Skenario Perang AS di Myanmar

Fajarudin Shodiq
Tuhan Berkati Semua
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2017 10:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fajarudin Shodiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tentara Myanmar. (Foto: STR/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Myanmar. (Foto: STR/AFP)
ADVERTISEMENT
Benarkah Amerika Serikat (AS) ingin membangun pangkalan militer di Teluk Benggala? Bila pertanyaan itu benar maka seperti yang sudah-sudah AS akan mengeluarkan retorika demokrasi dan kemanusiaan sebagai kata kunci – guna menutupi motif sesungguhnya dari agenda tersembunyinya. Terkait dengan tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, AS jelas sangat ahli dalam mengeksploitasi tragedi kemanusiaan tersebut untuk mencapai tujuan geopolitiknya.
ADVERTISEMENT
Bila AS mulai melancarkan operasi intelijennya, maka skenario yang diterapkanya pun mungkin sama dengan apa yang dilakukannya di Eropa Timur maupun Timur Tengah, yakni: Revolusi Warna dan Arab Spring. Dalam sebuah diskusi terbatas tentang perang sipil di Myanmar , muncul analisis diterapkannya skenario “Indonesianisasi” Myanmar yakni: otonomi khusus (Aceh dan Papua) atau kemerdekaan (bagi Rohingya) seperti halnya Timor Timur.
Seperti diketahui, grand strategi Amerika pasca perang dingin (Cold War) lebih banyak menjalankan strategi perang non militer, dengan menerapkan Proxy War untuk memicu kekacauan tanpa henti seperti yang saat ini dilakukan oleh ISIS di Timur Tengah. Atau melakukan kontrol langsung seperti di Kosovo yang diduduki setelah berakhirnya Perang Yugoslavia tahun 1999. Modus operandi proxy war ini tampaknya akan segera diterapkan di Rakhine, Myanmar.
ADVERTISEMENT
Myanmar memang sangat rentan terhadap konsep “Balkanisasi” yang dikembangkan oleh RAND Corporation untuk memecah belah Yugoslavia. Terutama mengingat situasi Myanmar yang sejak berakhirnya Perang Dunia II terus dilanda perang sipil dalam skala terbatas di daerah pedalamannya.
Perang Sipil di Myanmar bila disederhanakan, dapat digambarkan sebagai sebuah perang kelompok mayoritas yang berada di bagian tengah negara itu, berperang melawan berbagai kelompok minoritas di pedalaman yang menuntut sebuah otonomisai. Nah, di tengah kebuntuan tersebut, tiba-tiba muncul front baru di Negara Bagian Rakhine. Front baru ini, ternyata telah membawa perubahan strategis bagi perjuangan kelompok minoritas Rohingya dalam melawan pemerintah – terutama karena letak negara bagian Rakhine yang berbatasan langsung dengan laut – tidak seperti kelompok minoritas lainnya.
ADVERTISEMENT
Faktor geografis ini ternyata sangat menguntungkan bagi kelompok perlawanan Rohingya karena memudahkan akses dukungan material, termasuk senjata bagi mereka. Sementera kelompok perlawanan di daerah pedalaman tidak memiliki keuntungan taktis ini – yang mungkin bisa menjelaskan mengapa mereka gagal dalam perjuangannya selama setengah abad. Lebih terbukanya akses, dan banyaknya dukungan terhadap kelompok Rohingya pada gilirannya membuat suatu perbedaan yang menentukan terkait keseimbangan kekuatan melawan pemerintah.
Sejak tahun 2012, Rohingya sebenarnya sudah masuk di dalam radar media Barat berkenaan dengan krisis kapal migran. Memang belum ada data akurat mengenai jumlah orang Rohingya yang melarikan diri lewat laut. PBB sendiri memperkirakan jumlah mereka sekitar 100.000 orang yang telah melarikan diri melalui laut dalam tiga tahun terakhir, yang mewakili 10-12% dari total populasi mereka di Myanmar.
ADVERTISEMENT
Eksodus dan keberadaan kamp-kamp kumuh di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia yang dihuni oleh para migran Rohingya ilegal telah semakin meyakinkan dunia internasional bahwa telah terjadi krisis kemanusiaan yang luar biasa di Myanmar. Apalagi setelah maraknya beragam informasi di internet yang memberi kontribusi besar terhadap perasaan dunia internasional untuk segera mengatasinya. Uraian Selengkapnya Mengenai Skenario Perang Hibrida AS di Myanmar