Hijrah dari Kemiskinan dan Kebodohan

Faozan Amar
Mengajar, berbisnis, berorganisasi, dan kadang menulis. Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah | Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA.
Konten dari Pengguna
1 September 2019 15:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faozan Amar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kemiskinan. Foto: Reuters/Ezra Acayan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kemiskinan. Foto: Reuters/Ezra Acayan
ADVERTISEMENT
Setelah 74 tahun Indonesia merdeka, sesungguhnya musuh bersama dan terbesar bangsa ini adalah kemiskinan dan kebodohan. Itulah sebabnya tema HUT ke-74 RI adalah 'SDM Unggul Indonesia Maju'. Sebab tanpa SDM yang unggul, Indonesia akan sulit menjadi negara maju, sekali pun sumber daya alamnya melimpah.
ADVERTISEMENT
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan kita sampai Maret 2019 masih 9,41 persen dari total jumlah penduduk. Artinya, ada 25,14 juta orang Indonesia yang masih miskin, meski data mencatat ada penurunan 0,53 juta orang pada September 2018 dan menurun 0,80 juta orang dari Maret 2018.
Begitu pun dengan kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin. Misalnya, proporsi kekayaan nasional yang dikuasai oleh satu persen penduduk dewasa terus meningkat dari 31,5 persen pada 2010 menjadi 46,6 persen pada 2018. Belum lagi kesenjangan ekonomi antara Jawa dengan luar Jawa, kota dan desa, dan sebagainya.
Sedangkan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia berada di peringkat 113 dunia dan ke-5 di ASEAN. Kita masih kalah dengan Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Rata-rata, pendidikan rakyat Indonesia setingkat dengan kelas 2 Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP). Itulah sebabnya, salah satu terobosan dalam Amandemen UUD 1945 adalah mencantumkan angka 20 persen dari total APBN untuk pendidikan. Di samping itu, wajib belajar 12 tahun masih menjadi skala prioritas dalam pembangunan manusia.
Namun dalam praktiknya, tidaklah mudah mengentaskan penyakit kemiskinan dan kebodohan ini. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Baik menyangkut masalah regulasi, birokrasi, kebijakan, sinkronisasi, pemerataan, maupun mental dan perilaku masyarakat miskin itu sendiri.
Begitu pun dalam memberantas kebodohan. Sekali pun anggaran yang disediakan besar, dalam praktiknya, hasil yang diperoleh belum seperti yang diharapkan. Padahal, di antara tujuan Indonesia merdeka, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah “mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan.
Pertama, kemiskinan struktural. Dalam hal ini, penyebabnya bisa seperti kebijakan pemerintah, seperti regulasi yang diskriminatif, inkonsistensi kebijakan, praktik penggusuran, dan sebagainya.
Kedua, kemiskinan natural yang disebabkan karena kondisi alam yang tidak memberikan daya dukung ekonomi dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Misalnya tanah yang tandus, hutan yang gundul, lahan gambut, dan sebagainya.
Ketiga, kemiskinan kultural yang disebabkan sifat malas manusia untuk bekerja dan belajar. Lebih senang meminta daripada memberi. Menganggap kemiskinan adalah takdir yang harus diterima, nrimo ing pandum, sehingga menerimanya sebagai sebuah kenyataan walaupun pahit.
Rasulullah Muhammad SAW menganjurkan kita untuk berdoa:
ADVERTISEMENT
Jadi di samping berjuang memberantas kemiskinan, harus juga diimbangi dengan berdoa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar terhindar dari kemiskinan, kehinaan, dan kezaliman.
Secara umum, ada dua jenis kemiskinan. Pertama, kemiskinan materi karena tidak memiliki harta benda seperti tempat tinggal, tanah, kendaraan, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan spiritual karena lemahnya iman kepada Allah SWT., sehingga menjadi malas dalam melaksanakan aktivitas ibadah. Keduanya berbahaya apabila tidak diatasi karena bisa membawa orang kepada keingkaran, perbuatan dosa, dan maksiat kepada Allah.
Kemiskinan tak hanya menjadi beban bagi diri, keluarga, dan lingkungan sekitar, tetapi juga bagi bangsa dan negara. Kemiskinan juga menyebabkan penderitanya mengalami kebodohan secara akal serta gangguan fisik dan psikis sehingga menjadi lemah.
ADVERTISEMENT
Maknanya adalah jika kita sebagai seorang mukmin ingin dicintai Allah, maka harus menjadi mukmin yang kuat dalam segala bidang. Baik fisik, mental, jiwa, raga, materi, maupun nonmateri. Sehingga, dapat melaksanakan segala aktivitas positif dengan sempurna.
Memasuki Tahun Baru Islam 1441 Hijriah, mari kita jadikan momentum ini untuk hijrah dari kemiskinan dan kebodohan. Caranya bagaimana?
Pertama, bekerja. Sebab, dengan bekerja kita akan memiliki penghasilan, sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidup, baik untuk diri maupun keluarga. Untuk bekerja dengan baik, maka harus memiliki ilmu. Karena itu perlu terus menerus belajar agar diangkat derajatnya oleh Allah SWT. (QS. Ar Ra’du; 11).
ADVERTISEMENT
Kedua, menjadi tanggungan keluarga. Bagi keluarga yang mampu, membantu dianjurkan untuk saudaranya yang membutuhkan, sehingga mengurangi kemiskinan secara signifikan.
Ketiga, tanggungan seluruh kaum muslimin. Yakni kaum muslimin membantu sesama muslim yang membutuhkan, baik melalui zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, dan sebagainya. Sehingga akan saling melengkapi satu sama lain. Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Keempat, tanggungan negara. Dalam pasal 34 ayat 1 UUD 1945, disebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jadi, negara wajib untuk “mewujudkan kesejahteraan umum” karena merupakan amanat konstitusi agar rakyat Indonesia merasakan kemakmuran bersama.
Berdasarkan uraian tersebut, kemiskinan akan berkurang jika ada sinergisitas, kolaborasi, kerja sama, gotong royong, dan tanggung jawab bersama antara diri, keluarga, masyarakat, dan negara dalam memberantas kemiskinan, sehingga lambat laun akan berkurang.
ADVERTISEMENT
Selamat Tahun Baru Islam 1441 Hijriah. Mari hijrah dari kemiskinan dan kebodohan. Wallahualam.
Faozan Amar, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA.