Mengapa Teori Konspirasi Sangat Memikat?

Fadhel Yafie
Pemikir bebas, penulis lepas
Konten dari Pengguna
29 April 2020 12:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhel Yafie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto Illuminati yang sering kali dicap sebagai dalang konspirasi global
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto Illuminati yang sering kali dicap sebagai dalang konspirasi global
ADVERTISEMENT
Sebelumnya saya sudah menulis beberapa argumen dengan sumber yang cukup kredibel untuk membantah klaim yang diajukan penganut teori konspirasi. Saya paham betul bahwa argumen se-kuat apa pun sulit untuk meruntuhkan kepercayaan penganut teori konspirasi. Paling-paling saya dituduh sebagai kaki tangan elite global yang memuluskan agendanya. Dulu, saya pernah dituduh demikian saat berdebat dengan Flat Earth Community di forum daring.
ADVERTISEMENT
Kalau benar elite global itu ada, tolong kabari saya. Saya ingin sekali dibayar untuk memuluskan propagandanya.
Berdebat dengan para penganut teori konspirasi itu mirip dengan berdebat dengan para fanatik agama. Ya, mereka memiliki kesamaan yang serupa.
Pertama, mereka yakin betul ada kekuatan yang ingin menguasai dunia. Entah itu Yahudi, elite global, Illuminati, Freemason dan lain sebagainya. Penguasa dunia itu ingin merusak tatanan yang ada sekarang. Dari agama, negara, sampai ke hubungan sosial manusia.
Kedua, mereka yakin kalau satu-satunya sumber kebenaran adalah informasi yang mereka terima. Semua yang bertentangan dengan kepercayaannya adalah salah. Di luar itu adalah antek-antek elite global. Antek-antek Yahudi.
Riset yang dipublikasi dalam jurnal Psychological Review tahun 2001, menyimpulkan bahwa penalaran kita sebetulnya bekerja seperti pengacara yang membela kliennya. Ia akan mencari segala macam pembenaran untuk membebaskan kliennya.
ADVERTISEMENT
Melihat fakta-fakta demikian, rasanya percuma saja kita membeberkan argumen dengan fakta dan data. Manusia hanya percaya dengan apa yang mereka mau percaya.
Mengapa Konspirasi Begitu Memikat?
Seperti kata Profesor dalam serial Netflix, Money Heist, saat menjalankan operasi Kamerun. Profesor memberi contoh menarik, katanya kalau ada pertandingan sepak bola antara Brazil dan Kamerun, siapa yang paling banyak dapat dukungan? Pasti Kamerun. Hanya orang Brazil dan pendukung tim Brazil yang mendukung Brazil. Profesor menyatakan bahwa manusia cenderung membela sesuatu yang lebih lemah, underdog.
Hal ini terjadi tahun 2016, saat Leicester City berhasil meraih trofi Premier League, semua orang bersuka cita. Berbeda dengan tahun ini, banyak fans sepakbola yang berharap Liverpool gagal merengkuh trofi Premier League, termasuk saya. Seandainya posisi Liverpool saat ini digantikan oleh Watford FC, pasti banyak orang yang rela kalau Premier League disudahi dengan Watford FC sebagai juaranya.
Leicester City memenangkan trofi Premier League tahun 2016
Teori konspirasi bekerja dengan cara serupa. Selalu ada narasi bahwa kita (manusia kebanyakan) sedang dalam ancaman dari kekuatan yang lebih besar, elite global. Menyebarkan ketakutan. Playing victims. Saat manusia merasa takut, rasionalitas berkurang. Teori konspirasi menyerang emosi paling primitif kita, ketakutan. Otak mengaktifkan mode survival. Fight of flight.
ADVERTISEMENT
Studi neurosains dalam jurnal El Sevier menyatakan bahwa pengambilan keputusan manusia didominasi oleh faktor emosional. Kita lebih mudah yakin pada narasi yang menekankan aspek emosional. Oleh sebab itu, pecandu teori konspirasi akan melawan apa pun argumen yang bertentangan dengan keyakinan mereka.
Sebuah penelitian yang dipublikasi di Applied Cognitive Psychology cenderung memiliki satu kesamaan: Mereka merasa kekurangan kendali atas hidup mereka. Mengkhawatirkan ketidakpastian. Teori konspirasi sering kali mencuat saat ketidakpastian dan ketakutan sedang tinggi-tingginya. Hal ini wajar, namanya juga lagi krisis.
Ketidakpastian menyebabkan kecemasan. Untuk mengurangi ketidakpastian, orang perlu percaya pada satu cerita yang menawarkan kepastian. Ini lah mengapa teori konspirasi banyak digandrungi. Karena mereka menawarkan kepastian. Mirip-mirip kan dengan fanatisme agama?
ADVERTISEMENT
Jurnal Cognition yang terbit di El Sevier menyimpulkan bahwa orang yang percaya dengan teori konspirasi cenderung memiliki tingkat kemampuan berpikir analitis yang rendah. Berpikir analitis adalah kemampuan untuk mencari kesinambungan antara sebab akibat sehingga meningkatkan ketepatan penyelesaian masalah.
Otak kita berevolusi bukan untuk mencerna data. Itu lah alasan kenapa sains eksak menjadi hal yang sulit kita cerna. Persamaan matematika, rumus, model, teori terlalu sulit untuk kita cerna. Otak kita berevolusi untuk menerima cerita, ini adalah satu-satunya kemampuan yang ada pada manusia dan tidak ada pada makhluk lain. Yuval Harari membahas dengan sangat brilian pada bukunya, Sapiens.
Tapi, teori konspirasi juga membeberkan banyak data? Ya memang betul. Hanya saja, mereka hanya menampilkan data-data yang menunjang narasinya. Tidak menyeluruh. Semua konspirasi pasti melakukan itu agar terlihat logis. Tetapi kekuatan teori konspirasi ada pada narasi ketakutan yang disebarkannya.
ADVERTISEMENT
Mengapa Konspirasi Tumbuh Subur?
Selain faktor psikologis yang membuat teori konspirasi digandrungi orang, ada pula faktor-faktor eksternal yang menambah subur teori konspirasi. Salah satunya adalah bobroknya kinerja institusi resmi, dalam konteks ini pemerintah. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan.
Teori konspirasi muncul dari ketidakpercayaan terhadap informasi yang ditawarkan pemerintah. Membuat narasi alternatif yang dianggap lebih memuaskan.
Kemudian, adanya internet memudahkan siapa pun mendapatkan informasi. Efek Dunning-Krueger berlaku di sini. Ketika seseorang mengetahui sedikit tentang sesuatu, dia akan merasa bahwa dirinya paling tahu. Mereka yang hanya tahu sedikit akan berbicara banyak. Tong kosong nyaring bunyi nya. Kita kenal betul istilah ini. Ilusi ketidaktahuan.
Ilustrasi dari efek Dunning-Krueger
Singkatnya, orang bodoh akan merasa paling tahu. Ini lah penyebab pendakwah teori konspirasi menjadi banyak. Sebab, hanya perlu membaca sedikit langsung merasa paling tahu dan banyak bicara. Hal ini merupakan konsekuensi dari internet, kita jadi pecandu kecepatan yang instan.
ADVERTISEMENT
Proses belajar untuk menggali informasi pun diabaikan karena kita menginginkan sesuatu yang cepat. Padahal, belajar atau mendalami satu bidang tertentu perlu memakan waktu yang tidak begitu singkat.
Para pakar yang banyak tahu juga sebetulnya banyak bicara, hanya saja jumlahnya sedikit sehingga sering kali kalah suara dalam ruang publik. Demokrasi sudah menginternalisasi dalam diri. Tidak hanya dalam hal pemilu, tapi juga berpendapat. Banyak dari kita yang menganggap semua pendapat sama nilainya, terlepas dari awam atau ahli.
Ada juga faktor dari industri pendidikan, eh institusi maksudnya. Belakangan ini, institusi pendidikan mengubah peran murid – guru menjadi konsumen – produsen. Konsekuensinya, murid yang seharusnya mematuhi dan mendengar apa kata guru jadi semena-mena.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang kita mendengar berita orang tua murid yang tidak terima dengan nilai yang diberikan guru pada murid. Institusi pendidikan berubah menjadi industri sehingga memperlakukan murid seperti konsumen. Mereka mencari keuntungan.
Fenomena menguatnya berita hoaks, teori konspirasi, fanatisme agama dan lain sebagainya punya satu benang merah yang sama: yaitu para pakar yang mendalami suatu bidang ilmu bertahun-tahun tidak didengarkan. Prof. Quraish Shihab, seorang ahli tafsir ternama dari Indonesia, saja sering jadi sasaran perundungan daring.
Saya merekomendasikan untuk membaca buku The Death of Expertise karangan Tom Nichols. Ini adalah buku yang banyak menjelaskan tentang mengapa para pakar tidak didengarkan, sehingga teori konspirasi ini tumbuh subur.
Kita perlu banyak membaca untuk menangkal tersebarnya teori konspirasi. Bukan hanya membaca, tetapi membaca dengan kritis. Membaca dengan berpikir analitis.
ADVERTISEMENT