Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hari Kasih Sayang: Cokelat, Seks, atau Golput?
15 Februari 2024 13:13 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Suatu hari di Ranch Market di pertengahan Januari, saya terkejut begitu melihat Silverqueen ukuran 3 kg. Sebagai penggemar cokelat, saya rasa saya juga akan keblinger saat makan ukuran jumbo begitu.
ADVERTISEMENT
“Ada apa ini, kenapa tetiba ada cokelat jumbo?” pikir saya begitu. Kemudian saya lihat nuansa pink dalam bungkusan cokelat tersebut. Baru saya ngeh, oh iya, kan sebentar lagi Valentine, Hari Kasih Sayang.
Valentine identik dengan cokelat dan sesuatu yang manis. Umumnya, di tanggal 14 Februari pasangan-pasangan mainstream akan menunjukkan rasa cinta kepada pacarnya dengan pemberian cokelat. Saya rasa ide ini ditangkap oleh industri kapitalis dengan memproduksi cokelat dan produk-produk lain yang berhubungan dengan perwujudan cinta.
Di tahun 2009 ke atas, di masa-masa awal saya menjadi jurnalis, ada tren yang cukup lucu dan mungkin tidak relate lagi di masa sekarang. Dulu, setiap kali datang tanggal 14 Februari, penjualan kondom mendadak meningkat. Begitu juga okupansi hotel-hotel mulai dari kelas Melati sampai kelas mewah mengalami peningkatan signifikan. Apakah orang-orang mendadak sange atau sedang ingin menunjukkan rasa sayangnya kepada pasangan dengan memberikan alat kelaminnya?
ADVERTISEMENT
Saya ingat, koordinator liputan (korlip) koran tempat saya bekerja dulu pernah melempar ide liputan ke kami—para wartawannya—mengenai tingkat penjualan kondom di Hari Kasih Sayang. Ketika itu, wartawan dari desk ekonomi menyambut ide si korlip dan menuliskan dari perspektif bisnis.
Saat menulis tulisan ini, saya penasaran, apakah di era sekarang—saya sudah lama tidak bekerja di media—pemberitaan mengenai peningkatan penjualan kondom mewarnai tulisan-tulisan di media? Ternyata, setelah saya cek, masih saja ada berita yang mengangkat tema Valentine dan kondom. Saya sebenarnya agak takjub sih. Begini lho, kalau memang mau ngentu kan enggak perlu menunggu 14 Februari. Begitu juga kalau mau makan cokelat. Setiap hari juga bisa makan Silverqueen kalau memang punya uang.
ADVERTISEMENT
“Momen lhooooooooooo…” begitu balas seorang teman ketika saya menanyakan pendapatnya.
Mungkin juga saya envy karena sudah sekian lama tidak mendapatkan cokelat dan tidak mengentu dengan siapa pun di jelang Valentine. Kalau saya ingat-ingat, sejak saya bernapas sampai 2024 sekarang, tidak ada yang terlalu Istimewa yang terjadi selama Valentine.
Cokelat yang pernah saya dapatkan di hari Valentine adalah Bengbeng yang harganya sekarang Rp 2000. Beberapa pasangan sebelumnya pernah memberikan cokelat setelah kami having sex—dan itu tidak di Hari Valentine. Mungkin karena service saya enak, jadinya mereka memberikan cokelat, hahaha!
Memori saya tentang cokelat tidak hanya diisi dengan kenangan seks yang tidak hebat-hebat bangtt dan kasih sayang yang tidak sayang-sayang bangat. Justru kenangan tentang cokelat yang menurut saya pure diberikan oleh almarhum bapak.
ADVERTISEMENT
Bapak saya punya kebiasaan membeli cokelat dan menyimpannya di kulkas. Alih-alih menginformasikan langsung, beliau menyimpannya di lemari pendingin dan menunggu saya menemukannya. Pernah suatu waktu, saya dan kakak tidak ngeh kalau ada cokelat di kulkas, sampai akhirnya bapak bilang, “Ada cokelat itu di kulkas…” dan kami bersorak gembira, membuka kulkas penuh semangat. Ternyata cokelat tersebut sudah hampir seminggu dibeli. Mungkin bapak juga lupa atau mengira kami sudah menemukannya namun ternyata belum. Saya rasa itu adalah cokelat terakhir yang dibeli bapak sebelum akhirnya beliau meninggal April 2001.
Cokelat, Seks, atau Tidak Sama Sekali
Supaya tulisan ini tidak melulu tentang personal, saya mencoba mencari tahu muasal Valentine, seks, dan cokelat. Ternyata, sebelum menjadi “mesin” kapitalis, cokelat sudah sejak lama digunakan sebagai stimulan hubungan seks. Jauh sebelumnya, pada abad ke 3 Masehi, suku Maya dan Aztec meyakini kalau biji kakao yang menjadi cikal bakal cokelat memiliki sifat magis yang digunakan dalam ritual-ritual penting. Mulai dari kelahiran, pernikahan, dan kematian. Cokelat juga dijadikan sebagai minuman yang disajikan kepada tamu sebagai tanda kehormatan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1600-an Madame du Barry istri Raja Louis IV, memberikan minuman cokelat kepada suaminya untuk membuat suaminya tetap on. Baru kemudian tahun 1800-an, cokelat masuk ke industri dan dijadikan sebagai komoditi jualan untuk bukti cinta dan kasih sayang.
Kemudian bagaimana dengan seks? Dalam catatan sejarah, di era Romawi Kuno, 15 Februari dirayakan sebagai harinya Dewa Kesuburuan. Dan untuk menghormatinya, digelarlah pesta seks heboh. Konon, ini dihubungkan dengan 14 Februari sebagai perayaan Kasih Sayang.
Imho, setiap daerah punya tradisi dan caranya sendiri yang membentuk bagaimana upayanya dalam merayakan Hari Kasih Sayang. Di Indonesia sendiri—correct me if im wrong—tradisi Valentine tidak pernah ada.
Paparan media informasi saat ini—terutama digitalisasi—membuat budaya luar dengan mudah masuk, terserap dan diserap. Termasuk pemaknaan Hari Kasih Sayang dan bagaimana cara merayakannya.
ADVERTISEMENT
Media dan lingkungan pergaulan zaman now membuat hubungan seks adalah sesuatu yang biasa yang terkadang diglorifikasi salah satunya lewat Hari Vaentine. “Momen yang pas nih untuk ngentu..” mungkin begitu ya komentar manusia-manusia. Ada juga yang menjadikan Valentine semacam kamuflase supaya mendapatkan seks. Disodorinlah perempuannya cokelat, kemudian diajaknya staycation. “Kita cuma deep talk kok…” awalnya begitu tapi lama-lama “mengeras” juga kemaluannya.
Untuk kelompok single, Valentine tidak ubahnya seperti hari-hari biasa. Tapi kalau single “garis keras” dan ingin terlihat berdaya, ada saja yang menjadikan Hari Kasih Sayang ini sebagai girls night out. Yah suka-suka mereka sih.
Begitulah, kamu sendiri seperti apa Valentine-mu? Cokelat, kondom, atau golput?