Reorganisasi Kemendikbud, Siapa Takut?

Faozan Amar
Mengajar, berbisnis, berorganisasi, dan kadang menulis. Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah | Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA.
Konten dari Pengguna
4 Januari 2020 9:37 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faozan Amar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi semangat bekerja Foto: dok. Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi semangat bekerja Foto: dok. Unsplash
ADVERTISEMENT
Perubahan dalam suatu organisasi adalah sebuah keniscayaan (sunatullah). Karena itu, selama perubahan dilakukan untuk ke arah yang lebih baik, tak perlu ada kekhawatiran. Apalagi sampai menimbulkan sikap apriori. Memang, di masa awal perubahan pastilah menimbulkan gejolak atau dinamika. Hal itu sangat wajar dan beralasan.
ADVERTISEMENT
Sama seperti halnya kita naik pesawat, diawal ketika akan tinggal landas pasti terjadi turbulensi. Sehingga para penumpang diharuskan mengenakan sabuk pengaman. Namun, jika kita telah memilih maskapai penerbangan, maka kita harus mempercayakan pilot beserta dengan awak kabin untuk menerbangkan ke arah bandara tempat tujuan mendarat.
Begitu juga dalam pemerintah di negeri ini, ketika kita telah bersepakat menjadikan Jokowi Widodo sebagai presiden, maka konsekuensinya kita harus siap untuk menerima implementasi dari visi misi Presiden terpilih sekaligus untuk memenuhi janji kampanyenya. Itulah sesungguhnya salah satu hakikat kita berdemokrasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), reorganisasi adalah penyusunan kembali atau penataan kembali, yang biasanya diperuntukan bagi pengurus, lembaga, dan sebagainya. Dalam konsep manajemen, selama ini reorganisasi biasanya dilakukan oleh perusahaan yang berorientasi bisnis.
ADVERTISEMENT
Menata ulang suatu organisasi, misalnya organisasi suatu perusahaan atau pendidikan, berarti akan merubah, menambah, mengurangi atau memodifikasi struktur yang sudah ada menjadi organisasi dengan struktur baru dengan harapan agar organisasi baru tersebut menjadi lebih dinamis, efektif, dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan visi misi yang memimpin organisasi.
Dalam konteks organisasi pendidikan, telah kita pahami bersama bahwa salah satu tujuan Indonesia merdeka, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena itu, ikhtiar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus menerus dilakukan oleh pemerintah beserta dengan stakeholder pendidikan. Termasuk di dalamnya melakukan restrukturisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hal ini dimaksudkan agar kementerian yang menjadi leading sector dalam bidang pendidikan dan kebudayaan tersebut mampu bergerak lincah, beradaptasi sesuai dengan tuntuan zaman yang dihadapinya. Sehingga output yang dihasilkan dari lembaga pendidikan, baik yang informal, formal maupun non formal mampu menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang merdeka dalam belajar, bekerja dan melakukan kreatifitas sesuai dengan kebutuhan zaman.
ADVERTISEMENT
Reorganisasi struktur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan efisiensi birokrasi dalam melakukan sinkronisasi dan integrasi kebijakan pendidikan perjenjang dan lintas jalur formal maupun non formal. Reorganisasi dan restrukturisasi dilakukan sesuai dengan sesuai Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang efektif berlaku mulai 31 Desember 2019.
Sebagaimana dijelaskan dalam siaran pers dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 425/Sipres/A5.3/XII/2019 tertanggal, 26 Desember 2019, setidaknya ada tiga alasan mengapa reorganisasi dan restrukturisasi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan, yakni ; 1). Perlunya keterpaduan antara pendidikan formal dan nonformal, 2). Perampingan organisasi sesuai arahan Presiden mengenai deregulasi dan debirokratisasi, dan 3). Upaya menghadirkan pemerintahan yang fokus pada output bukan pada struktur pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Dalam reorganisasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sinkronisasi kebijakan dan percepatan capaian untuk pendidikan non formal dan informal akan tercapai lewat integrasi dengan struktur pendidikan perjenjang, seperti program pendidikan kesetaraan dan keaksaraan akan dilaksanakan oleh dan menjadi indikator dalam pelaksanaan program direktorat pendidikan per jenjang.
Kemudian, program pendidikan kursus dan pelatihan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi. Dan program terkait pendidikan keluarga akan diarusutamakan lintas unit dan menjadi strategi utama unit baru yang akan dibentuk dengan cakupan yang lebih luas untuk penguatan karakter.
Berdasarkan uraian di atas, maka kekhawatiran terhadap eksistensi pendidikan non formal dan informal tak perlu terjadi. Sebab, sekalipun secara eksplisit tidak dimasukan struktur organisasi, tetapi dari segi kebijakan, program dan anggaran tetap ada bahkan diperkuat melalui jalur Pendidikan vokasi, serta Pendidikan PAUD, Dasar dan Menengah.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, mitra kerja pendidikan non formal dan informal juga semakin luas, yakni tidak hanya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga dari Kementerian dan Lembaga negara lainnya seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, BKKBN, dan sebagainya. So, reorganasi Kemendikbud, siapa takut?