Ilustrasi ChatGPT

The End of F***ing Work: AI dan Kiamat Pekerjaan

Fajar Martha
Karyawan swasta yang senang baca sastra
28 Februari 2023 15:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
2023 belum lewat dua bulan namun hari-hari senantiasa dinaungi mendung. Ada banyak kabar murung, seperti musibah gempa di Turki dan Papua; atau bagaimana cela dan mala terus datang dari institusi Polri. Tapi, di mata saya, tak ada yang mengalahkan berita tentang kian canggihnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Beberapa hari lalu saya menghadiri pernikahan kakak ipar yang, lazimnya pernikahan, dihadiri banyak anggota keluarga muda. Bayi-bayi kerap jadi bintang, tak kalah dengan kedua pengantin. Mereka adalah penawar jemu untuk pertanyaan-pertanyaan intimidatif keluarga atau bunyi musik yang terlalu pekak.
Berita tentang AI menyulitkan saya menerka masa depan di bening mata para bocah yang bergelendot seperti koala itu.
Apakah, sehabis melewati suramnya pandemi, kita harus kembali berbagi kecemasan yang sama?
Saya mencoba mengenyahkan perasaan ini. Di jalan, saya mengamati para saudagar mobil bekas yang tampak sukses. Saya mencari pantulan rasa syukur orang-orang yang mencari nafkah dengan berniaga—atau profesi apa pun yang tidak membutuhkan ijazah dan sertifikat.
Saya menyentuh kembali buku-buku yang telantar sebagai upaya untuk:
Saya gagal.
Ocehan orang-orang tentang cara mengoptimalkan ChatGPT atau Dall-E—bagaimana kita seharusnya mampu mengendalikan AI yang sejatinya hanya alat—terdengar seperti irama sumbang yang tak sanggup menghalau galau.
Segala lelucon tentang AI sama sekali tidak menghibur saat tahu bahwa Netflix Jepang menggunakannya untuk membuat gambar latar anime The Dog & The Boy.
Seperti menuang cuka di atas luka, mereka tak memberi atribusi bagi pekerja yang mengoperasikan teknologi tersebut. Mereka merasa repot menuliskan nama lengkap sang pekerja, hanya menera tulisan “+ human” di akhir anime.
Mereka kontan dihujani kritik. Netflix Jepang kemudian berkilah, hal itu dilakukan untuk merespons kelangkaan talenta di industri anime, yang tentu saja menuai banyak cemooh.
Tak menunggu waktu lama, kejadian serupa terjadi di negara kita. Aktornya The Jakarta Post yang diduga menggunakan AI di ilustrasi tentang fenomena pengonsumsian pornografi. Di Twitter, ilustrator bernama Nai Rinaket membeberkan sejumlah kejanggalan. “Karya” tersebut, alih-alih berbau keringat seorang perupa, justru semerbak variasi data dan natural language processing.
Nai serta banyak orang menyayangkan sikap The Jakarta Post yang tidak memberikan kredit pada ilustrasi. Terdapat potensi pelanggaran etika dan hak cipta jika media tersebut tidak memberikan pengungkapan (disclaimer) apa pun perihal gambar yang diciptakan AI.
Ilustrasi ChatGPT. Foto: Iryna Imago/Shutterstock

Bukan yang Tercanggih

Chat GPT dan Dall-E adalah dua dari beberapa produk rekaan OpenAI. Perusahaan tersebut didirikan pada 2015 di San Fransisco.
ChatGPT diluncurkan OpenAI pada November 2022. Hanya dalam waktu dua bulan, mereka sanggup meraup 100 juta pengguna. Torehan ini menobatkannya sebagai layanan internet dengan perkembangan tercepat.
Fakta itu tentu membikin ngiler perusahaan big tech seperti Microsoft dan Google. Microsoft menggelontorkan investasi sebesar $10 miliar untuk OpenAI pada Januari 2023. Teknologi ChatGPT rencananya akan ditanam dalam search engine Bing milik Microsoft, dan diharapkan mengalahkan dominasi Google di ranah mesin pencari.
Di ujung ring, Google telah mempersiapkan petarung bernama Bard, yang ditopang teknologi Language Models for Dialogue Applications (LaMDA).
Layanan-layanan ini masuk dalam kategori generative artificial intelligence (AI generatif). Selain memberikan jawaban, mereka juga mampu meringkas, menerjemahkan, menyortir, hingga mengemas bermiliar terabita informasi (teks, gambar, suara, dll) yang ada di internet.
Ia dapat memberi tahu rumus Excel yang tepat untuk menyelesaikan laporan keuangan. Dengan permintaan sederhana, ChatGPT sanggup menulis naskah pemasaran yang seharusnya membuat copywriter ketar-ketir. Teknologi, yang dulu menjadi Izrail bagi pekerja kerah biru, mulai menghantui para pekerja kerah putih.
Chatbot bersenjatakan AI generatif juga mengancam dunia pendidikan dan jurnalisme. ChatGPT kemarin hari berhasil lulus ujian hukum dan kedokteran level tinggi. Sejumlah universitas di AS menyetop memberikan pekerjaan rumah dan ujian open book untuk menghalau kecurangan siswa.
Di ranah jurnalisme, CNet diam-diam menggunakan AI untuk menciptakan artikel. Seperti yang dialami Netflix Jepang, mereka mendapat banyak kritik dan cibiran. Apalagi ditemukan kesalahan dan plagiarisme di lebih dari separuh artikel yang ditulis AI. Perusahaan memutuskan untuk menghentikan program tersebut.
Sejatinya kita telah lama hidup berdampingan dengan AI. Ia menjadi arsenal untuk Google Maps hingga asisten pintar seperti Siri. Namun AI jenis ini adalah versi lemah (weak AI). Enam tahun silam AI generatif bahkan belum lahir.
Padahal kecanggihan AI generatif berada di level menengah. Kelak, kita akan bersanding dan bersaing dengan AI versi puncak, yaitu superintelligence. Mengutip pendapat filosof Universitas Oxford Nick Bolstrom, superintelligence adalah kecerdasan buatan yang “telah begitu digdaya sehingga mampu membentuk masa depan sesuai kehendaknya.”
Jika ramalan Bolstrom tersebut menjadi kenyataan, maka masa depan di balik mata bening para bayi adalah gelas-gelas kaca nan rapuh.
Seberapa banyak dari kita yang pekerjaannya akan diganti oleh AI dan terpaksa memuja hustle culture? Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto

Ramalan Keynes dan Gadis Xonce di Gerbang Tol

Bolstrom bukan satu-satunya yang menakar kaitan antara teknologi dan ketenagakerjaan di masa depan dengan pesimistis. Sebelumnya ada David Ricardo dan Herbert Marcuse.
Berkebalikan dengan mereka, John Maynard Keynes memprediksi bahwa pada 2030 nanti, manusia cuma butuh bekerja 15 jam per minggu.
Ekonom pencinta seni itu menuangkan gagasan tersebut dalam esai “Economic Possibilities for our Grandchildren” pada 1930. Menurutnya, berkat kecanggihan mesin dan teknologi, manusia hanya butuh waktu singkat untuk memproduksi barang atau jasa.
Dengan begitu, waktu yang tersisa bisa digunakan untuk bersenang-senang. 2030, terawang Keynes, adalah “the age of leisure and of [economic] abundance”.
Keynes tidak bisa lebih keliru lagi. Bahwa AI menggenjot produktivitas adalah hal yang tidak bisa disangkal. Namun produktivitas senantiasa menggandeng efisiensi, ketika pengurangan tenaga kerja—alih-alih jam kerja—menjadi pilihan yang sering diambil pertama kali.
Di pertengahan 1990an, produk vitamin C Xonce menayangkan iklan yang kesohor. Iklan tersebut menampilkan kalimat yang membekas di ingatan pemirsa, yang dalam tayangan diucapkan dua pengendara kepada gadis penjaga loket tol: “Xonce-nya maaannaa?”
Dampak iklan terhadap penjualan saya kurang tahu. Yang jelas, saya dan para sepupu dengan penuh semangat melontarkan kalimat itu saban memapasi penjaga loket tol. Kini kalimat itu tak bisa dilayangkan kepada siapa pun. Pada 2017 lalu pemerintah menghapus pekerjaan penjaga loket di seluruh gerbang tol.
Alih-alih menikmati jam kerja 15 jam seminggu, automasi membuat penjaga loket tol atau teller bank kehilangan pekerjaan. Simak baik-baik: jelang satu minggu sebelum pengumuman kerjasama mereka dengan OpenAI, Microsoft memberhentikan 11.000 pekerjanya.
Saat ini para pekerja dituntut untuk bisa mengerjakan banyak hal. Berkat rezim upah murah dan outsourcing, 40 jam yang pekerja formal berikan dalam seminggu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan, sehingga menyambinya dengan pekerjaan lain.
Sementara pemodal dan konsultan menyambut gembira tren tersebut, menaburinya dengan istilah serbuk gula macam “side hustle” atau “gig economy”. Menyambi lebih dari satu pekerjaan dinormalisasi. Menambah jam kerja dengan melakukan pekerjaan berbasis hobi dan gairah mereka nilai dapat menyirami jiwa yang kering.
Indrawan Nugroho, trainer beken di YouTube, memungkasi episode tentang ChatGPT dengan optimisme. AI generatif tak mungkin dibendung. Menurutnya, kini manusia harus mengedepankan soft skills seperti kreativitas, inovasi, problem solving, komunikasi, dan hubungan interpersonal.
Sayangnya kelima parameter tersebut sulit diukur secara objektif. Kita mesti mempertimbangkan bias dan subjektivitas dari penilai soft skills seorang karyawan.
Lagipula, bagaimana cara lulusan muda perguruan tinggi menunjukkan soft skills jika pekerjaan-pekerjaan entry level telah habis dilahap AI? Jangan gunakan kosakata membius seperti “disrupsi” jika yang terjadi secara gamblang adalah “eksklusi”.
Institusi bisnis dan manusia punya hasrat berkompetisi. Masyarakat di perekonomian maju mungkin dapat mencukupi kebutuhannya dengan bekerja 15 jam per minggu. Namun, spesies ini memiliki insting purba untuk mengungguli yang lain, yang memacu mereka untuk mengejar growth dan scale-up.
Pekerjaan akan selalu ada. Apakah yang mengerjakannya manusia atau robot atau komputer super, itu persoalan lain.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten