Haluan Negara dan Pembangunan

Faozan Amar
Mengajar, berbisnis, berorganisasi, dan kadang menulis. Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah | Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA.
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2019 11:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faozan Amar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gedung DPR/MPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR/MPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Sidang Tahunan 2019 lalu, Zulkifli Hasan, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia (RI), menegaskan di hadapan presiden dan anggota MPR perihal rekomendasi amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 perihal Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Begitu pula pada Hari Konstitusi, 18 Agustus 2019, Ketua MPR RI juga meneguhkan kembali tentang rekomendasi amandemen terbatas UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Jadi, gagasan tentang pentingnya Haluan Negara bukan datang secara tiba-tiba, apalagi hanya keinginan PDI Perjuangan saja. Rekomendasi Kongres V PDI Perjuangan di Bali baru-baru ini, yang mendukung amandemen terbatas UUD 1945 perihal Haluan Negara, sebenarnya dalam rangka mengingatkan kembali (reminder) tentang rekomendasi MPR RI tersebut.
Maknanya adalah dalam lima tahun yang akan datang, amandemen terbatas UUD 1945 tentang Haluan Negara harus menjadi agenda utama MPR RI periode 2019-2024. Karena itu, pertanyaannya: apa urgensi Haluan Negara dalam pembangunan?
Kita baru saja merayakan Hari Ulang Tahun ke-74 RI. Tentu kita bertanya-tanya, prestasi apa yang sudah kita raih sebagai sebuah negara-bangsa? Lalu, langkah-langkah apa yang mesti dilakukan untuk menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka pada tahun 2045?
ADVERTISEMENT
Jawabannya, sudah hampir bisa dipastikan, bahwa kita membutuhkan Haluan Negara. Kita harus bersungguh-sungguh menatap masa depan dengan optimisme yang tinggi.
Kita mempunyai modal filosofis dan normatif untuk menjadi negara yang besar, yang bisa bersaing dengan negara-negara lain. Sebagai dasar dan ideologi bangsa, Pancasila memuat prinsip-prinsip filosofis. Sedangkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memuat nilai-nilai normatif sebagai landasan konstitusional kita dalam berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, kita belum mempunyai Haluan Negara yang akan menjadi arah, tujuan, pedoman, atau petunjuk resmi politik suatu negara dalam membuat kebijakan yang bersifat operasional. Selama ini, Haluan Negara diganti oleh visi-misi presiden, yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Di dalamnya, termuat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan tahunan (Rencana Kerja Pemerintah/RKP).
ADVERTISEMENT
Ada yang berpandangan bahwa SPPN sudah cukup sebagai Haluan Negara, sehingga GBHN tidak diperlukan lagi. Pandangan seperti ini perlu dikritisi. Kenapa? Yuk, kita bahas bersama.
Pertama, harus diakui, perencanaan pembangunan nasional yang dituangkan dalam SPPN sangat eksekutifsentris. Harus kita akui bahwa pembangunan nasional hanya ditekankan pada eksekutif. Padahal, kita mempunyai legislatif dan yudikatif sebagai trias politika yang juga diamanatkan oleh UUD 1945 untuk menjadi bagian penting dalam penyelenggaraan negara.
Pemerintah membutuhkan Haluan Negara yang mampu menjadi arah kebijakan-kebijakan dalam melaksanakan pembangunan Karenanya, peran dan dukungan legislatif sangat diperlukan. Di samping perlu penegakan hukum berkeadilan yang menjadi ranah yudikatif.
Dalam beberapa tahun ini, kita menyaksikan betapa Presiden Jokowi ingin melakukan terobosan-terobosan dalam mempermudah investasi. Tetapi nyata-nyatanya, ada ribuan perundang-undangan dan peraturan yang menghambat investasi, karena tidak ditopang oleh kebijakan yang dapat mempermudah investasi. Akibatnya, investasi yang dapat menopang jalannya pembangunan tidak dapat berjalan dengan mulus.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Haluan Negara yang dapat mempermudah dan menggenjot investasi dari luar harus menjadi perhatian bersama. Persoalan investasi sejatinya tidak hanya menjadi concern eksekutif, tetapi semua pihak harus turut serta menciptakan instrumen dan iklim investasi yang kondusif, sehingga memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Kedua, kita melihat adanya ketidaksinkronan antara RPJM yang disusun berdasarkan visi-misi presiden dengan RPJP. Hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang biasa, karena tidak ada undang-undang yang melarang hal tersebut. Konsekuensinya, kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif bisa bersifat parsial dan tidak berkelanjutan.
