet.
ADVERTISEMENT
Di Gedung Putih, pertemuaan antara Direktur Perencanaan CIA, Frank Wisner, and Sekretaris Negara (Secretary of State), John Foster Dulles, pada September 1957, Eisenhower menasehati CIA: “We should do everything possible to stress the ‘holy war’ aspect”
White House (Foto: Pixabay)
CIA memulai campur tangannya secara aktif di suriah pada 1949—hampir setahun setelah pembentukkan badan tersebut. Patriot Suriah telah mendeklarasikan perang kepada NAZI, mengusir penguasa kolonial Prancis Vichy, dan menciptakan demokrasi sekuler yang rapuh berdasarkan model Amerika. A
kan tetapi pada Maret 1949, Presiden Suriah yang terpilih secara demokratis, Sukhri al Kuwaiti, ragu menyetujui Trans Arabian Pipeline—sebuah pilot project AS yang diharapkan akan mampu menghubungkan ladang-ladang minyak di Arab Saudi dengan pelabuhan-pelabuhan di Libanon via Suriah.
ADVERTISEMENT
Tim Weiner, sejarawan CIA, dalam bukunya yang berjudul “Legacy of Ashes”, ia menceritakan bahwa sebagai pembalasan, CIA merekayasa sebuah kudeta, menggantikan al-Kuwait dengan diktator terpilih CIA, seorang terpidana kasus penipuan bernama Husni al-Za'im.
Al-Za'im hampir tidak sempat membubarkan parlemen dan menyetujui pipa minyak Amerika sebelum akhirnya juga digulingkan oleh rakyat Suriah, dalam 14 minggu usia kekuasaannya.
CIA (Foto: Pixabay)
Tidak hanya di Suriah, AS juga bercampur-tangan dalam politik dalam negeri Iran.
AS menyutradarai kudeta terhadap Presiden yang terpilih secara demokratis; Mohammed Mosaddegh, setelah dia mencoba renegosiasi kontrak antara Iran dengan perusahaan minyak raksasa British Petroleum (BP).
Mosaddegh adalah presiden terpilih pertama dalam 4.000 tahun sejarah Iran, dan tokoh populer yang terpilih secara demokratis di negara-negara berkembang. Mosaddegh mengusir semua diplomat Inggris setelah membongkar rencana kudeta oleh perwira intelijen Inggris yang bekerjasama (berkonspirasi) dengan BP.
ADVERTISEMENT
Tetapi Mosaddegh membuat kesalahan fatal dengan menolak saran dari penasehatnya untuk mengusir CIA, yang sesungguhnya telah diduga dengan tepat terlibat dalam plot Inggris.
Mosaddegh mengidealkan AS sebagai role model untuk demokrasi baru Iran dan tak mampu merubah pandangannya. Dengan mengenyampingkan saran Dulles, Presiden Truman melarang CIA untuk bergabung secara aktif dalam konspirasi Inggris untuk menggulingkan Mosaddegh.
Setelah Eisenhower secara resmi memasuki Gedung Putih sebagai Presiden pada Januari 1953, dia segera menggunakan cara Dulles.
Setelah menggulingkan Mossadegh melalui “Operasi Ajax,” agen Amerika Roosevelt dan Stone memasang Shah Reza Pahlevi, yang membawa angin segar bagi perusahanan minyak Amerika. Shah Reza Pahlevi inilah yang kemudian digulingkan melalui Revolusi Islam Iran pada 1979.
ADVERTISEMENT
Syah Reza Pahlavi dan Eisenhower (Foto: mediad.publicbroadcasting.net)
Setelah kesusksesan Operasi Ajax di Iran, Stone tiba di Damaskus pada April 1956 dengan dana 3 milyar pound Suriah untuk mempersenjatai dan menginisiasi kelompok militan Islam serta untuk menyuap perwira militer dan politisi Suriah agar bersedia untuk menggulingkan Rejim sekuler al-Kuwaiti yang terpilih secara demokratis.
Bekerjasama dengan Ihwanul Muslimin (the Muslim Brotherhood), Stone membuat skema untuk menghabisi Kepala Intelijen Suriah dan kepala Staf Umumnya, serta Ketua Partai Komunis.
