Kaki-kaki yang Berlari

Konten dari Pengguna
28 Juli 2019 14:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faizal Reza Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: https://www.pexels.com/photo/photo-of-person-wearing-converse-all-star-sneakers-2421374/
zoom-in-whitePerbesar
Source: https://www.pexels.com/photo/photo-of-person-wearing-converse-all-star-sneakers-2421374/
ADVERTISEMENT
Aku keluar dari bis Transjakarta dengan langkah setengah terseret. Siang, dan Blok M adalah terminal terakhir. Jadi tak banyak penumpang yang tersisa. Tak perlu khawatir ada yang mendorong-dorongku dari belakang cuma karena terburu-buru.
ADVERTISEMENT
“Tahu tempat sol sepatu, Pak?” tanyaku pada satpam di pintu keluar terminal.
Dia tak langsung menjawab. Tapi terlebih dulu memandangi muasal langkahku yang terseret siang ini. Sol sepatu kiri yang menganga seperti kelaparan.
“Kenapa sepatumu?” tanyanya.
“Nah. Itu dia,” jawabku. “Saya mesti benerin sol sepatu. Bapak tau tempatnya?”
“Lurus, naik tangga, lalu keluar. Dekat musholla dan toilet.”
Aku mengangguk dan berterima kasih, lalu berjalan ke arah yang ditunjukkannya. Masih dengan langkah terseret. Kau tahu? Reparasi sol sepatu di mall harganya bisa lima kali harga makan siangku di warteg. Jadi masih beruntung kali ini sepatuku rusak saat sudah dekat terminal Blok M. Tempat yang harga-harganya jelas jauh lebih masuk akal bagiku daripada harga mall.
ADVERTISEMENT
Beruntung? Iya, beruntung. Selalu ada keberuntungan di balik setiap kesialan kan? Padahal namanya sial ya sial saja. Ah sudahlah..
Cuma butuh lima menit sampai akhirnya aku berdiri di depan tempat sol sepatu. Sebuah piring dan gelas yang sudah kosong terlihat di atas meja. Si tukang nampaknya baru selesai makan siang. Dan seperti juga si satpam tadi, si tukang pun langsung sadar dengan sol sepatu kiriku yang menganga. Semuanya kemudian berjalan cukup cepat.
Sat set bat bet. Bat bet sat set.
Tak sampai setengah jam, sepatu kiriku sudah terjahit rapi. Kembali normal dan nyaman dipakai seperti semula.
“Berapa, Pak?” tanyaku.
“Nggak usah,” dia menggeleng.
“Yang bener, Pak.”
“Bawa aja. Gratis.”
“Saya ada uang, kok,” suaraku mulai meninggi. “Berapa?”
ADVERTISEMENT
“Nggak apa-apa. Bener.”
“Oke. Bapak yang maksa. Tapi saya mesti tahu alasannya.”
“Alasan apa?”
“Alasan kenapa gratis.”
“Buat pemilik kaki-kaki yang tak pernah lelah buat mengejar cintanya, saya kasih gratis,” jawabnya enteng.
Mendadak aku penasaran dengan menu makan siangnya tadi.
***