Nilai Antikorupsi: Orang Banyak Nomor Satu

Faisal Djabbar
Pegawai KPK 2005-2021 dan Pemerhati Kebijakan Publik
Konten dari Pengguna
17 Oktober 2021 11:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faisal Djabbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) menggelar spanduk raksasa di sisi utara gedung KPK, Jakarta, Minggu (25/11/2012). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK) menggelar spanduk raksasa di sisi utara gedung KPK, Jakarta, Minggu (25/11/2012). Foto: Reno Esnir/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Beliau rela menjaga saya dan adik perempuan saya tiap waktu. Di masa kecil kami, yang meski tidak terlalu berkecukupan, saya menikmati kedekatan yang intens dengan ibu. Dia berbagi peran dengan Bapak: beliau menangani urusan rumah tangga, Bapak mencari uang.
ADVERTISEMENT
Saya ingat hampir tiap malam, sebelum tidur, Ibu membacakan cerita-cerita inspiratif dari buku kecil yang dibelinya di pasar. Saya akui, sebagian kisah-kisah itu memengaruhi perilaku saya di masa kanak-kanak. Karena kisah-kisah yang dibacakan Ibu, saya juga menjadi senang membaca, mulai robekan kertas koran, komik, sampai majalah-majalah bekas yang saya beli di lapak tidak jauh dari rumah. Ibu saya telah memasukkan nilai-nilai kebaikan lewat buku kecil yang dibacakannya ketika kami masih anak-anak.
Suatu waktu saya membaca kisah menarik dari orang-orang hebat. Mantan presiden Irak, Saddam Hussein, pernah menulis buku berjudul Man and The City (2002). Dalam bukunya dia bercerita, ibunya kerap memeluknya sambil berkisah tentang para leluhur. “Ibu saya mendongengkan cerita-cerita sambil membelai rambut saya,” tulis Saddam. Hans Christian Andersen pernah mengalami kondisi serupa. Penulis cerita anak terkemuka abad 19 itu, melalui autobiografinya The True Story of My Life (2005), menulis, “Setiap minggu ayahku membuat gambar-gambar dan menceritakan dongeng-dongeng”. Ibunya pun melakukan hal yang sama. Sang ibu mengenalkan dongeng-dongeng legenda rakyat. Kecemerlangan Andersen menyusun kisah diduga banyak dipengaruhi pengalaman batin masa kecilnya. Pengalaman mereka ketika kecil banyak mempengaruhi sikap dan tingkah laku mereka ketika dewasa.
ADVERTISEMENT
Masa kecil adalah masa emas. Tiap anak punya kemampuan menyerap dan menyimpan informasi. Nilai-nilai yang disuntikkan akan teringat dan memberi andil bagi proses perkembangannya di masa datang. Teori psikologi kognitif menguatkan argumen ini: apa yang kita dengar, lihat, pikirkan, rasakan, dan alami akan mempengaruhi cara pandang dan perilaku kita. Perilaku seseorang merupakan resultante dari apa yang dia pikir, rasa, dan lakukan. Jadi, apa yang seorang anak lihat dan dengar semasa kecil akan membentuk karakternya bila dewasa kelak.
Ada beda antara pendidikan dan pembelajaran. Apa yang Ibu saya ceritakan adalah gaya mendidik. Pengetahuan yang saya peroleh dari guru-guru di sekolah adalah metode pengajaran.
Pendidikan dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai ke dalam budi manusia. Dalam hal ini, manusia yang masih perlu dibentuk, yakni mereka yang masih belum sanggup menilai secara objektif perilakunya. Menurut pakar pendidikan, J. Drost, SJ (2005), mereka itu adalah anak-anak di bawah lima tahun (balita), anak, remaja, dan pemuda (adolesens).
ADVERTISEMENT
Kata pendidikan atau mendidik, dalam bahasa Inggris, adalah educare. Kata ini berasal dari e-ducare, yang artinya menggiring ke luar. Arti lain, pemuliaan atau pembentukan. Jadi, pendidikan berarti pembentukan manusia. Sebuah pembentukan yang hanya mungkin lewat interaksi dengan lingkungan. Karena itu pendidikan bersifat informal.
Sementara itu, pengajaran atau pembelajaran berarti usaha menjadikan orang untuk belajar. Pengajaran membantu pelajar mengembangkan potensi intelektualitasnya. Karena itu, pengajaran bersifat formal. Resmi. Sebuah bentuk pendidikan dengan kurikulum yang sistematis dan pasti. Menurut J. Drost, SJ (2005), tujuan utama pengajaran ialah usaha agar intelek pelajar berkembang sepenuhnya.
Mahasiswa Poltekkes Aceh diwajibkan mengambil mata kuliah pendidikan budaya anti korupsi. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Bila kita kaitkan dengan upaya pencegahan korupsi, maka pendidikan antikorupsi adalah pendidikan nilai-nilai. Yakni suatu upaya memasukkan nilai-nilai ke dalam kesadaran manusia. Pendidikan antikorupsi bukanlah sebuah model belajar-mengajar yang bersifat formal.
ADVERTISEMENT
Pendidikan antikorupsi bisa dilakukan di mana pun: sekolah, warung, kampus, pasar, kantor, di tempat-tempat lain. Namun, lembaga pertama dan utama yang membentuk dan mendidik anak-anak tentang nilai-nilai, sesungguhnya, adalah lembaga keluarga. Orang tua, dan anggota keluarga lain, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap adolesens. Karenanya, yang pertama-tama memberi penyadaran tentang kejujuran, arti tanggung jawab, kerja keras, kesederhanaan, dan disiplin adalah orang tua. Keluarga.
Berbincang peran keluarga dalam menanamkan nilai-nilai, kita bertanya: nilai-nilai apa yang bisa ditanamkan dalam ke diri anak? Bagaimana proses internalisasi itu?
Untuk menjawab dua pertanyaan di atas, saya teringat tulisan Emha Ainun Nadjib di Kompas, 16 Desember 2012.
Dalam hidup, manusia harus melewati empat jalan: jalan keutamaan (margoutomo), jalan kewalian pengembaraan (malioboro), jalan kemuliaan (margomulyo), dan terakhir menapaki jalan pangurakan. Pemaparan dan elaborasi jalan-jalan kebaikan ini dapat disampaikan oleh orang tua (keluarga) melalui cara yang gampang diterima anak dan remaja.
ADVERTISEMENT
Dulu, kata Emha, antara Tugu hingga Kraton di Yogyakarta, terdapat empat jalan. Pertama, Jalan Margoutomo. Kemudian, sesudah rel KA ada Jalan Malioboro. Jalan seterusnya adalah Margomulyo. Lalu, dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Tapi, jalan-jalan itu sekarang sudah berganti nama menjadi Jalan Mangkubumi dan Jalan Jenderal Ahmad Yani. Perubahan nama keempat jalan tersebut, menurut Emha, melupakan wacana, filosofi, dan kesadaran sejarah jalan-jalan itu. Penggantian nama telah mengalami menyempitan makna: dari falsafah karakter manusia ke sekadar romantisme historis.
Menurut Emha: ketika berdiri, kesultanan Yogya meyakini tiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh jalan utama (Margoutomo). Jalan utama berarti pengutamaan akal dan budi, bukan mementingkan pencapaian jabatan, kekayaan, atau “eksistensialisme ngelmu katon atau kemasyuran yang pop dan industrial.”
ADVERTISEMENT
Jalan kedua yang wajib ditempuh manusia adalah Malioboro. “Malio” berarti jadilah wali, khalifah, duta Tuhan untuk memperindah dunia. “Boro” artinya mengembara. Jadi, Malioboro ialah jadilah wali yang mengembara. Mengembara: menjadi manusia yang punya keinginan kuat mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, “Penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit rohani.”
Nanti, setelah menyelami jalan Malioboro, manusia akan sampai di jalan kemuliaan (Margomulyo).
Di ujung hilir jalan Margomulyo, manusia akan tiba pada proses menapaki jalan Pangurakan. “Jiwanya sudah urakan”, ujar Emha. Urakan adalah orang yang berani: sudah berani mentalak rayuan dunia dari hatinya. Bahkan diri sendiri, bagi Emha, sudah ditalak tiga, karena “Diri sejati adalah kesediaannya berbagi, kerelaannya menomorsatukan orang banyak.”
Di situlah nilai antikorupsi yang sesungguhnya: kerelaan menomorsatukan rakyat.
ADVERTISEMENT