Fiksi Tentang Kerapuhan Pendukung Partai Politik

Esha Tegar Putra
Penyair, Peneliti Seni dan Budaya di Ruang Kerja Budaya & Lab. Pauh 9.
Konten dari Pengguna
18 Februari 2019 9:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Esha Tegar Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Walaupun partai-partainja partai Islam sadja, namun persatuan tidak djuga didapat. Sedjak negeri berpartai itu, tak ada urusan kampung jang dapat diselesaikan. Djalan sudah rusak, kampung sudah semak.”Pesta Penghela Kaju, Dt. B. Nurdin Jacub
ADVERTISEMENT
Perbedaan pandangan politik termasuk dukungan pada sebuah partai politik, dukungan terhadap calon anggota legislatif, sosok kepala desa hingga presiden kerap membuat keterbelahan dalam masyarakat. Bahkan perbedaan tersebut masuk dan mengeruyak dari jauh ke dalam wilayah yang lebi privat. Jika hari kita membaca pemberitaan mengenai perkelahian hingga berujung pembunuhan karena beda pandangan politik, makam dibongkar karena keluarga berbeda pilihan sosok calon legislatif, atau suami-istri bercerai karena perbedaan pilihan calon presiden, barangkali kita bisa kerkaca lagi pada masa lampau.
Dalam artian, bagaimana sistem perpolitikan di Indonesia memberikan pengetahuan soal konstitusi negara menjamin hak warga negaranya untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat. Bagaimana keterjaminan berendapat tersebut sebuah gambaran dasar dari sistem demokrasi. Namun sialnya, sistem demokrasi yang menuntut partisipasi politik masyarakat untuk dapat menjawab persoalan kebangsaan, agaknya tidak berbarengan dengan pendidikan politik yang baik dalam masyarakat. Politik tidak didasari pada keasaran sendiri, tidak lagi dalam upaya untuk mengayati nilai-nilai politik kebangsaan, namun mengikuti pandangan tokoh politik secara serampangan.
ADVERTISEMENT
Saya ingin mengajak pembaca untuk melihat lagi salah satu cerpen Dt. B. Nurdin Jacub berjudul “Pesta Penghela Kaju” dalam mengkonstruksi gambaran pertikaian dalam masyarakat akibat perbedaan pandangan politik menghancurkan bagian dari local genius sebuah perkampungan di Minangkabau. Cerpen tersebut tergabung dalam buku kumpulan cerpen berjudul sama, Pesta Penghela Kaju, diterbitkan N.V. Nusantara, Bukittinggi, tahun 1961. Setidaknya, satu cerpen ini dapat merefleksikan satu persoalan penting menyangkut pertikaian antara mereka yang berbeda pandangan politik.
Dalam kumpulan cerpen tersebut terdapat sembilan judul cerpen “Pesta Penghela Kaju”, “Mengangkut Pasir”, “Pamanku”, Angin Topan Diatas Kota dan Desa”, “Siapakah Lagi...?”, “Andjingku”, “Njonja Djabir Cemburu Pada Ibu Pertiwi”, “Terbongkarnja Rahasia Ibu”, dan “Hati Jang Ditakhlukkan dengan Akalbudi”. Bebera cerpen berkisah mengenai kehidupan masyarakat perkampungan pada periode pasca revolusi nasional di Indonesia. Dt. B. Nurdin Jacub seorang penulis prolifik pada masanya. Terutama dalam mengelaborasi cerita rakyat Minangkabau ke dalam bentuk yang baru dalam Bahasa Indonesia. Ia juga banyak bercerita mengenai kondisi guru sekolah dan pegawai rendahan. Salah satu naskah novelnya, Panggilan Tanah Kelahiran, menjadi pemenang kedua dalam sayamebara mengarang bacaan dewasa yang diadakan oleh penerbit Balai Pustaka tahun 1966 dan diterbitkan oleh penyelenggara sayembara setahun setelahnya.
ADVERTISEMENT
Cerpen Pesta Pengkela Kaju berkisah mengenai tradisi gotong-royong masyarakat di Minangkabau dalam membangun Rumah Gadang. Dengan latar tempat sebuah nagari (desa) di Minangkabau dan latar waktu periode 1953 ditandai dengan kisah mengenai pengangkatan Sirajuddin Abas, ulama yang merupakan tokoh Perti, menjadi Menteri Kesejahteraan Umum dalam Kabinet Ali Sastroamodjojo I. Dalam cerpen ini Jacub agaknya memang ingin memperlihatkan bagaimana tingkah laku pendukung partai politik di sebuah kampung di Minangkabau, dengan taklid buta keyakinan politik mereka masing-masing, telah membuat keretakan hubungan kekerabatan dalam nagari.
