Orang Indonesia Tahun 2030 Makmur dan Kaya

Fajar Widi
Mantan wartawan yang jatuh cinta pada bisnis/ marketing. Pernah viral di internet karena mahar nikah 1 Bitcoin.
Konten dari Pengguna
3 Juli 2019 18:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajar Widi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi makmur dan kaya. Foto: shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi makmur dan kaya. Foto: shutterstock.
ADVERTISEMENT
Pascapemilu ini saya makin positif terhadap pertumbuhan Ibu Pertiwi. Data World Bank berikut menjelaskan bahwa Indonesia nanti, di tahun 2030, orang-orangnya bakal lebih makmur dan kaya. Benarkah?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan The World Bank IBRD-IDA terhadap Development Policy Review 2019, Indonesia memang diprediksi menjadi negara kuat asalkan pemerintah mulai mengejar beberapa hal di tahun ini.
Perbanyak Lapangan Kerja Kurangi Kemiskinan
World Bank - Rich Nation, Prosperous People
Gampangnya, pertumbuhan GDP kita harus di atas 5,5 persen dengan 1,8 juta serapan lapangan kerja per tahun, plus angka kemiskinan di bawah 10 persen. Saya pikir itu tidak susah. Milenial di Indonesia jiwa entrepreneurship-nya mulai bertumbuh.
Beberapa UMKM lokal mulai menjamur. Adanya internet membuat banyak orang sekarang bisa berbisnis. Makin ke depan saya yakin bidang kewirausahaan ini bakal lebih kencang lagi. Nah, tinggal pemerintah mengarahkan.
Saya percaya jika semua orang Indonesia produktif, maka tingkat pengangguran yang enggak jelas dan biasanya cuma marah-marah di social media pun bakal berkurang.
ADVERTISEMENT
Lantas di Mana Kelemahan Indonesia Sekarang?
World Bank - Rich Nation, Prosperous People
Saat ini, kita mengalami kelambatan pertumbuhan produktivitas nasional. Salah satu faktornya mungkin banyak sarjana-sarjana baru yang masih menunggu pekerjaan ketimbang menciptakan lapangan kerja.
Selain itu gaji di Indonesia pun masih tergolong rendah. Setuju? Dengan demikian pertumbuhan kelas menengah kita pun sebenarnya masih tergolong kecil.
Jadi next-nya apa? Menurut saya enggak perlu kita nunggu action pemerintah untuk bergerak. Jika ada peluang bisnis, marilah kita mainkan. Dengan demikian, secara tidak langsung kita telah membantu mempercepat laju produktivitas dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Kalau saya lihat, pemerintah sekarang banyak berkoar-koar tentang industri 4.0. Namun marilah kita sadari apakah kebanyakan masyarakat kita sudah siap? Terutama yang ada di luar Jawa. Jangan asal 4.0 aja lho ini. Kita ini masih punya gap sebanyak Rp 5,3 triliun per tahun dibanding negara Asia Tenggara lain.
Data di atas harus segera diperbaiki. Menurut saya, yang paling utama adalah perbaikan di sektor pendidikan. Kita butuh banyak mengimpor guru-guru dan pendidik berkualitas dari negara maju. Dah enggak usah malu untuk belajar dari negara lain. Reformasi di bidang pendidikan itu perlu. Kalau perlu dibuat campaign skala nasional sekalian.
Kedua, soal skill tenaga kerja kita sendiri di level blue collar. Kita sama-sama tahu kalau level buruh dan pekerja "kasta sudra" harus banget di-update skill-nya agar tidak tertinggal dengan negara lain.
ADVERTISEMENT
Jokowi dengan kecepatan pembangunan infrastruktur di 5 tahun ke belakang sebenarnya sudah sangat membantu percepatan pertumbuhan ekonomi kita. Itu baru awal, karena pembangunan infrastruktur kita harus lebih cepat lagi. Kenapa? Coba pahami data berikut.
Kita masih punya gap US$1,5 triliun terhadap infrastruktur per kapita rata-rata negara berkembang. Abaikan yang anti-pembangunan infrastruktur. Menurut saya pribadi, jika ada kasus-kasus bandara sepi atau pembangunan yang rasanya terlalu cepat, itu enggak apa-apa. Masih bisa dipikirkan plan B-nya. Intinya adalah menutup gap infrastruktur per daerahnya dulu.
Reformasi Mental: Next Level
Reformasi mental yang sudah bekerja dengan baik harus dipacu lebih disiplin lagi. Babat habis semua koruptor dan penghambat reformasi birokrasi di negara kita. Salah satu kunci dari percepatan pembangunan ada di level birokrasi, khususnya di level pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Jadi, lakukan apapun yang sifatnya bisa mempercepat pembangunan infrastruktur, untuk menutup angka gap di atas. Termasuk bekerjasama dengan sektor swasta dan investor luar.
Coba bandingkan negara kita dengan Vietnam. Sebenarnya berdasar data World Bank di atas, Indonesia memiliki real interest rate 3,2 persen lebih tinggi dibanding Vietnam. Hal ini terjadi karena angka ekspor kita ke luar negeri dan FDI (Foreign Direct Investment) angkanya kecil.
Sebagai informasi, FDI adalah kondisi di mana perusahaan multinasional membangun anak perusahaan mereka di negara lain, yang menjadi tujuan ekspor untuk mempermudah kegiatan ekspor-impor dan juga menghemat biaya.
Sumber daya alam merupakan salah satu aset negara kita yang cukup kuat dibanding negara lain. Sayangnya, kita masih memiliki penjahat-penjahat SDA yang memang susah diberantas. Nanti pemerintah baru harus berani tegas terhadap semua kejahatan sumber daya alam Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tahukah anda bahwa ke depannya Indonesia sangat berpotensi menjadi pemimpin dunia di bidang geothermal energy (pembangkit energi panas bumi)? Jelasnya coba simak liputan CNN berikut.
Dengan posisi Indonesia di cincin api, praktis negara kita ini seksi di bidang energi terbarukan. 'PR' terbesar pemerintah tentunya adalah soal regulasinya, sebelum bidang ini dieksploitasi secara masif.
Menurut World Bank, belanja pemerintah kita masih kurang efektif. Gampangnya begini. Di beberapa sektor, kita membelanjakan hal-hal tertentu yang output-nya kecil dan kurang signifikan.
Contoh: Pemerintah sempat menaikkan gaji guru hingga 2 kali lipat. Sementara kalau dilihat, output pendidikan kita pun masih sangat tertinggal dibanding negara asia lain.
World Bank menyarankan agar pemerintah kita membelanjakan lebih untuk sektor infrastruktur, kesehatan, serta jaminan sosial bagi rakyat karena angka sebelumnya sangat kecil. Padahal itu adalah sektor yang bisa memberi output besar.
ADVERTISEMENT
Saya pribadi punya pendapat lain.
Seandainya saya pemerintah, yang akan saya hajar adalah pegawai negeri, pajak, dan pemerintah daerah.
Pertama, pegawai negeri harus diperlakukan seperti pegawai swasta terkait target pekerjaan dan mindset-nya. Kemudian sektor pajak yang merupakan lahan basah para 'tikus' harus di-digitalkan untuk menghindari fraud. Jika sudah rapi, VAT (value added tax) kita naikkan pelan-pelan (asal tikusnya sudah kurang banyak).
Nah, yang terakhir ini adalah pemerintah daerah. Pemerintah harus memberi KPI performance kepada para pejabat pemda tersebut. Pendapatan daerah pun harus di-track secara benar, tidak hanya output-nya (program) saja. Kalau berani malah otonomi daerah yang rada radikal, tiap provinsi diberi target revenue. Caranya pikir masing-masing. Begitu!