Dia juga membuat skema untuk merekayasa “konspirasi nasional” dan provokasi bersenjata di Irak, Libanon, Yordania yang mana kesalahan akan ditimpakan kepada Ba’athists Suriah.
Rencana CIA adalah mendestabilisasi pemerintahan Suriah, dan menciptakan suatu dalih pembenar bagi invansi yang akan dilakukan oleh Iraq dan Yordania, yang pemerintahannnya sudah berada dalam kontrol CIA.
ADVERTISEMENT
Roosevelt memprediksikan pemerintah boneka yang baru saja dibentuk oleh CIA akan mengandalkan tindakan represif dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang.
Namun rencana tidak berjalan mulus, CIA gagal menyuap perwira-perwira militer Suriah. Tentara justru melaporkan usaha penyuapan oleh CIA kepada Rezim Ba’athist.
Sebagai responnya, tentara Suriah menyerbu kedutaan AS dan menjadikan Stone sebagai tawanan. Setelah diinterogasi, Stone membuat pengakuan di televisi tentang perannya dalam kudeta di Iran dan usaha CIA untuk menggulingkan Pemerintah Suriah yang sah.
Kini, berbekal dengan pengalaman-pengalaman sejarah intervensi Amerika di Timur Tengah, sulit untuk mempercayai jika intervensi Amerika dalam konflik-konflik kontemporer di Timur Tengah bermotif kemanusiaan (humanitarian).
Krisis kontemporer di Suriah tak lain adalah perang proxy yang dipicu oleh jaringan pipa minyak dan geopolitik, terdapat banyak fakta yang mendukung argumen ini.
ADVERTISEMENT
Perang proxy AS terhadap Suriah tidak dimulai dari protes sipil—yang kemudian berkembang menjadi perang sipil—pada tahun 2011 yang dikenal dengan Arab Spring.
Arab Spring (Foto: Youtube - 'Stories')
Sesungguhnya, perang AS terhadap Bashar Assad dimulai pada 2000 ketika Qatar mengajukan proposal untuk membangun jaringan pipa minyak yang bernilai 10 Trilliun dolar, sepanjang 1.500 km yang melintasi Arab Saudi, Yordania, Suriah, dan Turki.
Rencana pembangunan pipa tersebut akan menghubungkan pasar energi Eropa via terminal distribusi di Turki yang akan mendapatkan biaya transit yang sangat menguntungkan.
Jaringan pipa Qatar-Turki akan memberikan Kerajaan-kerajaan Suni di Teluk Persia dominasi dalam pasar gas dan mengungatkan Qatar, sekutu terdekat AS di dunia Arab.
Terdapat dua pangkalan militer AS yang besar di Qatar dan tempat kantor Pusat Komando Timur Tengah AS (the U.S. Central Command’s Mid-East headquarters).
ADVERTISEMENT
Uni Eropa (EU)—yang mendapatkan 30% gasnya dari Russia—tentu sangat berkepentingan dengan rencana jaringan pipa tersebut yang akan memberikan angggota-anggotanya energi murah dan bantuan posisi tawar terhadap pengaruh ekonomi-politik Vladimir Putin.
Vladimir Putin (Foto: Reuters/Sputnik/Alexei Druzhinin)
Turki, konsumen terbesar kedua Rusia, tentu saja sangat ingin mengakhiri ketergatungannya kepada Rusia yang merupakan rival tradisionalnnya dan memposisikan Turki sebagai pusat transit bahan bakar yang menguntungkan dari Asia ke pasar Eropa.
Proposal jaringan pipa Qatar ini juga akan menguntungkan Monarki Sunni Arab Saudi dengan memberikannya pijakan di wilayah Syiah yang didominasi oleh Suriah.
Tujuan geopolitik Arab Saudi berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan politik rivalnya; Iran, negara dengan mayoritas Syiah, dan sekutu dekat Bashar Assad.
Monarki Saudi melihat Pemerintah Syiah pasca Saddam di Irak yang disponsori oleh AS sebagai pelemahan atas kekuatan regionalnnya, dan Saudi telah terlibat dalam perang proxy melawan Teheran di Yaman. Bisa dilihat dari serangannya terhadap suku Houti yang dibantu oleh Iran.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, bagi Rusia yang menjual 70% ekspor gasnya ke pasar Eropa, melihat proposal jaringan pipa Qatar sebagain ancaman esensial.
