Polemik Ucapan Selamat Natal Bagi Muslim, Bagaimana Sikap Seorang Terpelajar?

Fadhil Azhar Permana
Sociology Student at UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Konten dari Pengguna
26 Desember 2020 14:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fadhil Azhar Permana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perayaan Natal. (Foto Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perayaan Natal. (Foto Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bangsa Indonesia disebut sebagai masyarakat multikultural, sebab masyarakatnya sendiri terdiri dari berbagai macam kepercayaan, suku bangsa, ras, budaya dan lain-lain. Tentunya, karena kemajemukan itulah yang membuat Indonesia tetap eksis seperti sekarang ini. Namun hal tersebut akan menjadi sebuah polemik karena terlalu banyak perspektif yang muncul kepermukaan publik.
ADVERTISEMENT
Karena, diantara tema yang kerap kali menjadi sorotan publik setiap tahunnya adalah pembahasan tentang hukum mengucapkan selamat natal bagi seorang muslim kepada umat Kristiani. Dalam tulisan kali ini, penulis bukan ahli agama dan tidak ada hak menetapkan fatwa, namun penulis ingin memberikan pandangan kepada para pembaca terkait ucapan selamat natal bagi seorang muslim.
Mengapa hal tersebut masih masih menjadi perdebatan? Karena sebuah perbedaan pandangan para ulama pada era kontemporer dalam menilai masalah ini. Ada yang memperbolehkan, ada juga yang mengharamkan. Kedua pandangan tersebut, masing-masing mempunyai dalil yang jelas dan tentunya dapat dirasionalkan secara akal sehat.

Pandangan Ulama Yang Mengharamkan!

Adapun pandangan dari para ulama kontemporer terkait haramnya mengucapkan selamat natal, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qoyyim dan tentu para muridnya. Alasan mendasar yang paling logis terdapat dalam akhir Q.S. Al-Kafirun “lakum dinukum waliyadin”.
ADVERTISEMENT
Selain Firman Allah, ada juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. bahwa Rasul bersabda “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, No. 4031). Berangkat dari dalil itulah sebagian para ulama mengharamkan ucapan selamat natal, karena disatu sisi perayaan natal mengandung syiar agama yang secara tersirat tidak kita sadari.

Lantas, bagaimana pandangan para ulama kontemporer yang membolehkan?

Polemik ini muncul karena ada keinginan dari sebagian umat muslim untuk memberikan atau mengekspresikan sikap toleransinya kepada umat kristiani. Bukan hanya itu, salah satu dalil yang sering dijadikan acuan membolehkannya mengucapkan selamat natal ialah menurut Q.S. Maryam ayat 33.
ADVERTISEMENT
Ketika membuka surat Maryam, maka akan ditemukan ayat yang menyatakan “selamat atas kelahiran Nabiyallah Isa”, yang mana itu merupakan salah satu nabi dalam keyakinan kita umat Muslim.
Kemudian dalil yang kedua, didalam hadits disebutkan bahwa Nabi pernah berdiri ketika seorang Yahudi membawa jenazah sahabat Yahudinya didepan masjid, kemudian Nabi menghentikan khutbahnya lalu pergi keluar dan memberikan penghormatan kepada mereka Yahudi. Kemudian para sahabat bertanya “Bukankah mereka Yahudi?”. Lantas Nabi menjawab “Bukankah mereka juga manusia? Maka kita harus menghormatinya sebagai sesama manusia”.
Dari dua landasan tersebut, ada makna yang tersirat yaitu karena keimanan kita (Muslim) tentu berbeda dengan keimanan mereka (Kristiani). Maka tidak ada masalah dengan landasan keimanan kita untuk mengucapkan selamat natal kepada umat kritiani.
ADVERTISEMENT
Menariknya adalah di Indonesia sendiri organisasi Islam terbesar yang didirikan pada 1912 yaitu Muhammadiyah, tidak pernah mengeluarkan fatwa secara resmi terkait ucapan selamat natal. Begitupula dengan organisasi Nahdatul Ulama (NU), tidak pernah mengeluarkan fatwa secara resmi.
Bahkan MUI sendiri pun tidak pernah mengeluarkan fatwa larangan mengucapkan selamat natal. Adapun dulu pada tahun 1980, Buya Hamka dianggap mengeluarkan fatwa terkait larangan mengucapkan selamat natal, sebetulnya tidak benar. Karena fatwa Buya Hamka sendiri hanya mengharamkan merayakan natal, bukan mengharamkan ucapan natal.
ADVERTISEMENT
Apabila kita memilih pendapat yang mengharamkan, maka jadikan alasan tersebut untuk lebih memperkuat hubungan secara vertikal kepada Allah SWT. Sebaliknya, ketika memilih untuk membolehkannya, pastikan alasan tersebut sebagai memperkuat hubungan secara horizontal kepada sesama manusia.
Maka, jangan sampai nalar kita menjadi tidak waras hanya karena persoalan-persoalan yang sifatnya khilafiyah. Terkadang kita sering mengharam/halalkan sesuatu yang duduk perkaranya saja belum jelas. Oleh karena itu, sebagai orang yang terpelajar sikap apapun yang dipilih, hendaknya tidak menjadikan umat terpecah belah.