Ahok, Gatotkaca, dan Para Kurawa

Senja Malam
Senja Malam
Konten dari Pengguna
10 Mei 2017 14:33 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Senja Malam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Waktu pihak Astina mengetahui bahwa Gatotkaca tewas, mereka bersorak bergembira. Sebaliknya, pihak Pandawa berkabung. Hampir semua prajurit Pandawa menangis. Semangat tempur mereka hampir lumpuh.
ADVERTISEMENT
Ayah Gatotkaca, Bima, juga mengamuk sambil tangannya sesekali mengusap air mata. Teringat-ingat kembali saat ia dan Gatotkaca kecil bercengkerama di Hutan Amarta bersama istrinya Dewi Arimbi.
Puntadewa dan Arjuna juga berpikir tentang hal yang hampir sama, penderitaan mereka di hutan Amarta sempat terhibur dengan kehadiran Gatotkaca kecil, sehingga mereka sudah menganggap Gatotkaca seperti anaknya sendiri.
Tiba-tiba muncullah di medan perang yang masih banyak prajurit membereskan senjata yang masih bisa digunakan, Dewi Arimbi, istri Bima, ibu dari Gatotkaca. Ia menyatakan ingin mati bakar diri bersama jenazah putranya di medan perang.
Arimbi meminta izin dan berpamitan kepada suaminya Bima. Bima memeluk istrinya dan tak mampu melarang karena dia tahu begitu cintanya Istrinya kepada anaknya Gatotkaca. Arimbi, sayang sekali kau tidak menyaksikan kehebatan anakmu.
ADVERTISEMENT
Pagi ini seluruh keluarga Pandawa berduka. Salah satu putra terbaik, Gatotkaca, anak Bima tewas di medan perang. Tungku pembakaran jasadnya masih mengepulkan asap, membubung tinggi ke angkasa. Baranya bahkan belum padam. Wewangian merebak dan semua menundukkan kepala.
Mungkin aku satu-satunya yang tidak menangis karena bagiku tak ada yang perlu ditangisi. Dia mati dengan hebat. Bertempur dengan ksatria yang sama sekali bukan tandingannya, Karena Adipati Awangga, sulung Pandawa yang dibuang ibunya dan memilih bergabung dengan Kurawa. Aku tahu semua alasannya, jadi mengapa kini semua berlomba mengucurkan air mata
*Pada suatu senja syahdu, di sebuah rumah kayu, di Gantong, Belitong ~ 9 Mei 2017