news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Industri Pariwisata yang Berbudaya

Fajar Martha
Karyawan swasta yang senang baca sastra
Konten dari Pengguna
10 Januari 2020 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Martha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Industri Pariwisata yang Berbudaya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Jiplak-menjiplak itu tidak baik. Sejak belia kita diajarkan bahwa percaya pada kemampuan sendiri adalah perilaku yang mulia. Kebiasaan menyontek akan membuat mental kita terbiasa berlaku lancung dalam meraih sesuatu. Jika kebablasan bisa celaka.
ADVERTISEMENT
Dulu, saya diperingati Ibu untuk tak menyontek pekerjaan teman sebangku. Ia bilang, mungkin saya berhasil mengelabui guru, dan puas karenanya. Nilai ulangan selamat, bebas pula dari amarah orang tua. Ia berpesan bahwa nilai mendasar dari kecurangan tersebut adalah saya, pada hakikatnya, sedang membohongi diri sendiri.
Pada 14 Maret 2018, Wali Kota Jakarta Timur periode 2015–2018, Bambang Musyawardana berencana menyulap kawasan Jatinegara menjadi salah satu ikon wisata Jakarta Timur, dengan konsep yang mengacu pada Malioboro.
Gula-gula semata? Seratus persen iya. Buktinya rencana tersebut menguap begitu saja. Maksud baik tersebut sejatinya telah gagal dalam satu hal penting: ketidakmampuan pemangku kuasa memahami budaya masyarakatnya.
Harga yang Harus Dibayar
Warga Jakarta Timur saya jamin tahu sekali bahwa Jatinegara takkan bisa disandingkan dengan Malioboro. Kontur sosial dan kesejarahan adalah faktor-faktor penting dalam menilai karakteristik suatu daerah. Kurang ikonik apa Jatinegara, yang pada era kolonial bernama Meester Cornelis itu? Kurang berdenyut apa Jatinegara, yang telah lama menjadi salah satu dinamo perekonomian kota?
ADVERTISEMENT
Meniru budaya, metode, atau teknologi dari pihak lain bisa menjadi hal positif saat kita menyeimbanginya dengan kemampuan mengukur diri. Sayang, bangsa kita begitu mencandu hal-hal besar, atau hal yang sedang ngetren secara mentah-mentah. Mentang-mentang industri pariwisata sedang bergeliat, apa-apa harus berbau sama. Semua harus instagrammable. Kebijakan secara instan dibuat setelah sesuatu menjadi viral. Kurang kreatif? Siarkan kabar pada mahasiswa dan akademisi. Rangsang mereka untuk saling bersaing mengutarakan gagasan.
Berapa banyak ongkos yang harus ditanggung negara dan masyarakat dari proyek-proyek mercusuar?
Anda meminta contoh? Baik: Taman Mini Indonesia Indah dan P3SON Hambalang. Yang pertama kepayahan mendulang laba dan belakangan malah menunggak pajak lebih dari Rp 2 miliar. Pada contoh kedua, kita tahu belaka proyek tersebut mangkrak karena mega korupsi.
ADVERTISEMENT
Era pemerintahan Jokowi pun tak luput dari kegagalan pembangunan infrastruktur—yang diharap mampu pula menopang industri pariwisata.
Bandara Kertajati, bandara nomor dua terbesar di Indonesia, sepi pengunjung. Selama Mei hingga pengujung 2018, bandara yang berada di Kabupaten Majalengka itu hanya berhasil melayani 35.000 orang. Seharusnya bandara tersebut sanggup menampung hingga 5 juta penumpang per tahun.
Pariwisata + Industri Kreatif: Menoleh ke Korea Selatan
Presiden Joko Widodo telah menjatuhkan pilihan kepada Wishnutama Kusubandio, pendiri Net TV, untuk menjadi Menteri Pariwisata dan Perekonomian Kreatif. Kementerian ini kembali menaungi perekonomian kreatif, setelah di periode sebelumnya berada di bawah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Pengangkatan Wishnutama banyak menuai pujian. Ia dirasa pantas berkat portofolio mentereng di industri kreatif. Tangan dinginnya telah berhasil menyukseskan Indosiar, Trans TV, Trans 7, hingga pegelaran Asian Games 2018.
