Terus Melompat dari Lirik ke Idiomatik

Esha Tegar Putra
Penyair, Peneliti Seni dan Budaya di Ruang Kerja Budaya & Lab. Pauh 9.
Konten dari Pengguna
10 November 2019 16:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Esha Tegar Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
[Lintasan Pembicaraan naskah-naskah lakon Wisran Hadi 1975-2003]
ADVERTISEMENT
Arsip naskah Wisran Hadi di Bank Naskah Dewan Kesenian Jakarta (Istimewa)
Tegangan antara modernisme dan tradisionalisme menjadi pembicaraan menarik dalam lokus perteateran di Indonesia periode 1970-an. Tegangan tersebut, sebelum memasuki pembacaan terhadap model estetika teater Indonesia di atas penggung pertunjukan, mengemuka dalam soal kehadiran naskah lakon. Terdapat kehendak untuk menghadirkan naskah “asli” Indonesia tapi tidak terikat pada bentuk tradisionalisme dan tidak terjebak pula pada nilai modernisme telah menghadirkan forum-forum diskusi menarik. Di satu sisi, para teaterawan mengeluhkan sedikitnya naskah-naskah Indonesia yang muncul. Di sisi lain, tingkat kepercayaan untuk menghadirkan ke panggung naskah-naskah Indonesia masih minim karena dianggap masih lemah secara tekstual, dan mereka lebih percaya diri memanggungkan naskah “Barat” (terjemahan).
Pada posisi ini agaknya Dewan Kesenian Jakarta periode tersebut memainkan peranan penting. Forum-forum diskusi mengenai perkembangan teater dihadirkan berbarengan dengan program lain semisal pengadaan Bank Naskah dan Sayembara Naskah Drama di mana dua program ini saling beririsan. Di tahun 1972, ketika Pemda DKI Jaya menyediakan anggaran khusus untuk program pembinaan Bank Naskah DKJ, mungkin sesuatu yang tidak terbayangkan, jika kemudian hari program tersebut turut menghadirkan wacana baru dalam perkembangan teater modern di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di tahun tersebut DKJ membuat program inventarisasi naskah drama mengingat banyaknya keluhan para pegiat teater akan kurangnya naskah-naskah sandiwara di Indonesia. Program dimulai dengan dua model, (1) menghadirkan naskah drama asli Indonesia melalui Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara dan (2) menerjemahkan naskah-naskah pengarang dunia yang daftarnya dipersiapkan pihak DKJ. Untuk naskah terjemahan, pihak DKJ mempersiapkan karya-karya Sopocles, Machbet, Moliere, Albert Camus, Albert Camus, Eugene Ionesco, Anton Chekov, Lorca, dsb. Tercatat sebagai penerjemah naskah-naskah sandiwara asing nama Toto Sudarto Bachtiar, Asrul Sani, Andre Hardjana, Arief Budiman, Rendra, Teguh Karya, Ikranegara, Trisno Sumardjo, Harjadi Hartowardojo, dsb. Para penerjemah tersebut diberikan insentif Rp.50.000 untuk satu naskah terjemahan.
Dalam suasana itu Wisran Hadi hadir melalui naskah-naskah lakonnya yang tiap periode memenangkan sayembara DKJ (sejak 1975). Tegangan antara tradisionalisme dan modernisme serta upaya menghadirkan naskah lakon “asli” Indonesia tersebut agaknya berimbas pada pola dan model penulisan Wisran Hadi. Penerimaan publik, khususnya para kritikus, terhadap naskah Wisran Hadi yang memenangkan sayembara dari tahun ke tahun pun dapat dikatan tidak satu ritme sebab ia juga mencoba berbagai kemungkinan dalam penghadiran naskah lakonnya. Kita dapat membandingkan bagaimana lintasan pandangan terhadap kehadiran naskah Wisran Hadi, yang notabene muncul dari program sayembara, dibicarakan dalam forum-forum yang sedang hiruk mencari kemungkan naskah “asli” Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi naskah Gaung, 15 Maret 1976, Goenawan Mohamad mengklasifikasikan empat kecenderungan naskah-naskah lakon Indonesia yang ditulis kurun lima atau tujuh tahun terakhir. Klasifikasi tersebut meliputi: (1) lakon-lakon lirik, di mana di dalamnya mengandung unsur puisi; (2) tampak usaha menggabungkan unsur lokal dan kesenian lokal atau ekspresi lokal ke dalam lakon; (3) adanya kebebasan yang lebih luas dalam dialog; (4) unsur humor yang lebih besar, dalam humor tersebut verbalisme berkurang dan lebih banyak ketangkasan dialog yang menonjol.