Dalam pandangan Putin, jaringan pipa Qatar merupakan plot NATO untuk merubah status quo, merampas satu-satunya pijakan Rusia yang masih tersisa di Timur Tengah, mencekik ekonomi Russia, dan mengakhiri pengaruh Rusia di pasar energi Eropa.
Pada 2009, Assad mengumumkan bahwa ia akan menolak perjanjian yang akan mengizinkan jaringan pipa melewati Suriah “untuk melindungi kepentingan sekutunya Rusia”.
Assad lebih lanjut membuat marah raja-raja Sunni di Teluk dengan mendukung "Islamic Pipelinne" yang disetujui Rusia yang akan mengalir dari ladang gas Iran melalui Suriah dan pelabuhan Libanon.
"Islamic Pipeline" akan membuat Syiah Iran dan bukan Qatar Sunni, pemasok utama ke pasar energi Eropa dan secara dramatis meningkatkan pengaruh Teheran di Timur Tengah dan dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan Israel, Islamic pipeline ini berbahaya bagi keamanan dalam negerinya karena akan memperkaya Iran dan Suriah serta memperkuat proxy mereka; Hizbullah dan Hamas. Sehingga Israel juga dapat dengan mudah memutuskan untuk menggagalkan Islamic Pipeline ini.
Kabel dan laporan dari intelijen AS, Saudi, dan Israel mengindikasikan pada saat Assad menolak proposal jaringan minyak Qatar, para perencana intelijen dan militer segera berkonsensus bahwa membangkitkan suatu pemberontakan Sunni (Sunni Uprising) dalam rangka untuk menjungkalkan Bashar Assad merupakan suatu langkah yang tepat untuk mencapai target yaitu memuluskan jaringan minyak Qatar yang mempertemukan banyak irisan kepentingan tersebut.
Menurut WikiLeaks, segera setelah Bashar Assad menolak proposal jaringan minyak Qatar, CIA mulai mendanai kelompok-kelompok oposisi di Suriah.
ADVERTISEMENT
Wikileaks Flag (Foto: Wikimedia)
Menurut wartawan investigasi, Seymour Hers, keluarga Bashar Assad adalah Alawite, sekte muslim yang secara luas dipersepsikan dekat dengan Syiah.
Bashar Assad sebenarya tidak digadang menjadi Presiden Suriah. Ayahnya membawanya pulang dari sekolah medis di London, setelah kakak tertuanya, pewaris tahta, terbunuh dalam kecelakaan mobil.
Sebelum perang dimulai, menurut Hersh, Assad telah berusaha memberikan kebebasan di negaranya. Suriah memiliki internet, surat kabar, mesin ATM, dan Assad ingin bersahabat dengan Barat.
Pasca serangan di New York 2001 (9/11), Assad memberikan data kelompok-kelompok Jihadis yang tak ternilai harganya kepada CIA, yang ia pertimbangkan sebagai mutual enemy. Rezim Assad adalah sekuler dan Suriah sangat beragam.
Sebagai contoh, Pemeritah dan militer Suriah, 80% nya Sunni. Assad memelihara perdamaian di antara rakyat Suriah yang beragam dengan membentuk suatu tentara yang sangat disiplin dan setia kepada keluarga Assad, yang diamankan oleh korps perwira yang dihormati secara nasional dan dibayar tinggi, badan intellijen yang cerdas dan efisien.
ADVERTISEMENT
Sebelumya tidak ada yang percaya rezim Assad rentan terhadap anarki seperti yang telah melanda Mesir, Libia, Yaman, dan Tunisia. Euforia Arab Spring 2011 di Suriah pada mulanya hanya demonstrasi-demonstrasi damai berskala kecil untuk melawan Rezim Assad.
Namun, media Inggris Huffington Post memberitakan bahwa aksi-aksi protes di Suriah, setidaknya sebagian, didalangi oleh CIA. Kabel-kabel yang dibocorkan oleh WikiLeaks mengindikasikan CIA sudah beroperasi di Suriah.
Tetapi Kerajaan-Kerajaan Sunni menginginkan suatu keterlibatan yang lebih dalam dari AS.