ADVERTISEMENT
Industri pariwisata dan ekonomi kreatif memang berkelindan. Bahkan, pariwisata merupakan sektor suplementer terhadap ekonomi kreatif.
Kombinasi kekayaan budaya, keindahan alam, dan niat kuat pemerintah adalah modal utama dalam menciptakan ekosistem pariwisata yang apik. Suatu ekosistem yang berkelanjutan (sustainable) dan berdaya-lenting (resilient).
Keindahan alam bukan satu-satunya penyebab jutaan wisatawan melancong ke Korea Selatan (Korsel). Negara yang dipimpin Moon Jae-in tersebut menjadi magnet turis berkat kekayaan budaya yang mereka punyai.
Dalam teropong geopolitik, istilah kerennya soft power atau diplomasi halus. Sebuah fakta: pertumbuhan wisatawan Indonesia yang mengunjungi Korsel dipicu oleh penetrasi hallyu (‘demam Korea’) ke dalam kehidupan sehari-hari. Pada semester pertama 2018, wisatawan Indonesia yang berpelesir ke tanah air K-Pop surplus 12 persen (120,000 orang) dibanding periode yang sama pada 2017.
ADVERTISEMENT
Itu semua tidak terjadi dalam waktu semalam suntuk, layaknya pembangunan kilat ala Bandung Bondowoso. Ilmuwan politik AS, Samuel Huntington pernah terkejut dengan perbandingan ekonomi antara Korsel dengan Ghana (2000). Ia mendapati bahwa tingkat perekonomian kedua negara—dengan growth national income sebagai indikator—berada di level yang sama di awal 1960-an.
Tiga dekade berselang, ekonomi Korsel lepas landas melampaui Ghana. Mereka menjelma raksasa industri, menempati urutan ke-14 sebagai negara berkekuatan ekonomi terbesar di dunia. Sementara perekonomian Ghana, catat Huntington, hanya seperlimabelasnya!
Membicarakan hallyu tidak bisa disandingkan dengan budaya pop AS ataupun British invasion. Mereka berasal dari negara adikuasa, yang menancapkan pengaruh ke penjuru bumi sejak lama. Selain mengalami penjajahan Jepang (1910 – 1945), Korsel pernah lulu lantak di segala segi karena berperang dengan Korea Utara (1950 – 1953).
ADVERTISEMENT
Komersialisasi hallyu menjadi sinkron dengan semangat untuk bangkit. Ekonomi Korsel yang ditopang kapitalisme kroni pun—kala itu—sedang mekar. Mereka berani mengalokasikan 1 persen bujet negara untuk kebudayaan. Padahal, seperti Indonesia dan Thailand, Korsel menjadi negara yang paling terdampak krisis finansial 1997.
Lewat kebijakan segyehwa, pemerintah mengucurkan subsidi dan pinjaman berbunga rendah tak hanya kepada industri kreatif. Mereka turut mendorong institusi pendidikan untuk membuka jurusan industri kebudayaan—yang pada saat itu berbiak hingga 300 jurusan di seluruh penjuru negeri.
Dan kini mereka telah memanen hasil. Pada 2012, nilai produk budaya Korsel mencapai USD 5,02 miliar. Teraktual, dari valuasi ekonomi boyband BTS saja, mereka diperkirakan meraup sekira Rp 50,7 miliar.
Ngeri. Sungguh ngeri dan membuat iri. Padahal salah satu pemantiknya sepele. Tahun 1994, pemerintah Korsel menyadari pentingnya ekonomi kreatif setelah mengetahui bahwa laba film Jurassic Park melampaui penjualan 1,5 juta mobil merek Korsel, Hyundai.
ADVERTISEMENT
Kemampuan Mengukur Diri
Sumber daya fosil bisa habis. Industri ekstraktif yang lain semisal minyak kelapa sawit pun menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang nyata. Wajar jika pemerintah memberi fokus pada industri pariwisata, dengan mencanangkan proyek destinasi wisata ’10 Bali Baru’.
Bisakah kita mengikuti jejak Korsel? Tak ada yang mustahil. Toh seorang juragan kayu bisa menjadi presiden. Namun untuk apa? Sekadar menjadi proyek bancakan bagi elite penguasa-pengusaha, seperti yang sudah-sudah?
Kebudayaan bukan cuma tari-tarian atau eksotisme suku pedalaman. Kebudayaan adalah cara hidup, mindset, serta labenswelt (‘dunia yang ditinggali’).
Meminjam metafor Clifford Geertz, kita semua adalah laba-laba yang terjerat dalam webs of significance. Sarang laba-laba yang kita buat berpautan dengan sarang orang lain, juga dengan dengan ideologi dan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Bila demikian, korupsi merupakan kebudayaan bangsa. Begitu pula dengan semangat gotong royong. Kita boleh memilih, mana yang musti kita berantas, mana yang harus kita tumbuhkembangkan. Jangan-jangan yang kini terjadi justru kombinasi keduanya, bergotongroyong dalam melakukan korupsi? Alamak!
Antara masyarakat pesisir dengan agraris atau pegunungan tentu berkebudayaan berbeda. Corak masyarakat Kepulauan Seribu dengan Kepulauan Riau saja sudah tak sama. Setiap hal perlu diukur secara matang, termasuk pengembangan pariwisata. Jangan sampai, konkretisasi pembangunan industri tertelan oleh jargon-jargon serta akal bulus penguasa-pengusaha. Sia-sia menjaring angin, terasa ada tertangkap tidak.
Bukankah Jatinegara memiliki potensi distingtif, sehingga tak perlu berkaca pada Malioboro? Kebudayaan masyarakat Jatinegara adalah kebudayaan ekonomi, khususnya informal dan ilegal. Berbeda dengan mereka di Malioboro yang kental dengan seni dan tradisi.
ADVERTISEMENT
Seperti yang disampaikan Fahrurozy Darmawan, perencanaan dan pengelolaan yang mengikutsertakan masyarakat secara aktif adalah cara yang ampuh dalam meminimalkan dampak negatif pariwisata.
Masyarakat China memiliki cultural value bernama guanxi. Para ilmuwan menganggapnya sebagai faktor krusial kaum diaspora China dalam berniaga di negara-negara Asia Pasifik dan Tenggara. Memahami guanxi merupakan keniscayaan bagi investor jika ingin berbisnis di China.
Indonesia pun demikian. Apalagi kita bukan masyarakat homogen seperti China. Orang-orang Maluku mengenal falsafah hidup ‘pela-gandong’. Masyarakat Minang mengenal ‘masyarakat nan sakato’. Begitu pula Papua, Banjar, atau Sumba. Silakan tanya antropolog, dan terpenting, ajak masyarakat di daerah-daerah ’10 Bali Baru’ berdialog. Merekalah yang utamanya harus sejahtera oleh proyek ini.
Beban berat berada di pundak Wishnutama. Sebagai nakhoda, proyek ’10 Bali Baru’ adalah destinasi yang panjang dan berombak. Pengalaman serta jaringan yang telah ia bangun sejak 1994 bisa menjadi modal esensial selama ia menjabat. Energi muda yang ia punya harus bersinergi dengan instansi-instansi lain seperti Pemerintah Daerah, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Saya berharap, ia dan Kemenparekraf tidak memperlakukan pariwisata seperti benda mati, yang diukur berdasarkan jumlah wisatawan atau besaran investasi dan devisa. Pariwisata wajib berbudaya, karena ia adalah roh yang mendenyutkan jantung kehidupan bermasyarakat.