Makan Noh Gengsi!

Bardjan
I make Wandha kneel down on me. Haha. Back off, you mortals!
Konten dari Pengguna
5 Mei 2017 19:23 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bardjan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Bapak cuma bisa sekolahin sampai S-1,” adalah kalimat terakhir yang diucapkan oleh mendiang Bapak saya, tepat 6 hari sebelum nyawanya direnggut sembarangan oleh Yang (katanya) Maha Penyayang.
ADVERTISEMENT
Entah itu adalah kalimat terakhir yang saya dengar atau tidak, yang jelas kalimat itulah yang masih melekat.
Dulu saya pemain drama --aktor panggung. Saya suka hal-hal berbau dramatika, apalagi jika disajikan ke dalam spektakel yang menggugah emosi. Namun, saya kurang suka drama di kehidupan nyata selain panggung.
Apa yang diucapkan oleh Bapak saya di atas terlalu dramatis untuk didengar oleh orang yang hampir setiap hari selalu bertatap muka. Pastinya Anda ngerti maksud saya, lah. Banyak di antara kita yang agak gengsi kalau sudah masuk ke adegan mellow-mellow-an bareng anggota keluarga; ibu, ayah, adik, kakak. Bawaannya pengen cepat-cepat mengakhiri obrolan, bukan?
Ya... Namanya gengsi.
Sebenarnya, kata-kata terakhir itu membuat hati saya bergetar ketika Bapak mengucapkannya. Namun, kembali lagi, saya tak bisa membalasnya dalam ungkapan yang se-melodramatik itu. Mungkin bagi Anda kalimat itu tidak berarti apa saja, tetapi bagi saya yang khatam betul bagaimana kondisi keuangan ayah sendiri, dan betapa arifnya ia menyisihkan duitnya yang tak seberapa itu supaya saya masih bisa pake almamater kuning --ah, sudahlah, kok diri yang goblok ini jadi mengiba!
ADVERTISEMENT
Alhasil, saya hanya membalasnya dengan tawa yang agak dipaksakan, “Hehehehe.. Iya, gak apa-apa.” Diupayakan bagaiaman pun pokonya ucapan 'drama' itu tidak lagi ada dalam perbincangan kami.
Kemudian, saya tak kuasa lagi mengingat lagi seperti apa pembicaraan kami bergulir. Pernah saya berusaha mengingatnya sekeras mungkin, namun saya tak temukan ucapan apa-apa yang keluar dari mulutnya di hari itu.
Yang saya temukan di kepala saya adalah tiga deret kata. Tiga. Dan itu pun bukan keluar dari mulut Bapak, melainkan dari pop-up chat di ponsel pintar saya pada suatu malam, suatu Desember yang paling buruk rupa, atau bahkan tak lagi punya rupa; suatu Desember yang sudah terlalu jijik untuk kutegur sapa. Seseorang telah meninggal, begitu kiranya isi chat itu.
ADVERTISEMENT
Saya sedang berada jauh di luar kota. Saat saya berusaha pulang secepatnya ke pemakaman, saya bahkan tak sempat melihat jasadnya menghablur jadi satu dengan gembur tanah. Ia sudah terjebak di dalam sana, tidak mau pulang, atau mungkin lupa jalan pulang. Sejak itu, berulang saya minta ia kembali, namun ia tak pernah menimpali.
Jika waktu bisa diputar, saya tidak akan pernah merasa sok gengsian pada saat itu. Ketika ia berkata, “Bapak cuma bisa sekolahin sampai S-1”, seharusnya saya hamburkan badan ini ke dalam pelukannya; tubuhnya yang makin kurus. Saya belai rambutnya yang tipis dan memutih, saya hirup harum kausnya yang wangi keringat khas, saya cium pipinya yang tak lagi lembap, kemudian saya ucapkan beribu terima kasih yang tak berujung.
ADVERTISEMENT
Bapak, terima kasih atas gelar pendidikan yang kini tersemat di akhir nama saya. Semua berkatmu.Terima kasih atas kasih sayangmu. Terima kasih atas suka dan luka yang mengajarkan kehidupan. Terima kasih atas pengorbanan yang tak pernah dipertontonkan di depan mata anak-anak, namun saya ngerti betul cuma kamu yang rela sebegitunya.
Bapak, saya ingin menangis sejadinya saat itu bersamamu. Lalu, air mata akan membasahi tubuh kita, berangsur sampai airnya jadi air terjun. Lalu banjirlah ruangan itu. Kita terendam bersama dan kekal tinggal di dalamnya; sampai airnya membeku jadi es, dan taring-taring es di dinding dan langit-langit itu menancap tubuh kita, lalu kita sakit-sakitan bersama.
Jeez... Dramatis, bukan? Bodo amat!
Biarlah saya yang kini mendramatisir suasana, Pak. Saya suka drama, kok. Masa bodoh drama! Saya suka drama baik di kehidupan nyata, maupun di atas panggung. (Lagipula, saya bukan lagi aktor panggung, Pak. Akting saya kaku, kata pelatih saya).
ADVERTISEMENT
Semoga saya dapat lebih berterima kasih kepada orang lain, peduli setan dengan gengsi.