US - Syria (Foto: Vox)
Pada 4 September 2013, Sekretaris Negara AS, John Kerry, menyampaikan pada hearing kongres AS bahwa Kerajaan-Kerajaan Sunni menawarkan pembiayaan bagi intervensi Amerika di Suria dalam rangka untuk menggulingkan Bashar al-Assad. John Kerry berkata:
ADVERTISEMENT
“In fact, some of them have said that if the United States is prepared to go do the whole thing, the way we’ve done it previously in other places [Iraq], they’ll carry the cost,”
Kerry mengulangi lagi tawaran tersebut kepada Representatif Florida Ileana Ros-Lehtinen (R-FL27):
“With respect to Arab countries offering to bear the costs of [an American invasion] to topple Assad, the answer is profoundly Yes, they have. The offer is on the table.”
Meskipun mendapatkan tekanan dari Republikan, Barrack Obama menolak keras pemuda-pemuda Amerika untuk mati sebagai tentara bayaran bagi konglomerat jaringan pipa. Tetapi pada akhir 2011, tekanan dari Republik dan sekutu Sunni AS telah mendorong pemerintah AS ke dalam keributan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2011, AS bergabung dengan Prancis, Qatar, Arab Saudi, Turki dan Inggris untuk membentuk "Koalisi Friends of Syria," yang secara formal menuntut pengunduran diri Assad. CIA menyediakan 6 juta dollar untuk Barada, saluran TV Inggris, untuk menghasilkan siaran-siaran tentanng pengusiran Assad.
Dokumen intelijen Saudi, yang diterbitkan oleh WikiLeaks, menunjukkan bahwa pada tahun 2012, Turki, Qatar dan Arab Saudi mempersenjatai, melatih dan mendanai pejuang Jihadis Sunni dari Suriah, Irak dan tempat lain untuk menggulingkan rezim Assad.
Qatar, yang memiliki keuntungan paling banyak, menginvestasikan 3 miliar dollar untuk membangkitkan pemberontakan dan mengundang Pentagon untuk melatih gerilyawan di pangkalan AS di Qatar.
Personel AS juga memberikan dukungan logistik dan intelijen kepada pemberontak di lapangan. The Times of London melaporkan pada 14 September 2012, CIA mempersenjatai para Jihadis dengan rudal anti-tank dan anti-pesawat terbang dan senjata lainnya dari gudang senjata Libya yang diselundupkan oleh CIA melalui jalur tikus ke Suriah melalui Turki.
ADVERTISEMENT
Menurut sebuah artikel yang diterbitkan April 2014 oleh Seymour Hersh, jalur tikus penyelundupan senjata CIA dibiayai oleh Turki, Arab Saudi dan Qatar.
Ide untuk merekayasa Perang Sipil Suni-Syiah dalam rangka untuk melemahkan rezim Iran dan Suriah dan juga untuk menjaga kendali atas suplai energi kawasan bukanlah suatu gagasan fiktif di dalam kamus Pentagon.
US Army (Foto: Pixabay)
Pada 2008, sebuah kajian dari RAND yang didanai oleh Pentagon mengusulkan sebuah cetak biru (blueprintt) “yang seharusnya terjadi”.
Menurut kajian tersebut, kontrol terhadap cadangan minyak dan gas di Teluk Persia akan tetap sebagai sebuah “prioritas strategis” bagi AS yang “akan berhubungan kuat dengan penyelenggaraan Perang Panjang”
RAND merekomendasikan penggunaan aksi tersembunyi, operasi informasi, dan peperangan non-konvensional” untuk menjalankan strategi pecah-belah dan kuasai (devide and rule).
ADVERTISEMENT
AS dan sekutu lokalnya bisa menggunakan kelompok jihadis untuk melancarkan perang proxy dan pemimpin AS juga bisa mempunyai alternatif pilihan untuk mengkapitalisasi konflik lama Sunni-Syiah dengan cara berpihak kepada rezim Sunni melawan Syiah di dunia muslim, mendukung kerajaan-kerajaan Sunni melawan Iran.
Data WikiLeaks dari periode awal 2006 menujukkan, State Department AS mendesak pemerintahan Israel, untuk membuka kerjasama dengan Turki, Qatar, dan Mesir untuk menciptakan Perang Sipil Sunni-Syiah di Suriah untuk melemahkan Iran.
