Melewati Penjara Bernama Sekolah

Fajar Widi
Mantan wartawan yang jatuh cinta pada bisnis/ marketing. Pernah viral di internet karena mahar nikah 1 Bitcoin.
Konten dari Pengguna
3 Juni 2017 12:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kalian pikir hidup kalian akan sukses kalau sekolah tinggi? Juara kelas? pinter di sekolah? Ranking satu? No!
Itu merupakan petikan kata-kata dalam video Deddy Corbuzier berjudul MOTIVE. Apakah video ini bagus? Tidak. Video ini malah berpotensi membuat semua orang tua dan guru membencinya.
ADVERTISEMENT
Coba simak video berikut:
Tapi tidak dengan saya. Karena apa yang Deddy katakan itu sesuai dengan apa yang saya rasakan dan alami dengan institusi bernama sekolah. Ini adalah sebuah sharing hidup. Sebuah side story dari sosok Fajar Widi ketika kecil. Begini kisahnya.
***
Nama Saya Fajar Widi. Sebut saya Wiwid. Usia 32 tahun, bekerja sebagai kepala akuisisi bagian pemasaran platform yang Anda gunakan untuk membaca tulisan ini. Saya bukan orang sukses, namun saya orang yang merdeka dan berdikari. Berdikari artinya berdiri di bawah kaki sendiri.
Lahir dari DNA keluarga akademisi tak membuat kita pinter secara default. Bapak saya itu dosen ekonomi. Ibu saya seorang sosiatri. Eyang saya adalah seorang pendidik dan penilik sekolah di masa jayanya. Sebuah sosok yang sangat disiplin dalam hal pendidikan.
ADVERTISEMENT
Naas betul nasib saya. Bukannya bersyukur karena ada modal DNA orang pinter (katanya) tapi malah stress. Bagaimana tidak stress? Family background tersebut memaksa kita untuk tidak boleh gagal dalam hidup. Termasuk pendidikan.
Wiwid kecil saat itu berusia tujuh tahun. Ceritanya lagi getol-getolnya belajar menghitung di Sekolah Dasar. Saat libur tiba adalah saat saat neraka bagi wiwid kecil. Saat dimana seorang Eyang pingin main dengan cucunya ketika weekend atau libur.
Karena Eyang seorang guru, Wiwid pasti selalu di-tes ilmu Matematikanya. Mencongak adalah hal yang membuat saya menangis saat itu. Bukan cuma Matematika, pelajaran menulis latin pun juga menjadi momok. Oke gapapa. Kan baru masuk SD, bocah harus diberi waktu untuk belajar.
ADVERTISEMENT
Singkatnya lulus TK, Saya masuk SD Tarakanita yang di Jogja terkenal denngan disiplin sekolah Katoliknya. Hidup dalam sistem pendidikan yang serba ‘militer’ menuntun saya untuk jadi orang yang pintar membagi waktu dan berlatih strategi bertahan hidup.
Pokoknya kehidupan SD saya menyenangkan kala itu. Enam tahun belajar di SD, lulus dengan NEM (Nilai Ebtanas Murni) di atas rata-rata di angka 44. Sekolah saya tertingginya 46 waktu itu. Bangga dong orangtua kalau anaknya sukses dan pinter.
Setelah itu drama kehidupan pun dimulai.
“Wiwid pengen lanjut SMP mana? Kata Ibu saya bertanya pada anak mbarep kesayangannya. Stella Duce ya? Swasta Katolik, pasti bisa masuk SMA bagus nanti.” Entah mengapa saya sudah merasa aneh kenapa selalu diarahkan di sekolah swasta. Padahal biayanya kan mahal juga.
ADVERTISEMENT
Tawaran itu tidak saya terima. Menurut saya, enam tahun saya sudah belajar di sekolah swasta. Masa mau swasta lagi. Pilihan saya jatuh ke sekolah negeri. Apalagi konon kala itu ketika anak swasta pindah negeri, maka kepintarannya bakal di atas rata-rata. Biayanya pendidikannya pun relatif lebih murah.
Akhirnya SMP Negeri 6 menjadi pilihan saya. SMP saya itu peringkat keempat sekolah negeri favorit di Jogja.
***
Tahun pertama berlalu. Saya masih ranking lima besar. Wah ternyata ga semua anak negeri bodo-bodo. Tapi okelah, orangtua sebagai ‘investor’ masih bahagia.
Tahun kedua. Meluncur jauh ke ranking 10 besar (dari bawah). Bagaikan duri dalam daging, pagar makan tanaman, HTI dalam tubuh NKRI. Kenapa bisa? Segelintir pertanyaan reaktif muncul dari sang investor pendidikan yaitu orangtua.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita prestasi saya turun gara-gara pergaulan. Jujur hidup saya rada rusak ketika SMP. Mulai kenal rokok, game online, tawuran. Mulai menikmati yang namanya bolos sekolah. Saya pernah kecandua game online yang saat itu menjadi momok bagi para orangtua.
Ska adalah musik yang tiap hari bergema di dinding kamar saya. Saya kumpulkan uang tiap hari demi membeli rokok ketengan bernama Starmild. Saya berhemat jajan agar malem minggu bisa nongkrong bareng teman-teman (ngamen). Muka saya yang pas-pasan membuat kegagalan percintaan terjadi tiap bulan. Stress ya?
Karena stress dan butuh eksistensi diri, saya sempat daftar masuk geng yang namanya GMX, yang waktu itu dipimpin Fuad (sekarang beliau salah satu petinggi FPI Jogja). Namanya juga ABG butuh pengakuan dan waktu mencari jati diri.
ADVERTISEMENT
Segala permasalahan yang biasa dihadapi anak ABG yang baru kenal dunia saya rasakan. Ditambah, saya kepingin motor tapi kayaknya Bapak Ibu belum ada dana. Saya ga peduli! Ketika gagal percintaan, yang saya salahkan adalah; Saya tidak punya motor seperti teman-teman lebih sukses kisah citanya. Asek sumbu pendek banget gan!
Masalah ini masih ditambah tuntutan akademis, harus ranking 10 besar. Pokoknya itu adalah masa-masa Dark Age dalam hidup akademis saya. FUCK SCHOOL AND LIFE! And i starting to questioning every single things! Why God Why?
Walau demikian kestresan ini tidak pernah saya utarakan ke orangtua. Bagi saya, ini adalah masalah personal. Termasuk peringkat kesuksesan di kelas.
***
Tahun ketiga SMP, saya mulai sadar. Beruntung saya kenal sahabat yang bernama Basket. Masuk klub basket membuat saya meninggalkan rokok dan barang-barang haram lainnya. Enak juga jadi atlit pikir saya. Sehat jiwa raga.
ADVERTISEMENT
Saya cinta basket. Di situ tempat saya menemukan persahabatan dan cinta. Cieehhh. Di situ saya merasa mulai dihargai dan dihormati sebagai manusia.
Karena saya melakukan aktifitas baru dengan bahagia, kehidupan akademis pun perlahan membaik. Saya mulai menata alam pikir. Mulai kenal yang namanya meditasi. Dari catur wulan ke catur wulan, progress saya membaik walau masih di bawah rata-rata.
Tahun ketiga SMP, adalah saat-saat saya menata alam pikir untuk melangkah ke jenjang SMA. Lantas apakah kehidupan sekolah terasa membosankan?
Masih. Jelas bosan bagai di penjara. Walaupun saya menemukan hobi baru, namun tiap hari saya berdoa kepada Bapa di Surga, “Oh Tuhan, kapan siksaan akademis ini segera berakhir? Saya pingin cepat lulus dan cari duit sendiri”. Apa dikata perjalanan masih jauh.
ADVERTISEMENT
Tiap kali bosan saya baca buku atau cari artikel di warnet. Celakanya pemahaman baru yang saya baca itu adalah tulisan-tulisan Friedrich Nietzche.
Di situ saya mulai kenal dengan Nihilisme.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Artikel-artikel Nietzche menjawab semua pertanyaan tentang hidup yang selama ini saya lontarkan pada Tuhan namun Tuhan tak pernah jawab.
Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekuler adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.
Mungkin inilah titik pemberontakan saya terhadap dunia pendidikan yang kondisinya bagai dalam penjara.
ADVERTISEMENT
***
Singkat cerita saya lulus dari SMP degan nilai ‘membangggakan’.
NEM saya adalah 35. Ancur Hahaa. Nilai ini lebih rendah dari ketika saya lulus SD loh. Bayangin aja dari SD 44, masa SMP anjlok 35.
Apakah saya stress? Yes. Depresi? Banget. Karena saya adalah orang gagal. Saya mengecewakan orangtua.
Dan yang membuat semua gagal itu adalah sebuah institusi salah kaparah bernama Sekolah.
Sekolah itu tidak adil!
Kenapa hanya mereka yang pintar matematika aja yang sukses?
Kenapa kenaikan siswa itu ditentukan ranking?
Ranking itu membuat kasta dan kasta itu seolah membuat jurang pemisah antara murid pintar dan murid bodoh.
Belum lagi jurang pemisah lain di kemudian hari yang disebut IPA dan IPS.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi muncul stereotipe murahan yang salah, bahwa anak IPA itu pinter, IPS itu gaul.
Parahnya lagi adalah semua dituntut untuk jago di bidang yang sama. Ini macam penjara saja. Macam kebo yang dicokol hidungnya.
Albert Einstain bilang, sistem pendidikan itu macam kuda, sapi, monyet, ikan dikumpulin dan disuruh manjat pohon. Bagaimana bisa?
Masing-masing binatang diciptakan Tuhan dengan talenta berbeda. Setiap individu itu unik, jadi please jangan disamakan.
Ya udah lah ya. Saatnya move on pikir saya waktu itu.
Saya udah ga peduli gimana kata orangtua. Kalau sudah begini, terpaksa saya harus memenuhi ambisi dan cita-cita Ibu saya dulu. Masuk sekolah swasta Katolik.
Opsinya adalah De Britto atau Pangudi Luhur. Walau diterima di De Britto, namun saya tidak rela dalam tiga tahun temennya cowo semua. Masa SMA konon adalah masa terindah,. Ya kali masa terindah saya habisakan dengan saudara-saudara sebatang. Itu kenapa akhirnya PL adalah pilihan saya.
ADVERTISEMENT
***
Masa SMA. Hidup Baru, Jiwa Baru.
Inilah bagian terpenting isi pesan artikel ini. Sejujurnya saya males banget dengan yang namanya pendidikan. Semua tampak sama. Pelajaran, seragam, sepatu, kaos kaki, sampai rambut pun harus diatur dalam sistem. Hiyyy so flat and boring.
Ketika SMP dulu saya muak dengan yang namanya ujian, jam pelajaran tambahan, PR, PR, PR, kerja kelompok, les ini, les itu. Nilai rapor jelek, yang jelek itu musti di boost pakai les. Untuk apa les? Tentunya agar mencapai KPI : Juara Kelas.
Kalau sudah juara kelas memang ada jaminan kalau besok jadi orang sukses setelah lulus?
Seolah-olah kepintaran manusia itu ukurannya adalah ranking. Juara kelas. Matematika harus bagus. Agama dan PPKN kalau merah otomatis ga lulus karena moralnya pasti jelek.
ADVERTISEMENT
Dalam hati, sok tau banget. Tau darimana mereka moral saya jelek hanya gara-gara Agama dan PPKN merah (untungnya nilai Agama dan PPKN saya bagus).
Oke, tiga tahun mendatang adalah masa-masa paling membosankan. Saya dipaksa untuk melakukan hal yang tidak saya sukai. Matematika, Fisika, Kimia. Selanjutnya saya selalu menyebut ini adalah hantu atau setan. tiga Setan ini selalu menarik energi negatif dalam diri.
Yang lebih ngehek lagi adalah yang namanya UAN (Ujian Akhir Nasional) yang dari tahun ke tahun minimum standarnya pasti naik. Sebenarnya tujuannya baik. Menaikan kapasitas otak pelajar Indonesia.
Tapi mereka lupa, kita-kita ini stress saudara. UAN adalah momok bagi kita semua. Ada loh di jaman saya yang bunuh diri gara-gara nilai jelek. Dunia sudah gila apa ya?
ADVERTISEMENT
Gara-gara UAN, yang pinter malah gak lulus, yang bodoh malah lulus. Itu pun masih diwarnai drama les yang biasanya dilakukan oknum guru les privat. Karena biasanya guru oknum pun malah memberi jawaban bocoran ujian.
Parahnya, orangtua pun kadang malah mengarahkan untuk les di pak ini dan pak itu tadi karena les privat berbonus kunci jawaban ujian (baca: BOCORAN).
Itu terjadi di jaman saya SD sampai SMA. Dan saya sangat tidak suka hal-hal itu. Kita ini dipaksa dan dibodohi sistem pendidikan. Tapi kayaknya percuma saya cuma teriak-teriak sendiri. Waktu itu internet belum seramai sekarang.
***
Saya tau, batin saya akan bergejolak sekali lagi dalam tiga tahun ke depan. Namun saya harus bisa menjaga kesadaran dan harmonisasi hidup agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal negatif, sembari melewati masa SMA dengan menyenangkan dan tentunya membuat bangga orangtua.
ADVERTISEMENT
Oke, sebelum mulai hari pertama SMA, saya petakan permasalahan saya. Saya lakukan diskusi batin dengan diri saya sendiri.
Problem: Saya tidak suka dipaksa belajar. Saya tidak suka Matematika, Fisika, Kimia. Di situ kelemahan saya. Saya tidak suka les. Menurut saya itu buang-buang duit orangtua.
Keinginan: Saya ingin mengukir masa indah SMA. Saya ingin pacaran jaman SMA. Saya ingin belajar hal-hal baru, eksplorasi pemahaman-pemahaman baru. Saya tidak ingin stress.
Oke Mas Wid, terus solusinya apa?
Gimana caranya kamu tetep bisa naik kelas, dengan tidak memusingkan nilai merah Matematika, Fisika, Kimia? Setelah merenung berhari-hari saya menemukan pola ini.
Ternyata simple, kalau masalahnya takut ga lulus karena nilai merah, berarti pelajaran tertentu harus dapat nilai minimum. Di jaman saya angka empat di rapor adalah nilai minimum. Itu orang udah gobloknya kebangetan kalau ada nilai empat.
ADVERTISEMENT
Artinya saya cuma harus mendapat nilai lima di pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia. That’s it. Se-simple itu.
Oke, gimana kalau nilai Matematika, Fisika, Kimia lima di rapor, tapi nilai minimum Agama, IPS, PPKN, Bahasa, Olahraga, Muatan lokal dll adalah delapan? Artinya secara rata-rata saya masih tinggi nilainya, walau tiga pelajaran setan itu merah.
***
Formulasi ini saya trial-kan di catur wulan pertama kelas satu SMA.
Hasilnya wow! Diluar dugaan, Ternyata saya ranking 10 besar :D . Ini kan Amazing. Kok bisa?
Tiga mata pelajaran setan itu nilainya lima. Di caturwulan pertama, saya sengaja untuk loss untuk pelajaran tersebut. Bodoh amat dapet berapa.
Sebagai gantinya, saya push nilai IPS, Agama, PPKN, Olahraga, ditambah minat saya ke basket. Itu semua ga ada yang tujuh loh. Minimum nilai saya delapan dan sembilan. Sempurna!
ADVERTISEMENT
Saya pun mendapat pencerahan. Artinya saya bisa belajar hal-hal yang saya sukai: IPS, Agama, PPKN, Olahraga dengan bahagia tanpa stress, tanpa menganggap Matematika, Fisika, Kimia itu ada di dalam hidup saya. Mereka itu tidak nyata.
Dua catur wulan berikutnya terasa sangat menyenangkan. Bagai terbebas dari penjara duri dalam daging, bara dalam sekam, HTI dalam tubuh NKRI.
Karena menurut saya dalam menjalani hidup itu yang penting kita bahagia. Dan sayapun bisa lebih mengeksplorasi hobi-hobi baru yang saya sukai seperti: menulis, basket, musik. Di bidang itu pun saya banyak mengukir prestasi, walaupun bukan skala nasional.
***
Singkat cerita masa 1 SMA telah lewat. Satu level telah terlewati, tantangan baru muncul. Tinggal 1 tahun lagi, di depan saya ada yang dinamakan: FREEDOM.
ADVERTISEMENT
Maksudnya gimana? 3 SMA itu jelas sangat menyenangakan karena ada penjurusan. Artinya kita jadi anak IPS 100% . Yes! Freedom.
Tapi nanti dulu, saya tetap harus mikir gimana ketiga setan itu bisa saya lalui tahun ini. Kalau saya loss, mungkin saya dapat nilai empat karena kelas dua SMA itu susah. Oke tenang kita petakan sekali lagi.
Problem: Again. Matematika minimal harus 5, Fisika 5, Kimia 5. Yang lain ga masalah wong saya ini aslinya ga bodo-bodo amat. Tapi gimana caranya? Kalau saya loss and blank sedikit sudah pasti 4 nilainya.
Akhirnya otak saya berpikir keras, dan munculah solusi. Ini waktu yang tepat untuk belajar negosiasi, partnership dan memanfaatkan social networking.
ADVERTISEMENT
Fisika - Sebut saja Pak Suroto. Dia adalah guru fisika + pelatih basket tim PL. Sekali lagi ‘Pelatih basket tim PL’ :D . Paham maksud saya? Dia adalah kunci fisika saya di angka 5. Pak Roto itu paham saya. Sebagai tim inti basket PL, adalah hal yang tabu ketika saya tidak naik kelas. Artinya saya tidak bisa ikut kejuaraan daerah apalagi nasional. Inilah kondisi win:win solution. Saya ini bodo fisika, tapi jago basket. Mosok ya nilai 5 aja ga bisa ditangan? Ini cuma angka 5 bukan 8. Daripada gagal kejuaraan daerah karena ga naik kelas :D *wink ~ case closed.
Kimia - Namanya pak Rudi. Dia walikelas yang juga guru kimia. Dialah kunci kimia saya di angka 5. Pak Rudi ini orangnya suka ngobrol soal kemajuan sekolah PL. Di situ saya masuk. Saya pahami kondisi bisnis PL. Saya nemu celah.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang penerimaan siswa baru, sekolah PL agak tertinggal di jaman saya. Kenapa? Sebagai sebuah brand. PL tidak punya yang namanya USP (Unique Selling Preposition). Lha gimana mau jualan?
Saya merasa siswa PL dituntut pintar secara akademis untuk mengharumkan nama sekolah. Lantas saya lempar pertanyaan ke bruder kepala (kepala sekolah).
“Der, PL ini udah ga punya peluang loh di mata calon siswa. Coba dipikir, kenapa harus masuk PL? Apa yang menarik di PL? Wong prestasi akademis kita biasa saja. Di Jogja ini, sekolah SMA Negeri lebih berprestasi dan laku.”
Kalau sekolah udah ga berprestasi, bidang olahraga ga hidup, bidang seni ga hidup, mau jadi apa? Kenapa ga kita dukung tim basket kita yang prestasinya lagi naik :D *wink.
ADVERTISEMENT
Setelah itu kita bikin kejuaraan basket dengan menggandeng sponsor untuk level SMP. Kita hidupkan lagi Cheerleaders cowo. Ide kami dan beberapa teman pun akhirnya terlaksana. PL basketnya bagus, bikin kompetisi SMP, dan yang lebih menarik tahun saya adalah kebangkitan GPC (Guy PL Cheers).
GPC ini sangat fenomenal karena out of the box. Di Jogja jaman saya kompetisi Cheerleaders isinya cewe-cewe, kecuali PL :D . PL isinya cowo yang didandani cewe dan ini sangat menghibur. Tidak ada aturannya juga Cheers harus cewe. Publik suka. Saking menghiburnya dan fenomenal, teman-teman GPC saya ini malah sering dapat job di pensi atau kejuaraan basket.
Efek sampingnya adalah nama harum PL sendiri. Inilah yang disebut power of brand activity. Ibarat bunga layu, PL pun mekar kembali dengan USP baru di mata calon siswa. Ga mudah memang bikin itu semua. Butuh pengorbanan seperti ‘Pengorbanan Belajar Kimia’ :D. Balik ke arah situ lagi.
ADVERTISEMENT
Dengan segala macam effort yang ada, ya masa nilai kimia saya 4, di mata guru yang sangat peduli dengan kemajuan bidang kesiswaan? ~ case closed
Matematika ~ Ini adalah masalah terakhir ketika saya sudah menemukan solusi 2 setan di atas. Saya tidak menemukan pihak ketiga yang bisa dimanfaatkan seperti kasus di atas.
Wah mati ini. Artinya khusus untuk matematika saya tetap harus belajar. Saya pikir nggak papa lah. Saya cuma haru bisa tambah, kurang, kali , dan bagi. That’s it. Sin cos tan algortima apalah itu ndak bakalan saya telen juga. Ndak bakal kepake setelah lulus juga. Jadi ngapain capek-capek belajar (pola pikir seorang Nihilis).
Itulah strategi hidup saya dalam melawa ketiga setan bangsat tadi. Siapa yang ngajari? Ga ada. Saya improvisasi dari kondisi kepepet aja. Dan itulah inti dari pendidikan menurut saya.
ADVERTISEMENT
***
Tahun ketiga, Tuhan menjawab doa saya. Saya lulus dengan ketiga setan itu di angka lima Alhamdullilah. Puji Tuhan. Haleluya. Yang penting lulus sekolah.
Inilah saatnya penjurusan. Tibalah saatnya saya menjadi anak IPS 100%
Perasaan saya senangnya bukan main. Tangis bahagia bercampur haru biru ketika memandangi rapor kelulusan kelas dua (walau ada tiga angka lima di situ). Layaknya film BRAVE HART saya berteriak.
***
Cerita berlanjut di kelas tiga SMA.
Strategi dalam dua tahun berjalan mulus. Sekarang saya bebas dari ketiga hantu tersebut (Matematika, Fisika, Kimia).
Menjadi anak IPS adalah cita-cita saya. Saya bisa lebih menjalani sisa hidup SMA dengan bahagia. Saya bisa mengukir kisah cinta yang belum saya dapatkan. Saya punya motor (baca: vespa). Saya punya prestasi basket. Saya punya banyak teman baru. Saya punya waktu lebih banyak di musik dan seni.
ADVERTISEMENT
Intinya masa muda sekolah SMA ya seharusnya begini.
Bahagia, tanpa stress. Enjoy life. Nikmati, rasakan, bebaskan dari pikiran stress. Do what you like, like what you do!
Di sisi lain saya lihat banyak teman yang orangtuanya kecewa anaknya ga masuk IPA. Atau banyak teman yang depresi karena gagal menyandang gelar juara kelas. Banyak yang belum let go, Merekalah siswa-siswa IPS yang berhati IPA.
Bahagiakah meraka kalau sudah begitu?
Ukuran saya kesuksesan SMA itu adalah index kebahagiaan.
Ukuran saya kesuksesan SMA itu adalah berkarya di masyarakat.
Ukuran kesuksesan bukan di juara kelas.
Ukuran kesuksesan bukan Matematika pinter.
Make your own history! And i was make it.
***
Apa yang bisa dipalajari dari sharing saya ini?
ADVERTISEMENT
Bahwa sejatinya sekolah adalah bukan tempat mengejar prestasi akademis.
Saya tidak suka matematika ketika kecil, bukan berarti saya bodoh. Karir saya sekarang adalah bidang marketing analytics. Tiap hari mainan angka. Saya dulu menjadi manager sebuah perusahan retail papan atas negeri ini, di usia tergolong muda yakni 29 (rata-rata manager di perusahaan tersebut di usia 33-35).
Artinya apa?
Bahwa sejatinya sekolah adalah tempat dimana para siswa/siwi belajar hidup sebagai manusia.
Sekolah adalah tempat kita berlatih strategi hidup.
Sekolah menentukan pola pikir kita sebagai manusia dewasa.
Sekolah membentuk kepribadian dan kematangan hidup.
Saya menulis ini sebagai bahan refleksi ya bapak ibu. Ini jangan disalah artikan saya mengajarkan cara-cara alternatif untuk bisa sukses di Sekolah.
ADVERTISEMENT
Saya hanya ingin menekankan bahwa setiap anak itu terlahir dengan kemampuan berbeda. Jadi tolong dihargai :)
Tolong komunikasikan kepada anak bahwa kalian harus menemukan dalam hati apa yang kalian sukai untuk dipelajari. Karena ketika anak belajar dengan bahagia, di situ muncul bibit-bibit kesuksesan.
Ketika Anda melakukan sesuatu yang Anda suka, you will be happy.
Ketika Anda mengerjakan pekerjaan yang Anda suka, artinya anda tidak pernah bekerja. And you will be happy. That’s all.
Video di bawah ini mungkin bisa menjadi penutup yang tepat.