Berdayakan KPI untuk Melawan Konten Siaran Negatif

Fachri Hidayat
Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal DPP GMNI Periode 2019-2022, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Angkatan 2013
Konten dari Pengguna
21 September 2021 21:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fachri Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPI Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPI Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah mendorong majunya industri penyiaran di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Industri penyiaran tidak hanya menyajikan konten-konten yang menghibur, tetapi juga harus menyajikan konten yang edukatif demi memberikan ilmu dan pengetahuan bagi segenap bangsa. Untuk itulah mengapa industri penyiaran sangat diharapkan dapat memproduksi konten-konten yang bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali media-media penyiaran seperti televisi dan radio yang masih kerap menampilkan propaganda kontra-nasionalisme. Selain itu juga banyaknya konten-konten yang kurang berkualitas di televisi dan radio telah mendorong masyarakat untuk mencari alternatif lainnya, yakni melalui media live streaming di internet. Kondisi ini jelas memprihatinkan karena konten-konten yang ada di internet sama sekali sulit terkontrol, bahkan banyak dari apa yang ada di internet adalah sesuatu yang tidak bermanfaat sama sekali atau bahkan secara kasar dapat dikatakan “sampah”.
Konten-konten “sampah” seperti lelucon sarkastik dan satire yang menyinggung orang lain ini jelas mengikis perasaan empati dan simpati sesama. Seharusnya konten-konten yang menyinggung orang lain atau menyakiti perasaan orang lain tidak boleh beredar dalam industri penyiaran. Media sudah seharusnya mampu memilah dan memilih konten yang dinilai mengumbar aib atau berpotensi menjadi bullying terhadap pihak-pihak tertentu.
ADVERTISEMENT
Komersialisasi berlebihan terhadap siaran-siaran juga membuat sebagian masyarakat menggunakan metode-metode ilegal untuk mengakses siaran yang mereka inginkan. Sebagai contoh saja, saat ini masyarakat kesulitan untuk menikmati siaran pertandingan sepakbola, masyarakat dipaksa untuk berlangganan produk tertentu untuk hanya agar bisa menonton pertandingan sepakbola yang mereka inginkan. Tidak heran kemudian banyak pihak-pihak yang kemudian memanfaatkan keputusasaan tersebut dengan memberikan akses-akses siaran yang ilegal.
Siaran-siaran ilegal tersebut juga berdampak pada konflik horizontal di masyarakat, yakni antara perusahaan penyiaran dengan masyarakat yang kurang mampu mengakses acara-acara berbayar. Seharusnya apa pun yang melalui frekuensi publik dipergunakan untuk kepentingan publik, jangan sampai semata-mata untuk komersialisasi dan kapitalisasi segelintir pihak untuk meraup keuntungan semata sehingga membuat masyarakat jenuh.
ADVERTISEMENT
Yang tidak kalah memprihatinkan lagi adalah dewasa ini memang harus diakui bahwa musuh-musuh bangsa tidak lagi terlihat seperti 50 atau 100 tahun yang lalu, kali ini musuh-musuh bangsa itu tidak berwujud dan sulit dikenali. Salah satu yang dapat dikatakan sebagai perwujudan baru dari musuh-musuh bangsa itu adalah menyebarnya konten-konten propaganda kontra-nasionalisme melalui media penyiaran.
Banyak media yang dengan sadar atau tidak turut berperan dalam penyebaran propaganda kontra-nasionalisme. Bentuk-bentuk propaganda itu antara lain adalah adanya glorifikasi terhadap hal-hal yang berbau intoleransi dan sebagainya. Kemudian adanya panggung bagi kelompok-kelompok intoleran yang masih disediakan oleh media penyiaran, hal ini bisa menjadi boomerang bagi upaya-upaya melawan intoleransi.
Kemudian hoaks atau berita bohong juga banyak beredar melalui media penyiaran. Hal ini tentu saja menjadi tanda bahwa industri penyiaran di Indonesia sedang mengalami krisis multi-dimensi yang tidak main-main, karena ini adalah celah bagi masuknya konten-konten yang merusak kepribadian bangsa. Konten hoaks ini juga menjadi pintu bagi upaya propaganda kelompok yang berusaha melakukan disintegrasi nasional, merusak kesatuan, dan persatuan bangsa. Dari banyaknya konten-konten negatif tersebut, maka diharapkan ada peran yang lebih signifikan yang dapat dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam hal ini KPI sebagai regulator harus secara ketat dalam menyeleksi konten-konten yang akan disiarkan oleh media-media penyiaran.
ADVERTISEMENT
Memang harus diakui apa yang menjadi keresahan yang dirasakan sebagian besar rakyat Indonesia adalah siaran-siaran yang membosankan dan kurang berkualitas. Bahkan beberapa stasiun televisi seenaknya hanya melakukan siaran ulang konten-konten dari internet atau media sosial seperti YouTube dan TikTok. Televisi juga dianggap kurang mampu menyaring apa-apa yang tidak boleh ditampilkan, walaupun itu berasal dari internet atau media sosial yang hak ciptanya cenderung bebas. Perlu disadari bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan, misalkan televisi harus benar-benar memilah dan memilih konten dari internet yang akan mereka siarkan ulang. Sehingga televisi tidak menjadi sekadar “ikut-ikutan” dengan apa yang terjadi di internet.
Selain itu yang terpenting adalah bagaimana KPI dapat meminta lembaga-lembaga penyiaran dari berbagai media untuk secara intens menyebarkan nilai-nilai kebangsaan. Hal ini bermanfaat sebagai propaganda tandingan terhadap pihak-pihak yang ingin merongrong integrasi bangsa, sehingga para anasir-anasir kontra-nasionalis bisa diredam.
ADVERTISEMENT
KPI tentu bisa bekerja sama dengan banyak stakeholder seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Dewan Pers agar konten-konten nasionalisme lebih banyak lagi bisa disiarkan melalui frekuensi publik. Jika kolaborasi berbagai stakeholder ini berjalan efektif maka tidak akan ada lagi konten-konten “sampah” yang muncul di televisi, radio, dan termasuk internet.
Sumber: KPI Pusat - DPP GMNI Beraudiensi dengan KPI Pusat Membahas Digitalisasi di Dunia Penyiaran