Tujuan AS , menurut kabel rahasia, adalah mendorong (memprovokasi) Assad agar mengambil tindakan keras terhadap masyarakat Sunni di Suriah.
Bashar al-Assad (Foto: Reuters/Sana)
Sebagaimana yang sudah diprediksikan, reaksi berlebihan Assad terhadapap krisis yang dibuat pihak Asing—membombardir basis-basis Sunnni yang menyebabkan banyaknya korban sipil—mempolarisisasi perpecahan Sunni-Syiah di Suriah dan memberi peluang bagi pengambil kebijakan (policymakers) untuk mengaburkan fakta konflik jaringan pipa menjadi konflik kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Ketika kelompok militer Sunni di Angkatan Bersenjata (AB) Suriah mulai membelot pada 2013, koalisi Barat mempersenjatai “Free Syrian Army” (FSA) untuk mendestabilisasi Suriah lebih lanjut lagi. Gambaran tentang FSA sebagai persatuan “batalion-batalion moderat” Suriah adalah suatu khayalan semata.
Unit-unit militer pecahan AB Suriah ini kemudian menyusun kembali kekuatannya ke dalam ratusan milisi independen yang kebanyakan dikomandoi atau bersekutu dengan militan-militan jihadis yang merupakan pejuang yang paling berkomitmen dan efektif.
Kemudian, tentara Sunni Al-Qaeda/the Sunni Armies of Al Qaeda Iraq (AQI) melintasi perbatasan Iraq menuju Suriah dan menggabungkan kekuatannya dengan batalion-batalion desertir FSA, yang kebanyakan dilatih dan dipersenjatai oleh Amerika.
Ilustrasi Suriah. (Foto: SANA via AP)
Meskipun media Barat memberitakan tentang pemberontakan terhadap Rezim Assad yang dilakukan oleh kelompok “Moderat”, para perencana AS mengetahui sejak awal bahwa proxy mereka untuk konflik pipa—kelompok jihadis radikal—yang mungkin akan menggunakan sebuah “brand” baru kalifah Islam dari wilayah Sunni Suriah dan Irak.
ADVERTISEMENT
Dua tahun sebelum kemunculan ISIS yang menggegerkan dunia, berdasarkan studi yang dilakukan oleh U.S. Defense Intelligence Agency (DIA) pada 2012, Judicial Wach telah memperingatkan tentang dukungan yang dilakukan oleh AS/Koalisi Sunni kepada kelompok Jihadis Radical.
Kaum Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan AQI (sekarang ISIS) adalah kelompok utama yang menggerakan pemberontakan di Suriah. Menggunakan pendanaan dari AS dan negara Teluk, kelompok-kelompok jihadis radikal ini telah mengubah aksi-aksi damai menentang Rezim Assad menjadi konflik sektarian Syiah vs Sunni.
Hasil studi DIA menyebutkan bahwa perang sipil sektarian didukung oleh “Sunni religious and political powers”.
Studi tersebut menggambarkan konflik Suriah sebagai perang global untuk kontrol terhadap sumberdaya antara Negara-negara Barat, Teluk, dan Turki yang mendukung oposisi Suriah pada satu sisi dan Rusia, China, dan Iran yang mendukung rezim Assad pada sisi yang lain.
ADVERTISEMENT
Konflik ini sesungguhnya tak lebih dari soal perebutan energi/sumber daya alam dan pengaruhnya terhadap barganing power dalam dinamika politik internasional. Dipicu Assad yang menolak proposal jaringan pipa minyak dari Qatar yang akan menguntungkan negara-negara Barat, Teluk, dan Turki.
Alih-alih menerima proposal Qatar, Assad justru membuat berang pihak Barat da sekutunya dengan dengan mendukung "Islamic Pipelinne" yang disetujui Rusia yang akan mengalir dari ladang gas Iran melalui Suriah dan pelabuhan Libanon.
Islamic Pipeline akan membuat Syiah Iran dan bukan Qatar Sunni, pemasok utama ke pasar energi Eropa dan akan meningkatkan pengaruh Teheran di geopolitik Timur Tengah dan dunia. Hal ini yang kemudian memicu Barat dan sekutunya melancarkan proxy war terhadap Rezim Assad.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, Barat menggunakan kelompok jihadis radikal sebagai proxy mereka.