Sepeda dari Presiden

Konten dari Pengguna
5 Juli 2019 0:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faizal Reza Iskandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Source: https://www.pexels.com/photo/monochrome-photo-of-people-riding-bicycle-1579007/
Malam Minggu, baru jam sepuluh, di sebuah kedai kopi Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
“Hah? Putus?” tanyaku sambil memandangi mata pacarku lekat-lekat. Sebenarnya ingin langsung kulanjutkan dengan “Kenapa?”, tapi aku yakin kalau pertanyaan itu tak ada gunanya. Kuberitahu satu hal. Aku paling malas dengan basa-basi. Bagiku yang sudah ya sudah. Dan nggak semua hal perlu alasan. Tak semua pertanyaan mesti dijawab. Dan pertanyaan “Kenapa?” tadi akan semakin menyebalkan kalau ternyata nanti dijawabnya dengan “Kenapa tidak?”
“Aku lebih nyaman kita temenan,” lanjutnya.
Bullshit. Kataku. Tentu saja dalam hati. Masih kuingat dengan jelas, dia yang pertama mendekatiku. Dia yang pertama ingin bertemu dan memakai alasan ingin belajar menulis cerpen, ingin ngobrol soal musik grunge pasca Nirvana, dan ingin mulai mencintai film Indonesia. Katanya. Saat itu pada dasarnya aku sedang kesepian, jadi ya terjadilah. Hanya dalam waktu singkat, dua kali kencan. Kencan pertama berakhir dengan makan steak, kencan kedua berakhir dengan makan seafood, dan makan seafood berlanjut dengan sarapan. Keesokan harinya. Di apartemennnya.
ADVERTISEMENT
Satu ciuman manis di pagi hari membuat kami langsung naik status ke pacaran.
“Aku belum siap punya hubungan serius,” sambungnya.
Ini lebih bullshit lagi. Bantahku. Masih dalam hati. Sejauh ini kami memang belum pernah membicarakan hubungan lebih serius. Bahasan-bahasan tentang pernikahan dan komitmen seringkali membuat kami berdebat sampai pagi. Kadang di apartemennya, kadang di rumah kontrakanku, tapi seringnya juga di chat. Jadi kenapa masih memakai alasan ini? Please lah!
“Kita udah nggak cocok lagi,” bisiknya.
Ingin rasanya aku membantah dengan kutipan “Cinta bukan hanya tentang menyamakan beda..” atau semacamnya. Tapi tentu saja kuurungkan. Sejak awal kusadari betul kalau aku dan dia memang benar-benar berbeda dalam banyak hal. Makanan, minuman, musik, buku, sampai film favorit, hingga kebiasaan-kebiasaan kecil dan pemikiran atau sikap dalam beberapa hal. Sangat berbeda. Memang susah dibayangkan kalau akhirnya kami bisa bersama.
ADVERTISEMENT
“Aku pengen sendirian dulu,” lanjutnya lagi.
“Sebentar,” selaku. “Tadi kamu sudah sebutin berapa alasan? Lima?”
“Baru empat.”
“Apa saja?”
“Aku lebih nyaman temenan.”
“Satu. Terus?”
“Aku belum siap punya hubungan serius.”
“Dua.”
“Kita udah nggak cocok lagi.”
“Tiga. Terus?”
“Aku pengen sendirian dulu.”
Aku kembali memandangi matanya lekat-lekat. Mata yang pernah akhirnya membuatku perlahan tenggelam, lalu jatuh setengah mati itu. Senyum yang menemaniku empat bulan terakhir. Perempuan cantik yang membuatku sejenak lupa dengan hiruk pikuk Pilkada Jakarta.
Tapi perpisahan tetaplah perpisahan. Dan yang diawali dengan baik juga harus diakhiri dengan baik juga. Datang tampak muka, pulang harus tampak punggung. Begitu kata orang-orang zaman dulu.
“Tadi apa alasan terakhirnya?” tanyaku lagi.
ADVERTISEMENT
“I need space!” jawabnya tegas. “Aku pengen sendirian dulu.”
“Okelah,” aku akhirnya menyerah. “Ya sudah sana ambil sepedanya.”
***