Mengkaji Penyederhanaan Bukan Penghapusan

Faozan Amar
Mengajar, berbisnis, berorganisasi, dan kadang menulis. Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah | Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA.
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2020 11:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faozan Amar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sejarah Foto: Pixabay.com/Artsybee
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sejarah Foto: Pixabay.com/Artsybee
ADVERTISEMENT
Penghapusan pelajaran sejarah telah menimbulkan gegeran baru dalam dunia Pendidikan di era Pandemi Covid-19. Hal itu terkait dengan bocornya satu di antara puluhan bahan pengkajian internal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait dengan penyederhanaan kurikulum saat menghadapi wabah virus corona. Pro kontra pun bermunculan. Sehingga menimbulkan kegaduhan baru.
ADVERTISEMENT
Hampir semua stakeholder pendidikan menolak penghapusan pelajaran sejarah. Ini sebagai bukti bahwa masyarakat sangat peduli dan concern dengan Pendidikan. Hal ini karena akan menyebabkan anak didik lupa terhadap sejarah dan perjuangan bangsa, sehingga akan menyebabkan hilangnya karakter sebagai generasi masa depan bangsa.
Sebenarnya, yang dilakukan Kemendikbud adalah melakukan pengkajian secara mendalam terhadap rencana penyederhanaan kurikulum pendidikan guna meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kajian itu tentu saja dengan memperhatikan berbagai hasil evaluasi implementasi kurikulum, baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat serta perubahan paradigma keragaman, bukan keseragaman dalam implementasi kurikulum.
Kurikulum atau curriculum (Inggris) maknanya adalah rencana pelajaran (Echolz:1984). Kata Curriculum sendiri berasal dari kata "Currere” yang berarti berlari cepat, tergesa gesa, menjelajahi, menjalani, dan berusaha (Hassibuan:1979). Menurut kamus Webster's tahun 1857, kurikulum diartikan sebagai rancangan sejumlah mata pelajaran yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk naik kelas atau mendapatkan ijazah setelah menyelesaikan studinya pada jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19), menyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Lebih lanjut pada pasal 36 ayat (3) disebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: 1). Peningkatan iman dan takwa, 2). Peningkatan akhlak mulia, 3). Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik, 4). Keragaman potensi daerah dan lingkungan, 5). Tuntutan pembangunan daerah dan nasional, 6). Tuntutan dunia kerja, 7). Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, 8). Agama, 9). Dinamika perkembangan global; dan 10). Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
ADVERTISEMENT
Berdasarkan uraian tersebut, kurikulum memiliki posisi dan peran yang strategis dalam menanamkan dan meningkatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan, dan karakter peserta didik dalam mempersiapkan masa depannya. Karena itu, kurikulum harus dikaji dan dirancang dengan matang dengan memperhatikan semua aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai negara yang dianugerahi Tuhan dengan keanekaragaman suku, agama, ras, golongan, seni, budaya, bahasa, kuliner dan lain-lain, maka negara harus menjadikannya sebagai modal sosial untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, kurikulum yang diajarkan kepada anak didik juga harus mencerminkan keanekaragaman tersebut, sehingga menjadikannya berkah bagi bangsa dan negara bukan malah menjadi musibah.

Sejarah Bagian Keragaman

Jika kita melihat sejarah perjuangan bangsa, maka peranan para pahlawan dengan berbagai macam latar belakang suku, agama, ras, dan golongan yang ada di negara kita ikut mewarnainya. Seperti Tjut Nyak Dien di Aceh, Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Antasari dari Kalimantan, Kaisiepo dari Papua, Pattimura di Maluku, Sultan Hasanudin di Sulawesi, Pangeran Diponegoro di Yogyakarta, Dewi Sartika di Jawa Barat, Kartini di Jawa Tengah, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, I Gusti Ngurah Rai dari Bali, Wolter Monginsidi dari Sulawesi Utara, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Karena itulah Kemendikbud menegaskan bahwa pelajaran sejarah tetap diajarkan dan diterapkan, dengan mengutamakan sejarah sebagai bagian penting dari keragaman dan kemajemukan serta perjalanan hidup bangsa Indonesia, pada saat ini dan yang akan datang. “Saya ucapkan tidak ada sama sekali kebijakan, regulasi, atau rencana penghapusan mata pelajaran sejarah di kurikulum nasional," tegas Mendikbud Nadiem Makarim dalam video di akun Instagramnya, Minggu (20/9/2020).
Lebih lanjut Nadiem menambahkan “Saya ingin menjadikan sejarah suatu hal yang relevan bagi generasi muda, dengan penggunaan media yang menarik dan relevan untuk generasi kita, agar bisa menginspirasi mereka. Identitas generasi baru yang nasionalis hanya bisa terbentuk dari suatu kolektif memori yang membangunkan dan menginspirasi. Sekali lagi, saya imbau kepada masyarakat, jangan biarkan informasi yang tidak benar ini menjadi liar," kata Nadiem.
ADVERTISEMENT
Di antara kegunaan mempelajari sejarah adalah ; 1). Mempelajari masa lalu dengan segala dinamika yang menyertainya, 2). Menjadikan masa lalu yang baik dan buruk dijadikan pelajaran, 3). Merancang masa depan yang lebih baik berdasarkan pengalaman masa lalu. Maka pesan semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966 tentang Jas Merah : Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, masih tetap selalu relevan dan kontekstual.
Bukankah adanya masa sekarang juga karena adanya masa lalu? Mari mempelajari sejarah.