Tapi untuk naskah Gaung karya Wisran Hadi yang memenangkan hadiah ketiga Sayembara Penulisan Naskah Drama tahun 1975 diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, klasifikasi tersebut menurut Goenawan bisa ditambah. Ia berpandangan bahwa Wisran Hadi, melalui naskah Gaung, telah membuat satu mata rantai baru dalam rangkaian penulis lakon generasi mutakhir. Selain itu, Wisran Hadi bertolak dari suasana lokal Sumatera Barat, tapi melalui lakonnya ia dapat menghadirkan gambaran lokalitas tersebut dengan baru, berbeda dengan kesan yang ditimbulkan orang-orang terhadap suasana dalam kesusastraan yang hadir melalui novel-novel pra Pujangga Baru atau cerita-cerita dari Hamka. Yang menggembirakan lagi, terang Goenawan, lakon tersebut berbicara tentang dunia remaja yang latarnya berbeda dengan lakon Akhudiat, di mana terdapat latar belakang kota-kota besar. Gaung dianggap tajam dalam menggambarkan suasana tempat periode itu, tajam dalam mengamati, dan mempunyai ketangkasan yang cerdas dan lucu dalam dialog serta peka terhadap suasana lirikal dalam puisi.
ADVERTISEMENT
Meskipun protes dalam lakon Gaung dianggap sebagai kelanjutan dari protes tradisionil yang kerap hadir dalam lakon-lakon Rendra, tapi Wisran Hadi dianggap berbeda, sebab tidak memandang kehidupan modern sebagai bentuk sesat pikir dan tidak menghadirkan keharusan manusia untuk kembali pada kehidupan alam. Lakon Gaung juga dipandang jujur dan lebih dekat dengan kehidupan yang sebenarnya dalam masyarakat: Sumatera Barat.
Dalam diskusi tersebut, tidak kalah menarik pendapat Wahyu Sihombing terhadap lakon Gaung. Ia melihat Wisran Hadi lebih tangkas dibanding Arifin C. Noer melalui lakon Kapai-Kapai. Sebab dalam Kapai-Kapai Arifin menempatkan tokoh Abu dari suasana ke suasana horizontal. Sebaliknya Wisran Hadi menempatkan tokoh Gadis dalam Gaung melalui garis linear. Ada pemberontakan dari tubuh dan perwatakan tokoh Gadis, seperti pemberontakan terhadap ibu sebagai suatu lembaga keluarga.
ADVERTISEMENT
Empat kencenderungan naskah lakon Indonesia dalam pandangan Goenawan Mohamad agaknya dipakai kembali untuk melakukan pembacaan terhadap lakon Ring karya Wisran Hadi dalam agenda diskusi karya pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ kelima, tahun 1976, di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, 30 November 1976. Lakon Ring (pemenang harapan) didiskusikan berbarengan dengan empat lakon lain, Edan dan Hum-Pim-Pah karya Putu Wijaya, terbit Bulan Tenggelam Bulan karya Noorca M. Massardi, dan Bisul-Bisul karya Vredi Kastam Marta. Namun melalui model pembacaan kecenderungan tersebut agaknya menghadirkan komentar miring. Goenawan Mohamad menganggap Wisran Hadi, melalui lakon Ring telah menghasilkan sebuah parodi dengan modal miskin. Wisran dianggap hanya mengganti suatu kata, mungkin “pembangunan” dengan kata lain: “wese”, dari huruf W dan C. Meskipun Wisran tetap dipandang sebagai seorang pengamat kehidupan sehari-hari yang tajam dan bukan orang asing di alam masalah sosial, tapi menurut Goenawan Mohamad, dibandingkan dengan naskah lakon Gaung, lakon Ring membosankan.
ADVERTISEMENT
Pandangan Goenawan Mohamad berbarengan dengan Sapardi Djoko Damono yang pada saat itu juga menjadi pembicara dalam diskusi naskah pemenang Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ kelima tersebut. Sapardi mengganggap Wisran Hadi berupaya melucu dengan lebih terbuka. Bahkan taraf kengelanturan adegan-adegan lakon Ring dianggap keterlaluan, sebaba lelucon dan sekaligus masalah dalam lakon Ring hanya tergantung pada satu kata saja, "wese". Kata "wese" secara konstruksi sosial memang memiliki beragam konotasi dan keseluruan bermakna negatif. Wisran Hadi melalui lakon Ring memproduksi berpuluh-puluh kalimat dengan kata tersebut sebagai upaya memancing tawa. Namun, sekali lagi, Sapardi Djoko Damono menganggap, “…hanya saja kita lekas bosan, sebab terasa bahwa setelah beberapa menit yang ada hanyalah pengulangan-pengulangan saja. Sayang sekali juga bahwa hampir semua adegan yang ditampilkan lakon ini tidak memiliki kekuatan dramatik,” terang Sapardi Djoko Damono.
ADVERTISEMENT
Pertengahan dekade 70-an dapat dianggap sebagai periode awal penulisan naskah lakon Wisran Hadi. Beragam eskperimen dan model penulisan dilakukannya lewat naskah lakon. Tentu saja, kecenderungan naskah lakon sebagaimana diungkap Goenawan Mohamad secara tidak langsung diadopsi juga oleh Wisran Hadi melalui sumber dan model naskah lakon Indonesia periode tersebut. Dan tampak pasang-surut komentar terhadap naskah-naskah Wisran Hadi, notabene sebagian besar ditujukan untuk sayembara penulisan naskah DKJ. Setahun sesudah lakon Ring meraih hadiah harapan, lakon Cindera Mata dan Anggun Nan Tongga pada sayembara tahun 1977 juga memenangkan hadiah harapan. Agaknya, Wisran Hadi melihat kemungkinan dan percobaan lain dari pola penulisan lakon dan menyiasati komentar-komentar di tahun sebelumnya mengenai pola permainan kata-kata yang ia gunakan dalam lakon Ring.
ADVERTISEMENT
Wisran Hadi kembali menggunakan kecenderungan lirik dan puitik dalam naskah Cendera Mata dan Anggun Nan Tongga dengan mengadopsi, atau dapat dikatakan reinterpretasi dari mitologi besar Minangkabau. Ia mengesampingkan untuk sementara waktu pola permainan kata-kata dan menemukan kemungkinan lain dalam penulisan lakon ke depannya. Dalam perjalanan penulisan naskah lakon Wisran Hadi, dapat dilihat bagaimana dua kecenderungan tersebut akan terus silih berganti, sesekali ia menulis lakon dengan pola lirikal dan puitik berpijak pada mitos dan sejarah di Minangkabau, dan suatu waktu ia beralih pada pola permainan kata-kata repetitif untuk menghadirkan kekritisan dalam bentuk dramatik. Bangunan kata-kata tetap menjadi sandaran, atau alas bakul, dari pola penggarapan lakon Wisran Hadi. Namun yang menjadi pembeda dari dua pola tersebut, ia agaknya lebih bebas dan leluasa melakukan kritik sosial dengan menggunakan piranti idiomatik yang dijungkir-balikan dalam penulisan lakon. Dua model itu tampak dari dua lakon awal Wisran Hadi, Gaung dan Ring, yang memenangkan sayembara DKJ dan mendapat ulasan yang bertolak-belakang.
