Circle Dance Lab: Gerakan Baru Koreografer Muda Jakarta

Esha Tegar Putra
Penyair, Peneliti Seni dan Budaya di Ruang Kerja Budaya & Lab. Pauh 9.
Konten dari Pengguna
19 Desember 2019 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Esha Tegar Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Circle Dance Lab mengusung "Urban Artmove" dalam rangkaian pertunjukan mereka di Goethe Haus, Jakarta, 14-15 Desember 2019.
zoom-in-whitePerbesar
Circle Dance Lab mengusung "Urban Artmove" dalam rangkaian pertunjukan mereka di Goethe Haus, Jakarta, 14-15 Desember 2019.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam sebuah catatan mengenai posisi tari dalam bangunan institusi seni Sal Murgiyanto mengemukakan bahwa tari harus membuktikan diri sebagai sebuah disiplin akademis. Pada tahapan ini, tari harus memiliki sekumpulan pokok-pokok masalah yang ditopang oleh konsep-konsep, fakta dan teori yang tertata dengan baik, sehingga dapat diajarkan secara saksama dan sistematis. Namun seiring dengan usaha untuk memosisikan tari dalam bangunan istitusi seni dan menjadikannya sebagai sebuah disiplin ilmu, beberapa persoalan turut muncul, sebagaimana diungkap Soedarsono, salah satu guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, bahwa belum adanya kesadaran penuh dari pemuda-pemudi yang berbakat tari untuk terjun menekuni bidang seni yang sangat menyenangkan ini.
ADVERTISEMENT
Para muda-mudi tersebut, menurut Soedarsono, lebih suka masuk ke lembaga-lembaga pendidikan dengan tujuan akan menjamin hidup kemudian hari. Maka tidak mengherankan di akademi-akademi seni tari banyak mahasiswa yang sebenarnya tidak memiliki bakat yang cukup sebagai utama studi mereka. Atau barangkali ada akademi tari yang karena tidak mendapat minat dari pemuda-pemudi yang berbakat tari, terpaksa menerima calon-calon tanpa bakat yang hanya terdorong oleh anggapan bahwa belajar tari itu mudah dan menyenangkan.
Pandangan Sal mengenai bagaimana posisi institusi seharusnya dan Soedarsono menyoal memartabatkan tari terhubung pada bagaimana menempatkan tari dan penari sebagai sebuah profesi yang tidak “main-main” meskipun dianggap “mudah dan menyenangkan”. Pandangan yang dikemukakan empat dekade yang lalu tersebut kondisinya sudah tentu jauh berubah. Permasalahan termasuk perspektif baru mengenai tari tentu sudah banyak perkembangan. Akan tetapi persoalan terkait profesionalitas sebagaimana diungkap Sal dan Soedarso masih relevan jika dibahas hari ini. Sal memberikan gambaran bahwa lembaga pendidikan tinggi tari dapat saja menghasilkan seniman tari prefesional dalam beberapa pengertian: (1). Dibutuhkan kerja dan latihan-latihan ekstra keras dari para mahasiswa; (2) Dibutuhkan bakat dan bekal yang memadai dari mahasiswa: (3) Dengan kesadaran bahwa setidaknya ia telah kehilangan sebagian usia mudanya sebelum memulai kehidupannya sebagai penari profesional; (4) Dibutuhkan pertunjukan secara periodik sebagai pertanggungjawaban artistik dari lembaga pendidikan yang bersangkutan terhadap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Persoalan profesinalitas dalam dunia tari agaknya hari ini juga masih menjadi pertanyaan penting bagi sekelompok koreografer muda di Jakarta yang tergabung dalam Circle Dance Lab—tentu istilah koreografer ini belum muncul pada saat catatan Sal dan Soedarsono muncul, periode tersebut masih diistilahkan “penata tari”. Circle Dance Lab, jika boleh diistilahkah sebagai sebuah platform, menghubungkan belasan koreografer muda yang dalam beberapa tahun terakhir mendedikasikan dirinya dalam dunia tari. Baik sebagai penari dalam beberapa pertunjukan tari garapan koreografer “senior” atau menghadirkan garapan sendiri. Persoalan yang tampak dan berusaha mereka hadapi agaknya lebih komplit lagi dari sekadar mempertanyakan persoalan profesionalitas. Josh Marcy, Ketua Circle Dance Lab menemukan dua persoalan penting khususnya bagi koreografer muda dalam platform yang sedang mereka jalankan: terkait pertanyaan soal “bentuk” (akar) penghadiran karya dan struktur produksi dalam sebuah karya.
