Toxic Masculinity: Kamu kan Laki-Laki, Masa Menangis?

Faizuddin Ahmad
Librarian at National Library of the Republic of Indonesia
Konten dari Pengguna
27 Juli 2021 16:20 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faizuddin Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menangis (Source : pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menangis (Source : pexels)
ADVERTISEMENT
Sejak pindah ke Jakarta saya mengalami Culture Shock yang membuat saya harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sejak kecil hidup saya habiskan di lingkungan desa sehingga ketika harus pindah kerja dituntut untuk membiasakan diri hidup di tengah gemerlapnya metropolitan ibu kota. Suasana macet yang tak pernah terelakkan ketika berangkat kerja, biaya hidup yang mahal, tidur di kos-kosan yang super-super sempit diselimuti hawa yang panas yang mencengkram setiap hari. Saya pun harus membiasakan diri tidur dengan kipas angin yang tidak pernah saya lakukan ketika di kampung.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ketika saya pindah kerja di Jakarta, saya sempat ragu dan tak yakin apalagi harus meninggalkan orang tua. Saya anak pertama dari dua saudara sehingga mempunyai kewajiban untuk mengurus orang tua. Di tengah pandemi yang semakin meningkat ini membuat saya untuk pulang kampung sedikit terhalangi. Di tengah perantauan tanpa sanak saudara memang cukup berat bagi saya. Berhari-hari harus mendekam di kos-kosan yang kecil mungil ini. Selalu mendengar kabar buruk bahwa sanak saudara di kampung pada meninggal dunia, terkena PHK, dan kabar terakhir kemarin orang tua sakit yang membuat saya kacau perasaannya.
Namun, sebagai laki-laki ketika mengutarakan perasaan saya ke teman, sembari sesekali meneteskan air mata sebagai bentuk mengekspresikan perasaan. Mereka selalu bilang “loe kan cowok mengapa sih harus menangis”. “Orang-orang juga sama kena akibatnya karena pandemi”, "mungkin juga ada orang yang lebih jatuh daripada loe”. “Jadi syukuri aja yang ada”. Sebenarnya kata-kata tersebut bukan sebagai bentuk penguatan positif melainkan bisa jadi toxic bagi saya.
ADVERTISEMENT
Konstruksi sosial yang sudah dibangun sejak lama bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat dan tangguh, sementara perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang lemah. Maka ketika ada laki-laki yang menangis ketika dalam keadaan jatuh maka dianggap banci, tidak tangguh dan lemah. Padahal setiap makhluk hidup diperbolehkan untuk mengekspresikan perasaan melalui menangis.
Menangis merupakan keadaan alamiah manusia untuk mengekspresikan emosionalnya seperti ketika sedang sedih, frustrasi, kehilangan, kekecewaan ataupun Bahagia. Sebaliknya berdasarkan survei The Mens Project ketika kita tidak meluapkan emosi postif kita dengan menangis dengan menganggap semua laki-laki harus tangguh justru dapat menimbulkan masalah Kesehatan mental. Hal inilah yang mengakibatkan tindakan kriminal, bunuh diri hingga pelecehan seksual oleh laki-laki. Dikutip dari narasirnewsroom secara hormonal perempuan lebih mudah meneteskan air mata dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena hormon testosteron ikut mengerem laki-laki untuk menangis.
ADVERTISEMENT
Menurut laman hello sehat, air mata adalah terapi dan menangis adalah katalis untuk menyalurkan emosi yang terpendam dalam diri. Beberapa studi juga mengeklaim bahwa menangis dapat mengurangi rasa sakit. Ini karena menangis dapat memicu kontak fisik dengan individu dan sentuhan lain misalnya dipeluk atau didekap.
Menangis bukan menjadi sebuah kelemahan baik untuk laki-laki maupun perempuan, menangis sebagai tanda bahwa kamu memiliki solusi di setiap permasalahan tanpa melarikan diri dari masalah, dengan menangis kamu akan lebih mampu untuk menjalankan rutinitas-rutinitas kedepannya tanpa harus menahan emosi negative dan merenung berhari-hari meratapi nasib.