Novel Baswedan Minta Keadilan, Polisi Menunggu Rida Tuhan

Erwin Setia
Penulis cerpen dan esai.
Konten dari Pengguna
7 November 2019 15:04 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erwin Setia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Novel Baswedan Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Novel Baswedan Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan berjudul “Indonesia’s Next Election Is in April, The Islamists Have Already Won” yang tayang di The New York Times, Eka Kurniawan menyindir tentang para kontestan politik Indonesia yang berlomba-lomba bergerak ke kanan alias semakin menampakkan sisi relijiusitas (dalam hal ini Islam). Menjadi orang yang bersemangat mengamalkan nilai-nilai agama tentu baik belaka. Tapi, ada perbedaan mencolok antara ikhlas mengamalkan nilai agama dengan mengamalkan nilai agama cuma untuk menggaet simpati publik. Yang kedua inilah yang belakangan mewabah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jika sebelumnya yang doyan membawa-bawa nama Tuhan dan hal-hal agamis sebagai media penggaet suara adalah politisi, maka hari ini ada satu elemen baru yang turut mengikuti jejak politisi. Cukup hapus suku kata “ti” dari kata “politisi” dan kita akan tahu apa itu. Ya, polisi.
Ketika ditanya soal pengungkapan kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan—yang saat itu menjabat sebagai penyidik KPK—yang sudah dua tahun lebih tidak kunjung tuntas, Kadiv Humas Polri Irjen Mochammad Iqbal bicara begini kepada wartawan, Jumat (1/11), “Doakan saja insyaallah kalau Tuhan rida, kami akan segera mengungkap kasus ini.”
Duh, sungguh saya tidak dapat berkata apa-apa sewaktu pertama kali membaca pernyataan itu. Tentu tidak ada yang keliru dengan kata-kata Irjen Mochammad Iqbal. Semuanya memang tergantung rida Tuhan. Kalau kasus korupsi, pelanggaran HAM, pengrusakan lingkungan, dan berbagai macam masalah negeri ini belum juga terungkap secara jelas; jangan salahkan polisi atau pemerintah, tapi tunggu saja kehendak Tuhan, karena mungkin Tuhan belum rida!
ADVERTISEMENT
Pak Iqbal beserta jajarannya sepertinya memang mafhum betul dengan ungkapan masyhur yang berbunyi, “Manusia hanya bisa berencana, Tuhan yang menentukan.” Jadi, karena polisi juga bagian dari manusia, tentu saja mereka hanya bisa berencana. Berencana mengungkap kasus Novel Baswedan secepatnya, berencana menangkap pelakunya, dan berencana-berencana lainnya. Adapun yang berhak menentukan apakah kasus Novel bakal terungkap dan pelakunya bakal tertangkap adalah Tuhan, bukan polisi. Jangan nyalah-nyalahin polisi, dong. Yang Maha Kuasa kan cuma Tuhan.
Membawa-bawa nama Tuhan, surga-neraka, pahala-dosa pada waktu yang kurang tepat seolah-olah sudah menjadi tren di kalangan orang-orang yang berkecimpung di jagat politik. Dulu Farhat Abbas bilang yang milih Jokowi akan masuk surga, Novel Bamukmin menyuruh jemaahnya minta ke Prabowo-Sandi kalau masuk surga, dan tempo hari, mantan Mendikbud yang kini naik tingkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan bahwa sebaiknya guru honorer menikmati saja gaji mereka yang kecil supaya masuk surga.
ADVERTISEMENT
Alih-alih terlihat agamis, kelakuan para politisi dan sejenis mereka yang kerap membawa-bawa agama dan nama Tuhan lebih tampak seperti kekonyolan dan olok-olok terhadap agama dan Tuhan. Para politisi dan polisi itu menerima gaji untuk membikin kebijakan pro-rakyat dan menuntaskan kasus-kasus yang belum terungkap. Lha, sudah digaji kok melulu melimpahkan tanggung jawab ke Tuhan.
Saya jadi teringat riwayat seorang sahabat Nabi dengan orang yang ngeles agar tak kena hukuman setelah ketahuan mencuri. “Saya mencuri karena takdir Tuhan,” kata pencuri itu. Sahabat Nabi itu pun membalas, “Saya menghukummu juga karena takdir Tuhan.”
Perihal kasus Novel Baswedan memang terlihat berlarut-larut penanganannya oleh polisi. Kasus Novel Baswedan yang disiram air keras oleh orang tak dikenal sebetulnya bukan hal yang rumit-rumit betul. Sudah ada banyak clue mengenai kasus itu. Hanya polisi dan Tuhan (ya, Tuhan) yang tahu kenapa pengungkapan kasus itu berjalan lama banget.
ADVERTISEMENT
Saking lamanya, sebagian orang yang sepertinya mengalami krisis akal sehat dan nurani sampai menuduh kasus ini sebagai rekayasa. Mendengar tuduhan itu, saya jadi membayangkan kalau air keras itu disiramkan saja ke muka mereka. Biar tahu rasa.
Tapi barangkali kita memang tidak bisa menyalahkan polisi. Bagaimanapun, mereka sudah kerja keras. Sangat keras. Lebih keras dari batu purba. Mereka sudah bersusah-payah. Sangat susah dan sangat payah. Eh, maksud saya sangat bersusah-payah. Oleh karena itu, alih-alih menyinyiri mereka, kita semestinya menghaturkan apresiasi kepada mereka. Kita dukung mereka agar dapat menyelesaikan kasus tersebut dengan cepat.
Kalau dipikir-pikir, pengungkapan kasus ini baru berjalan dua tahun, kok. Belum lama-lama amat, lah. Toh masih banyak kasus-kasus lain yang penanganannya berlarut-larut sampai bertahun-tahun. Jadi, boleh dibilang polisi masih punya banyak waktu.
ADVERTISEMENT
Tunggu saja. Tunggu saja, ya. Kelak keadilan akan datang. Sabar, ya. Insyaallah kalau Tuhan rida, bakal terbongkar juga kok kasus ini. Insyaallah.