ADVERTISEMENT
Circle Dance Lab sendiri berawal dari sebuah unit kegiatan di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) meskipun dalam perjalanannya kemudian menjadi platform kolektif yang menghimpun tidak saja koreografer muda (atau penari) yang mempunyai basis akademik tari di IKJ, tapi juga mereka yang di luar institusi tersebut. Dalam pandangan Josh, pada akhirnya muncul kesadaran dari Circle Dance Lab bahwa persoalan mendasar dari dunia tari, khususnya yang mereka hadapi, tidak hanya persoalan eksekusi karya tapi juga struktur produksi. Maka dalam beberapa pertemuan Circle Dance Lab tidak memberi tuntutan bagi kolektif mereka untuk menggarap sebuah karya. Namun lebih pada memberikan penakanan pada proses produksi dan menemukan posisi.
Josh memandang platform yang mereka buat dan berjalan beberapa tahun belakangan, meskipun ada masa jeda, bentuknya lebih pada “guyub” para koreografer muda. Setiap pertemuan mereka memberi posisi dan ruang bagi masing-masing anggota untuk perform dan presentasi karya. Kolektif tersebut menurut Josh masih mempertanyaan laboratorium seperti apa yang hendak mereka tuju, mulai dari persoalan konsep sampai pengujian karya. Hal tersebut akan menjadi bagian dari proses perjalanan platform mereka ke depan.
ADVERTISEMENT
Urban Artmove: Laboratorium Pengujian
Dalam agenda Urban Armove di Goethe Haus Jakarta, 13-14 Desember lalu mungkin kita dapat melihat Circle Dance Lab sebagai sebuah platform kolektif memberikan kilasan pada publik bagaimana mereka bekerja dan memberi respon mengenai dunia tari. Empat koreografer muda dalam lima pertunjukan seakan menjadikan pertunjukan mereka sebagai bahan baku dalam laboratorium pengujian dalam perjalanan mereka sebagai bagian Circle Dance Lab. Di hari pertama hadir karya Irfan Setiawan berjudul Clash In (penari Dedi Ronald Maniakori, Irfan Setiawan, dan kolaborator Gigih Ibnur), Eyi Lesar dengan karya Ad-interim (penari Eyi lesar dan kolaborator/komposer Yohanes Kelvin), Fitri anggraini dengan karya berjudul Jeda (penari Fitri Anggraini, I Made Yogi Sugiartha, Dedi Ronald Maniakori, dan Faisal Wijaya S Badja). Hari kedua harid karya Tryanggara dengan judul Ragaragu (penari Tryanggara dan Clausdios Stevan Marani) dan Eyi Lesar deng karya Credo (penari Yazid dan I Made Sugiartha).
ADVERTISEMENT
Lima pertunjukan dari empat koreografer muda yang tergabung dalam Circle Dance Lab tersebut sudah cukup memperlihatkan kecenderungan arah kekaryaan mereka. Secara gagasan dan konsep penghadiran, meskipun perlu pematangan, karya-karya mereka memberikan kesegaran baru. Dan terpenting, penghadiran karya tersebut memberikan kita satu gambaran bahwa proses regenerasi koreografer tari berjalan dengan baik melalui serangkaian kerja kolektif dalam model platform yang ditawarkan Circle Dance Lab. Hampir secara keseluruhan dari lima karya yang dihadirkan secara tematik mengangkat tema “urban” dalam setiap instrumen. Meskipun dalam pandangan mereka tema ini bukan sebuah tuntutan penuh bagi masing-masing koreografer ketika diberikan tawaran untuk menggarap sebuah karya. Tapi faktor vokabuler tubuh mereka secara tidak langsung mengarahkan mereka untuk merespon persoalan urban.
Irfan Setiawan dengan karya Clash In.
Fitri Anggraini melalui koreografi Jeda memberikan keyakinan bahwa selalu ada yang segar dari karya koreografer muda. Ia menghadirkan pertunjukan yang berangkat dari pandangan bahwa tubuh memiliki sistem pencatatan yang rigid. Respon tubuh dianggap sebagai efek dari sebuah peristiwa. Tubuh “mencatat” dan menjadi tempat bertemu lalu-lalang peristiwa sehari-hari dan terkadang memberikan respon yang tidak disadari. Tawaran Fitri mengingatkan kita pada bangunan tari modern melalui konsep Martha Graham di mana titik fokus yang diambil sekitar bangunan pernapasan, gerakan, kontraksi, dan pelepasan otot.