Masalah ini harus dipecahkan dengan cara membuat Haluan Negara yang dapat memastikan bahwa RPJP dan RPJM sebagai sebuah kesatuan dan satu tarikan napas yang tak terpisahkan, sehingga kita mempunyai kebijakan yang mempunyai tujuan mulia di masa depan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, faktanya, visi-misi presiden yang dituangkan dalam RPJM kerap berbeda, bahkan bertentangan dengan visi-misi gubernur, bupati, dan wali kota. Dampaknya juga sangat luar biasa, karena antara RPJM Nasional dan RPJM Daerah tidak sinkron, akhirnya program pembangunan jadi sulit dilaksanakan oleh pemerintah.
Ada yang berpandangan, karena masing-masing pemimpin dari pusat hingga daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka mereka mempunyai kedaulatan politik untuk melaksanakan visi-misi masing-masing. Sebab itu, tidak terbayangkan benturan dan tumpang-tindih antara kebijakan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah. Muaranya adalah pembangunan yang dilaksanakan tidak bisa berjalan dengan optimal.
Haluan Negara berfungsi untuk menjadi kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan besar (directive principles) tentang bagaimana setiap kebijakan pemerintah merupakan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, kita melihat kompleksitas, tantangan, dan tuntutan untuk memajukan negeri ini bersama-sama. Karenanya, perlu pemikiran besar, kolaborasi, dan optimisme untuk mewujudkan kembali Haluan Negara yang akan menjadi pijakan bersama dalam merumuskan kebijakan pembangunan nasional secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Kita tidak mungkin lagi hanya menyerahkan masa depan negeri ini kepada eksekutif. Semua elemen bangsa harus turut serta memikirkan masa depan negeri dengan merumuskan Haluan Negara yang dapat menjadi pandangan kita dalam berbangsa dan bernegara, sesuai dengan semangat dan falsafah gotong-royong.
Peran yang diambil MPR RI, yang notabene merupakan lembaga negara yang mempunyai kewenangan tertinggi dalam mengamandemen dan menetapkan konstitusi, khususnya dalam mewujudkan kembali Haluan Negara, patut diapresiasi bersama karena menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara.
ADVERTISEMENT
Langkah MPR RI merupakan terobosan baru dalam rangka memastikan negara ini berjalan dengan haluan yang terencana. Karenanya, dalam konteks pembangunan nasional, Haluan Negara sebenarnya tidak memasung presiden, tetapi memperkuat dan mendukung sepenuhnya kebijakan presiden.
Jadi, kebijakan presiden akan semakin mendapatkan dukungan yang luas dari seluruh elemen bangsa. Sebab, Haluan Negara ditetapkan oleh MPR RI yang anggotanya terdiri dari anggota DPR RI, dari perwakilan politik, dan anggota DPD RI dari utusan setiap daerah/provinsi di Indonesia. Jadi, memiliki basis legitimasi yang kuat dan mengikat.
Bangsa yang besar sangat memerlukan pemikiran yang besar pula. Sudah bukan zamannya lagi kita berseteru dan berkonflik. Kita membutuhkan kolaborasi, sinergisitas, gotong-royong, dan kerja sama saling bahu-membahu untuk memajukan negeri ini.
ADVERTISEMENT
Haluan Negara menjadi salah satu instrumen untuk kita bersatu padu memajukan negeri ini. Dan pada akhirnya, kita bisa tersenyum melihat masa depan Indonesia yang maju, berdaulat, adil, dan makmur dapat tercapai. Wallahualam.
Oleh: Faozan Amar
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA