Menyongsong Peradaban Intelektual Muslim Indonesia

Fadhil Azhar Permana
Sociology Student at UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Konten dari Pengguna
5 Juli 2020 19:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhil Azhar Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto: https://inpasonline.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: https://inpasonline.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Akhir-akhir ini dunia digentarkan oleh virus yang bernama Covid-19 atau corona virus disease 2019, dampak dari virus itu mengharuskan seluruh umat manusia untuk stay at home. Dimulai dari bekerja, belajar bahkan beribadah pun mengharuskan kita untuk dirumah. Dalam hal ini peranan umat Islam sangat dibutuhkan ditengah pandemi Covid-19, salah satunya Majelis Ulama Indonesia yang mengharuskan untuk beribadah dirumah selama pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang harmonisasi nilai-nilai Islam tentu sudah tidak asing ditelinga, bahkan beberapa orang atau bahkan beberapa organisasi masyarakat sudah mengejawantahkan perihal makna harmonis. Maka hal pertama untuk mentafsirkan makna tersebut harus bermula dari pemaknaan Tauhid, bahwa tauhid itu memiliki implikasi doktrinal, keberlangsungannya adalah integritas manusia sebagai hamba Allah. Karena memanusiakan manusia adalah tujuan dari implementasi tauhid dan indikator keberhasilannya adalah tidak adanya ketimpangan sosial, maka kalau melirik buku Membumikan Islam yang ditullis oleh Ahmad Syafii Maarif (Kerap kali disapa; Buya Syafii), maka katanya Buya Syafii kalau masih ada ketimpangan sosial proses implikasi belum terjadi sepenuhnya.
Pertanyaannya adalah bagaimana hal tersebut dilaksanakan ditengah pandemi dan Ramadhan ini kalau semua peribadatan diberlangsungkan dirumah? Lantas apakah dengan dirumah saja bisa melaksanakan peribadatan yang sifatnya memanusiakan manusia? Jawabanya tentu bisa, dengan berbagai ketentuan. Salah satu bentuk implikasi tauhid adalah dengan membuat sebuah gerakan kemanusiaan, gerakan tersebut adalah gerakan filantropi. Yang dimaksud filantropi disini adalah saling berbagi agar terciptanya suatu hubungan yang harmonis antar sesama manusia dilingkungannya.
ADVERTISEMENT
Kita tahu bahwa pemerintah menerapkan sistem PSBB (Baca: Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang risikonya adalah masyarakat yang tadinya dari mulai fajar terbit hingga petang tiba mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, sekarang hanya bisa duduk temenung disudut-sudut rumah, dalam tanda kutip menjadi pengangguran karena kehilangan sebuah pekerjaan. Maka sebagai muslim sejati yang mempunyai rezeki lebih bisa untuk membantu mereka yang kekurangan. Sifat altruisme itulah yang harus melekat dalam diri seorang muslim, karena tidak menutup kemungkinan rezeki mereka ada pada diri kita.
Menjadi muslim yang sejati dan mengadopsi nilai-nilai dari barat itu bagian dari terbentuknya corak Islam Kosmopolitan, yang dimana seorang muslim yang seperti itu adalah seseorang yang akan membawa alternasi bagi agama Islam sendiri. Karena hakikatnya muslim kosmopolitan lebih kepada konstruksi kemanusiaan. Beberapa ayat atau surat dalam Al-Quran telah Allah hadirkan berbagai perspektif yang berbeda akan tetapi tujuannya sama; corak masyarakat muslim yang sebenar-benarnya adalah bentuk pengabdian kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Maka dalam hal ini surat Al-Ma’un telah memberi kabar kepada seluruh umat manusia bahwasannya yang menjadi titik peribadatan adalah rasa ikhlas untuk bisa menginfaqkan sebagian rezeki kita untuk orang-orang yang kiranya membutuhkan. Karena hal tersebut bisa membangun manusia dari sisi kemanusiaan, keadilan, persaudaraan dan peradaban. Seperti yang telah penulis sampaikan diatas bahwa gerakan filanropi sangat tepat untuk ditawarkan dimuka publik ditengah pandemi Covid-19. Apalagi dengan kondisi masyarakat yang sedang lockdown yang artinya bahwa mereka kehilangan mata pencaharian. Seperti halnya dalam pelajaran biologi bab sistem reproduksi manusia, bahwa sifat alamiah manusia adalah peka terhadap rangsangan, namun bila dikaitkan dengan pandemi ini, bahwa sifat alamiah muslim sejati adalah merespon ketimpangan sosial, memberantas kebodohan dan menghapus ketidakadilan.
ADVERTISEMENT
Tentunya bagi mereka yang menyadari bahwa ia seorang muslim sejati, akan terbesit dalam hati untuk mengindahkan segala hukum Tuhan, untuk memajukan spirit kemajuan bagi umat Islam. Yang menjadi spirit kemajuan umat Islam saat ini adalah eksistensi dan substansi, kedua hal tersebut saling berkesinambungan. Seseorang tidak akan bisa sukses kalau tidak mempunyai kedua faktor tersebut, pun dengan umat Islam yang selalu eksis karena substansinya. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed. menuliskan dalam sebuah jurnal dikoran Pikiran Rakyat bahwa kokohnya aqidah umat muslim ditandai dengan 3 hal; inklusi atau integritas sosial, hukum dan norma sosial, serta berperan dan bertanggung jawab untuk memajukan bangsa dan negara.
Kalau kita mencermati secara seksama 3 hal penting yang paparkan kepermukaan publik oleh Pak Abdul Mu’ti, tentunya ada sinkronisasi dengan masyarakat madani. Ada 2 ciri dari masyarakat madani ini; yang pertama adalah adanya ruang publik yang bebas. Kalau menyinggung dunia politik, ada yang disebut teori transparansi, apa itu teori transparansi? yaitu prinsip menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh Informasi adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada masyarakat. Kembali kepada pembahasan ruang publik yang bebas, bahwsanya antara para Ulama dengan lapisan masyarakat harus proaktif dan tidak bisa pasif.
ADVERTISEMENT
Yang kedua adalah menghargai pluralisme, pluralisme merupakan paham dimana pandangan hidup memahami adanya pengakuan kemajemukan dan keberagaman di dalam suatu ciri kelompok sosial di masyarakat. Kemajemukan dan keberagaman yang dimaksud adalah dilihat dari segi agama, suku, ras, adat istiadat dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk menghindari diskriminasi sesuatu pada prinsip, dan menerima keberagaman yang menyangkut pada berbagai bidang, salah satunya bidnag agama. Keberagaman agama dalam mayarakat menjadikan hidup ini lebih berwarna. Keberagaman tersebut dapat diimbangi dengan sikap toleransi. Sebab, bila keberagaman agama tidak disertai dengan sikap toleransi akan mengakibatkan perpecahan maupun konflik dalm masyarakat.
Dalam situasi kali ini penulis mengutip kalimat Pram “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” arti adil itu sendiri ialah meletakan sesuatu sesuai dengan takarannya. Kalau dalam suatu meja ada dua gelas; gelas yang satu besar sedangkan gelas yang satu kecil. Maka untuk meuangkan air kedalam gelas itu harus sesuai takaran, kalau gelas yang kecil maka isilah dengan air yang volumenya sesuai dengan gelas itu, tidak boleh lebih, karena kalau kelebihan itu artinya tidak adil.
ADVERTISEMENT
Untuk menjadi muslim yang berperan dan bertanggung jawab untuk memajukan bangsa dan negara, banyak hal yang harus diperhatikan, akan tetapi hal pertama yang perlu diperhatikan adalah rekonstruksi berfikir. Hal ini mejadi sesuatu yang sangat signifikan bagi umat muslim itu sendiri. Islam akan menjadi agama yang statis kalau polarisasi berfikir kita masih kuno, tradisionalis, bahkan fundamentalis. Sebaliknya Islam akan menjadi agama yang paling dinamis ketika agama dan pemeluknya merespon tantangan zaman. Apabila di Indonesia dakwah yang dilaksanakan dimimbar sudah tidak efektif lagi, maka kini sudah saatnya alternasi bagi muslim Indonesia itu sendiri.