ADVERTISEMENT
Pada Jeda, Fitri seakan memberi kemungkinan kejadian selanjutnya dari tubuh jika merespon suatu peristiwa atau direspon oleh suatu peristiwa. Jeda memberi kemungkinan untuk berpikir atau tidak sama sekali. Fitri menganggap tubuh sebagai jurnal harian, dalam Jeda yang boleh jadi sebentar atau tidak bisa diukur dan diprediksi. Tubuh berkemungkinan merespon kemungkinan lain dari apa yang dipikirkan. Di sisi agaknya Fitri juga ingin mengemukakan bahwa tubuh manusia urban sebagai medium ketaksadaran yang mnerima serangkaian peristiwa membutuhkan ruang untuk berhenti sebelum merespon peristiwa lain yang baru sama sekali. Dalam koreografer ini, Fitri tampak matang dan tegas melalui tawaran penari-penarinya di atas panggung.
Koreografi Eyi Lesar dalam gagasannya juga menghadirkan fenomena ketubuhan menari dalam pertunjukan Ad-interim. Eyi sebagai koreografer dan penari menghadirkan tubuhnya sendiri di atas panggung pertunjukan. Ia menggunakan sensor gerak untuk menghasilkan bunyi selama pertunjukan berlangsung. Pada tahapan ini, ia ingin merespon fenomena tubuh penari, atau proses dunia tari di mana tanpa sadar terdapat sensor dan potongan bagian-bagian gerak yang tidak sampai pada publik penari. Eyi seakan mengkritisi dunia yang ia geluti sendiri, mengkritisi tubuhnya sendiri. Penghadiran sensor gerak ini memperlihatan bagaimana kelompok Circle Dance Lab memberikan gagasan-gagasan unik dalam pertunjukan mereka. Ada kesadaran bagi mereka, khususnya Eyi, fenomena teknologi telah turut membuat lompatan pada dunia seni. Eyi melalui koreografinya seakan mempertegas bahwa pembatasan terhadap gerak dalam sebuah koreografi seperti teknologi purba yang secara tidak sadar telah membuat vokabuler tubuh penari berkurang, terpotong, atau lenyap.
ADVERTISEMENT
Di hari kedua pertunjukan Circle Dance Lab, Eyi Lesar juga menghadirkan koreografi berjudul Credo. Koreografi ini dalam pandagan Eyi sendiri memang terkesan agak “nyiyir” sebab pada satu sisi dari proses koreografinya ia sampai pada tahapan di mana tubuhnya tidak dapat mengartikulasikan banyaknya persoalan yang dihadapi oleh manusia urban setiap harinya. Masalah-masalah tersebut terlihat dari lesatan media sosial sebagai ruang pelampiasan bagi masyarakat urban untuk bersosialisasi dalam kejumudan. Pada koreografi ini Eyi memang menggunakan lebih banyak narasi sebagaimana pertunjukan teater memfungsikan kata-kata.
Koreografer di hari kedua yang agaknya menemukan kebebasan dan jalannya untuk melangkah dalam dunia koreografi adalah Tryanggara. Ia mungkin merupakan satu-satunya koreografer—jika bisa kita istilahkan untuk koreografinya yang pertama di atas panggung itu—yang hadir secara otodidak. Tidak sama dengan rekan-rekannya yang lain dalam Circle Dance Lab, Tryanggara kerap hadir dalam beberapa pertunjukan tari di Jakarta sebagai penari yang tidak menempuh studi tari, ia praktisi tari jalanan. Pertunjukan Tryanggara bertajuk Ragaragu seakan memberikan langkah awal baginya, dan mungkin ia menemukan formula awal, untuk mengkombinasikan temuannya dalamstreet dance dengan komposisi tari panggung yang biasa dicitrakan sebagai komposisi yang ritmis.