ADVERTISEMENT
Perubahan pola naskah Wisran Hadi dalam ruang pembicaraan naskah pemenang sayembara naskah drama DKJ tahun 1977 terlihat dari komentar Leon Agusta atas lakon Cindera Mata dan Anggun Nan Tongga. Leon Agusta menyorot kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh naskah bagi pementasan, sebab sebuah naskah drama, lebih dari sekedar untuk dibaca, tapi juga untuk dipentaskan. Ia memandang semua naskah drama mempunyai kemungkinan-kemungkinan untuk dipentaskan, tapi tidak semua menarik untuk dipentaskan, tergantung peristiwa yang hendak dilukiskan, cara melukiskan peristiwa, dan segi estetika di dalam naskah.
Dua naskah Wisran Hadi tersebut dibicarakan Leon Agusta sekaligus dalam satu kesatuan, sebab dianggap sama, bersumber dari mitologi Minangkabau yang cukup populer di kalangan masyarakat budaya pemakainya. Ia memandang Wisran Hadi berpretensi memberikan kritik terhadap mitos-mitos dengan mengemukakan perihal yang dapat diterima akal sehat. Salah satunya mengenai mitos kelahiran Cendera Mata (Cindua Mato) bukanlah karena “air kelapa gading” melainkan dari suatu “skandal istana”. Model penulisan mitos, dengan tipikal prosaik dan puitik yang dikembangan Wisran Hadi itu pun, agaknya mendapat kritikan baru dari Leon Agusta. Menurutnya karya seperti itu belum terasa begitu penting, paling tidak bagi mereka yang lebih paham tentang kebudayaan Minangkabau. “Sebab bisa dicari dalam kecenderungan-kecenderungan lain yang secara disadari atau tidak terdapat dalam diri Wisran Hadi. Yaitu dua kecenderungan yang campur aduk antara kecenderungan untuk berfilsafat dan berkesusastraan dengan kecenderungan untuk menulis sebuah cerita drama,” tulis Leon Agusta dalam kertas kerja untuk diskusi.
ADVERTISEMENT
Dalam pembahasan tersebut Leon Agusta juga mengetengahkan persoalan bagaimana dominasi sastra di dalam naskah drama, meminjam pendangan Roejito, naskah drama yang “nyastra”. Meskipun naskah Wisran Hadi enak dibaca, ia berpandangan jika naskah tersebut sampai pada sutradara yang jeli maka naskah tersebut akan diedit sedemikian rupa untuk dipentaskan, dengan menyisihkan bagian yang “nyastra”. Pandangan Leon Agusta mengenai model penulisan naskah Wisran Hadi dapat ditemukan jawabannya kemudian hari dari konsep penulisan naskahnya. Wisran Hadi terus melakukan lompatan dari model penulisan naskah lirikal, sebagaimana dikritik Leon Agusta terhadap naskah Cendera Mata dan Anggun Nan Tongga, menuju penulisan naskah idiomatik seperti dikritik Goenawan Muhamad.
Lompatan: Siasat Menemukan Tempat
Dalam sebuah pemberitaan bertajuk “Wisran Hadi, Ingin berhenti Menulis” (Koran Kompas, 16 Desember 1997) dikatakan “entah kenapa” nama Wisran Hadi hanya terdengar sayup-sayup sebagai dramawan Indonesia. Ia selalu terjepit di antara nama-nama mapan seperti Arifin C Noor, Putu Wijaya, WS Rendra, dan N Rintiarno. Meskipun ia merupakan penulis naskah drama paling produktif dan setia mengikuti lomba sayembara penulisan naskah yang diselenggarakan DKJ.