Pengisahan cerpen tersebut dibuka oleh narator yang mengambarkan keinginan tokoh Hamid membangun Rumah Gadang untuk saudari perempuan satu-satunya, Dariman. Hamid anak pertama dari empat bersaudara, Dariman adik bungsunya, setelah Suman dan Sjarif. Dalam kekerabatan Minangkabau, jika merujuk pada cerpen tersebut memang Dariman merupakan harapan dan tumpuan satu-satunya untuk keberlanjutan dan keberlangsungan keluarga inti mereka, karena sistem kekerabatan dalam adat Minangkabau diturunkan dari perempuan. Dikisahkan, keluarga Hamid bukan dari golongan orang kaya di kampungnya, dan membangun rumah gadang adalah perihal pelik, membuatuhkan biaya, tapi demi kebahagiaan adik perempuannya Hamid dan saudara-saudata yang lain berupaya untuk mewujudkan mimpi mereka: membangun rumah gadang untuk Dariman.
ADVERTISEMENT
Narator mengisahkan bagaimana Hamid dan adik-adiknya telah mengangsur-angsur jauh hari bekal untuk pembangunan rumah. Mulai dari membeli alat-alat untuk membangun rumah, papan lantai, ijuk untuk atap, dst. Keingin besar Hamid membangun rumah untuk adik perempuannya itu terlihat dalam narasi berikut:
Namun untuk mewujudkan pembangunan rumah gadang tersebut sebuah proses tradisi lama harus dilewati Hamid dan keluarganya, yaitu pesta menghela kayu. Proses ini lebih mirip sebagai gotong-royong bersama orang-orang kampung untuk memindahkan tiang-tiang kayu yang sudah dipersiapkan dari hutan ke lokasi pembangunan rumah. Untuk itu, diperlukan mengimbau segenap orang kampung, dan diperlukan semacam pesta menyembelih jawi (sapi) untuk makan bersama orang-orang kampung. Kecemasan Hamid dan adik-adiknya muncul mengingat di kampungnya jarang dapat memanggil orang ramai untuk berhimpun dan berkumpul. Salah satu sebab karena perbedaan pandang politik, perbedaan dukungan terhadap partai politik telah membuat orang-orang di kampungnya terbelah.
ADVERTISEMENT
Dalam pesta penghela kayu, biasanya memang kerap terjadi silang-sengketa, hal ini biasanya karena emosi akibat berbalas pantun. Tapi silang-sengketa tersebut dianggap biasa dan dapat diselesaikan dengan baik. Yang tidak biasa tersebut adalah perubahan watak orang-orang di kampungnya akibat perbedaan pandangan politik. Biasanya, satu kelompok partai politik tidak akan mau mendatangi pesta, atau gotong-rotong yang diadakan oleh kelompok partai politik lain. Tapi tidak dengan pesta menghela kayu yang diadakan Hamid dan keluarganya. Hampir semua mereka yang berbeda pandangan politik datang membantu. Mungkin karena Hamid tidak berafiliasi pada satu partai politik dan disenangi banyak orang. Gambaran perpecahan masyarakat kampung Hamid tersebut terlihat pada kutipan berikut:
Biasanja dikampung Hamid djarang sekali orang dapat dipanggil sebanjak itu, karena kampung itu telah lama petjah tiga oleh partai-partai politik. Partai di kampung itu tidak banjak, hanja partai Islam sadja, jaitu Perti, P.P.T.I, dan Masjumi. Anggota Masjumi tak berapa banjak; jang banjak adalah anggota P.P.T.I. Walaupun partai-artainja partai Islam sadja, namun persatuan tidak djuga didapat. Sedjak negeri berpartai itu, tak ada urusan kampung jang dapat diselesaikan. Djalan sudah rusak, kampung sudah semak. Djika orang-orang Masjumi jang keluar untuk bekerdja, partai-partai jang lain pura-pura tidak tahu sadja dan begitulah pula sebaliknja. Sekali-sekali terpikir oleh Hamid, untuk djugalah tak partai agama jang masuk ke kampungnja. Kalau ada pulalah, tentu akan terbakar negeri itu (hlm. 12).