ADVERTISEMENT
Tryanggara dalam koregrafinya ikut menari langsung bersama Claudios Stevan Marani. Dalam koreografi ini tampak betul, secara gagasan, Tryanggara memanfaatkan vokabuler tubuh tari yang ia dapat di jalanan—atau boleh jadi ia temukan dan sisihkan dari pembacaannya terhadap genre tarian lain. Koreografi ini seakan diupayakan untuk tidak utuh menjadi sebuah gerakan tari yang biasanya “sampai”. Misal, seseorang yang haus ingin mengambil botol air mineral di dalam kulkas untuk meminumnya. Ia harus membuka pintu kulkas, mengambil botol, membuka tutup, dan meminum. Namun tawaran Tryanggara hanya sampai pada kehendak untuk mengambil botol dalam kulkas, gerakannya tidak sampai pada membuka tutup botol dan meneguk air di dalam botol.
Secara sengaja agaknya Tryanggara ingin memperlihatkan gerakan setengah jadi. Hal tersebut seakan menjadi penegasan bahwa dalam sebuah koreografi ternyata ada keraguan dari tubuh yang menari. Terkadang tubuh tidak sampai pada gerakan yang diharapkan. Dan gerakan seperti itu yang ingin dicapai Tryanggara.
ADVERTISEMENT
Roadshow: Jalan Lain Pengujian
Eyi Lesar dalam Ad-interim.
Pementasan dari kolektif Circle Dance Lab beberapa waktu belakangan sebenarnya sudah dibawa “berkeliling” ke beberapa kota (Bandung, Solo, serta workshop di Yogya) untuk mendapat respon dan masukan dari para penikmat tari di luar Jakarta. Setidaknya, menurut Fitri Anggraini, pentas keliling yang mereka lakukan itu adalah salah satu jalan untuk memperkenalkan platform mereka pada publik di luar Jakarta. Dalam beberapa pertunjukan dari anggota Circle Dance Lab di luar daerah beberapa pertanyaan kerap muncul mengenai “akar” dan fenomena urban dari penghadiran karya mereka. Fitri mengganggap bahwa fenomena urban sebenarnya sesuatu yang tidak dikehendaki tapi melekat pada koreografi mereka—mereka sendiri tidak berkehendak menyebut tuh mereka seebagai “tubuh urban”. Sebab sebagian besar koreografer berproses di Jakarta dan vokabuler tubuh mereka adalah Jakarta. Bukan berarti mereka ingin menampakkan bahwa koreografi mereka lebih “kontemporer” dari penggarapn tari kontemporer di Indonesia. Tapi proses tersebut berlangsung secara alamiah.
ADVERTISEMENT
Perosoalan “akar” dan identitas tari yang kerap dipertanyakan dan diperdebatkan dalam penggarapan tari Indonesia juga menjadi catatan penting bagi Circle Dance Lab—dan untuk itulah platform kolektif tersebut diupayakan. Bisa jadi “akar” mereka adalah penerimaan terhadap apa yang disebut sebagai ragam tari yang mereka dapat citraan dan vokabuler di lingkungan tempat mereka berproses. Bagi Circle Dance Lab, roadsow dan pementasan di Goethe Haus Jakarta merupakan bagian dari gerakan mereka untuk menjadikan ruang-ruang pertunjukan sekaligus sebagai laboratorium penciptaan. Rangkain tersebut juga mereka anggap sebagai ikhtiar untuk menyelesaikan persoalan penting dalam manajemen seni pertunjukan: bahwa mereka harus belajar memanajemeni dan memperkuat platform mereka.
Circle Dance Lab membuka ruang kekaryaan mereka untuk dikritisi. Mereka sadar bahwa kritik adalah bagian dari proses mereka dan tentu saja salah satu jalur yang akan mereka tempuh ke depan adalah riset terus-menerus. Untuk itu mereka juga berupaya menghadirkan sesi diskusi dalam setiap latihan atau pertunjukan. Di Goethe Haus beberapa hari lalu, mereka memboyong Hartati (Koreografer), Yola Yulfianti (Komite Tari DKJ), dan Afrizal Malna (Penyair dan Kritikus Seni Pertunjukan) dalan sesi diskusi. Tentu saja upaya tersebut adalah bagian dari kesadaran bahwa sbeuah “pembacaan” penting bagiaproses yang akan terus belanjut. Melalui platform kolektif Circle Dance Lab ingin membangun support sistem yang kuat baik dan terintegrasi dalam keberlanjutan koreografi muda ke depan.
ADVERTISEMENT