ADVERTISEMENT
Dalam pemberitaan tersebut tampak jelas pandangan Wisran Hadi memperlihatkan kesetiaan dan keintimannya dengan naskah drama. Pandangan itu sekaligus dapat menjawab kritik Leon Agusta 20 tahun sebelumnya (1977). Wisran Hadi merasa capek menulis naskah drama karena banyak sekali terjadi pelecehan sastra oleh drama. Pandangan ini yang menjadi poin penting, bagaimana ia menghargai sebuah naskah drama sebagai karya sastra yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan dunia drama. Tapi periode itu naskah drama atau lakon sebagai salah satu bentuk karya sastra, telah ditolak nyata. “Naskah drama direnggutkan dari drama dan dipurukkan ke dalam laut tak bertepi yang dinamakan seni pertunjukkan. Suatu bentuk seni pertunjukkan yang memuarakan tari, musik sastra, teater, seni rupa, instalasi, multimedia, menjadi satu wajah baru. Naskah drama berbobot mati sastra itu seakan tidak punya kaitan lagi dengan drama. Sepertinya, drama menghabiskan ketergantungannya pada sastra,” kata Wisran Hadi.
ADVERTISEMENT
Pada periode ini sebenarnya Wisran Hadi sudah menemukan formula khusus yang diteruskannya dalam menulis naskah, baik untuk sayembara atau pementasan kelompoknya, Bumi Teater. Formula tersebut adalah suatu peristiwa lompatan penulisan naskah dengan model lirik dan idiomatik (dan sebaliknya) yang secara dramatik mempunyai tingkatan kritik tersendiri, sebagai mana kecenderungannya melakukan kritik sosial di dalam naskah (kemudian dilekatkan dengan diistilahkan parodi).
Kita dapat melihat kebelakang bagaimana lompatan tersebut dilakukan Wisran Hadi dalam naskah-naskahnya yang mendapat tempat di Sayembara Naskah Drama DKJ mulai dari tahun 1975:
Naskah-naskah Wisran Hadi yang memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Drama DKJ 1975-2003
Dalam bagan di atas dapat dilihat model atau kecenderungan naskah Wisran Hadi yang memenangkan Seyembara Penulisan Naskah DKJ, di luar naskah yang mendapat penghargaan lain. Hal ini agaknya disadari oleh Wisaran sejak naskah Ring (1976) mendapat kritikan yang “pedas” dan Goenawan Mohamad. Model lirikal, sebagaimana sudah tampak dari naskah Gaung (1975) ia teruskan dengan formula memodifikasi mitos dan sejarah besar dari Minangkabau dan Melayu. Tak jarang, ia bersandar bahkan berpijak pada kekuatan cerita lisan kebudayaannya itu sebagaimana ia lakukan terhadap Anggun Nan Tongga, Malin Kundang, dsb. Sebagaimana dikatakan Umar Junus (1981), di tangan Wisran Hadi kedudukan mitos selalu tergugat dan dipungkiri.
ADVERTISEMENT
Wisran bahkan melakukan transformasi dari satu teks menjadi bentuk baru sebagaimana ia lakukan terhadap kisah Hikayat Hang Tuah menjadi Senandung Semenanjung. Dalam proses transformasi itu ia memodifikasi melakukan pengubahan, penyesuaian, perbaikan, dan pelengkapan. Transformasi tersebut, sebagaimana dikatakan Umar Junus (1985) juga disertai dengan demitefikasi, yakni berupa penetangan atau pengubahan secara radikal terhadap teks atau bagian teks yang ditransformasikan.
Tapi di luar naskah-naskah model lirik, bercerita, sebagaimana naskah-naskah yang memenangkan sayembara naskah drama DKJ, Wisran Hadi menemukan satu lompatan besar antara kecenderungannya memainkan idiomatik. Dua naskah yang bisa dikatakan puncak pencapaiannya dalam melakukan lompatan tersebut adalah Jalan Lurus dan Mandiangin. Di dua naskah tersebut, Wisran Hadi berusaha melengkapi kecenderungan pola permainan kata-kata dalam model idiomatik yang barangkali akan terdengar membosankan, dengan menghadirkan kejutan-kejutan dramatik. Wisran Hadi pun membuat pola permainan di dalam dua naskah tersebut dapat dihadirkan di mana saja, tentunya dengan prasyarat dan kelengkapan utama dalam naskah. Di tahapan ini dia menemukan satu formula yang barangkali dipertanyakan para pegiatan teater periode 1970-an: naskah “asli” Indonesia. Naskah yang tidak terikat sepenuhnya pada bentuk tradisionalisme dan tidak terjebak pula pada nilai modernisme.