ADVERTISEMENT
Digambarkan pula bagaimana sebuah pendukung partai politik di kampung Hamid merasa “besar kepala” karena petinggi partainya menjadi menteri. Tapi Jacub menekankan dalam pengisahan cerita bahwa perselisihan yang terjadi tak lain karena kampanye-kampanye yang tidak bertanggung jawab dari “pemimpin-pemimpin dari kota”:
ADVERTISEMENT
Namun pesta menghela kayu yang diadakan Hamid sekeluarga didatangi oleh orang-orang yang disangkanya tidak akan datang. Hampir semua pendukung empat partai politik dikampungnya hadir beramai-ramai. Mereka yang laki-lagi beramai-ramai ke bukit tempat kayu sudah ditumpuk dan akan diangkut. Sementara itu yang perempuan beramai-ramai memasak untuk persiapan makan orang ramai. Petaka pun dimulai ketika kayu akan diangkut dan digulingkan dari bukit. Hal yang ditakutkan Hamid soal perbedaan pandangan politik orang kampungnya yang berujung pada pertikaian nyata akhirnya terjadi juga.
Saat akan meluncurkan kayu dari puncak bukit terjadi perdebatan antara orang-orang kampung pendukung partai politik. Mereka memperdebatkan soal P.P.T.I yang mendapatkan satu kursi di DPR dan kursi tersebut diperbantahkan oleh bapak dengan anaknya. Persoalan yang membuat pendukung P.P.T.I memburansang marah karena dianggap menghina. Persoalan kian bertambah ketika salah seorang anggota Perti agak tersentuh kakinya oleh anggota P.P.T.I dan dalam sekejap anggota Perti menggajar anggota P.P.T.I. Terjadilah perkelahian. Mereka tidak menghiraukan lagi kayu yang diturunkan meluncur tak tau arah. Sementara Dariman, adik bungsu Hamid berada di bawah, di arah tempat kayu itu meluncur dengan gila.
ADVERTISEMENT
Pesta mengela kayu itu akhirnya menjadi petaka bagi keluarga Hamid. Dariman menjadi tumbal dari pertengkaran tidak jelas orang-orang kampungnya. Adik perempuan satu-satunya yang diharap akan menjadi penyambung keturunan keluarga mereka meninggal karena dihempas dan tergulung kayu yang berluncuran dari atas bukit. Hamid masuk rumah sakit dan diamputasi kaki kirinyanya karena patah hendak menyelamatkan adiknya. Perkelahian antar pendukung partai politik mereda. Namun tidak dapat meredakan kesedian keluarga Hamid.
ADVERTISEMENT
Jacub dalam cerpen ini agaknya memang ingin mempertentangkan persoalan sikap pendukung politik disebuah perkampungan dengan local genius penuduk setempat. Ia juga mengkritisi sikap tidak bertanggung-jawab dari petinggi-petinggi partai yang membakar amarah masyarakat dengan kampanye-kampanye yang tidak bertanggung jawab. Kondisi negeri pada masa Demokrasi Liberal di Indonesia (1950-1959) tampak jelas dipampangkan oleh Jacub dalam cerpen Pesta Menghela Kaju. Kampung yang dikisahkan Hamid seakan gambaran kecil negara pada periode tersebut. Kekacauan politik akar rumput sekan perwakilan dari kekacauan di tingkat yang lebih besar akibat partai politik yang hanya mengutamakan kepentingan partainya dan mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Di akhir pengisahan, Jacub menutup kisah dalam cerpennya dengan mengambarkan jatuh-bangunnya kabinet pada periode itu dalam waktu cepat, sebagaimana kutipan berikut:
ADVERTISEMENT
Waktu ia keluar dari rumah sakit itu telah terdengar olehnja, bahwa kabinet baru sudah terbentuk, dan anggota DPR baru telah disumpah presiden. Harapan baru bagi negerinja, tapi tidak bagi dirinja jang tidak dapat diharapkan lagi. Tapi sampai saat itu perselisihan dan pertentangan antara partai-partai dinegerinja masih terus berdjadi-djadi (hlm. 17)
Keterangan buku:
Judul: Pesta Menghela Kaju
Penulis: Dt. B. Nurdin Jacub
Penerbit: NV. Nusantara (Bukittinggi)
Tahun Terbit: 1962