ADVERTISEMENT
Di dua naskah itu pula Wisran Hadi mengukuhkan pandangannya mengenai konsep dramatik yang berpijak pada latar budaya Minangkabau. Ia bersikukuh membedakan konsep dramatik dengan kecenderungan pola permainan ala Minangkabau meskipun model tersebut, melalui Bumi Teater, tidak akan mendapat tempat dan tidak diperhitungkan dalam konstelasi drama atau perteateran di Indonesia periode itu. Dalam catatan wawancara dengan Wisran Hadi (Harian Pelita, 22 Desember 1991), ia menegaskan sentralisasi politik (Jakarta) berimbas pada pola penulisan naskah drama atau pertunjukan teater, dan agaknya naskah dan pertunjukan pola idiomatik dan kerap bermain-main yang dihadirkan Wisran Hadi dianggap sebagai “kelas dua”. Tapi ia menegaskan bahwa hal tersebut merupakan latar budaya, “Jakarta” tidak mau bermain-main, walaupun dalam permainan sekalipun. Bagi Wisran Hadi, semua permainan dengan latar budaya Minang itu serius. “Kelebihan masyarakat Minang di situ: dia bisa bermain dalam satu permainan. Ia bisa memainkan permainan itu,” kata Wisran Hadi.
ADVERTISEMENT
Pada naskah Mandiangin dan Jalan Lurus “lompatan” antara idiomatik (main-main) dan lirik (serius) menemui hulunya. Di dua naskah itu pula Wisran Hadi tampak mengukuhkan konsepnya dalam menyutradarai pementasan. Ia percaya setiap orang bisa bermain teater dan hanya saja peran apa yang cocok bagi seseorang tersebut. Ia tidak percaya seorang aktor dilahirkan sudah menjadi aktor. Dan di dua naskah tersebut, melalui Mandiangin dan Jalan Lurus, ia bisa mempatkan seseorang hanya untuk sebagai tukang putar buaian kaliang (dalam Mandiangin) tanpa bicara tapi mempunyai peran penting dalam laju pertunjukan. Di dalam dua naskah itu pula ia memikirkan berbagai kemungkinan, semisal aktor pada pementasan tiba-tiba tidak dapat hadir atau harus diberhentikan dari penggarapan, ia dapat mengganti seketika tanpa mengurangi intensitas penceritaan yang ingin disampaikan ke penonton.
ADVERTISEMENT
Tapi “lompatan” tersebut agaknya memang belum dapat berterima bagi banyak orang. Yang lirik dalam naskah Wisran Hadi tetap mendapat tempat dan menjadi pembicaraan (di luar pertunjukan) dibandingkan yang idiomatik, atau perpaduan antara duanya itu. Terakhir, dapat dibuktikan, kita dapat melihat lagi daftar kemenangan naskah Wisran Hadi dalam sayembara DKJ (di atas). Di tahun 2003, selain naskah “Nyonya-Nyonya” dan “Roh” (sebelumnya naskah ini berjudul “Ibu Suri”), ia juga mengirimkan naskah berjudul “Pelayaran Tanpa Layar”. Naskah tersebut adalah judul lain untuk naskah “Mandiangin”. Tapi karena anggapan naskah tersebut sangat idiomatik dan cenderung bermain-main—meskipun naskah tersebut salah satu puncak lompatan—naskah tersebut tereliminir, dan “Nyonya-Nyonya” dan “Roh” dengan kecenderungan lirikan mendapat tempat dalam sayembara.
ADVERTISEMENT
Catatan: tulisan ini sebagian besar bersumber dari arsip Dewan Kesenian Jakarta.