Teladan Bisnis Nabi

Faozan Amar
Mengajar, berbisnis, berorganisasi, dan kadang menulis. Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah | Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UHAMKA.
Konten dari Pengguna
11 November 2019 8:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faozan Amar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bisnis. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bisnis. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat, bahwa sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad adalah seorang pebisnis ulung. Bahkan ketika berusia 12 tahun telah melakukan kongsi bisnis dengan Siti Khadijah, seorang perempuan konglomerat bisnis, hingga Beliau berbisnis sampai ke negeri Syam. Hal itu mengantarkannya menjadi seorang anak muda yang sukses dalam berbisnis.
ADVERTISEMENT
Dalam momentum memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, mari kita lihat sejenak, apa sebenarnya yang menjadi kunci sukses Nabi dalam berbisnis, sehingga sangat layak untuk kita sebagai manusia untuk meneladaninya. Pertama, kejujuran. Praktik kejujuran tidak hanya dalam ucapan, tetapi juga sifat dan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi dalam berbisnis. Kejujuran yang dimiliki Nabi bukan ada dengan seketika, tetapi telah melekat dari dalam dirinya. Sehingga Beliau mendapatkan gelar “al amin”, yang maknanya adalah dapat dipercaya. Jujur adalah mata uang yang berlaku universal, kapan dan dimanapun bisa digunakan.
Cakupan nilai kejujuran dalam bisnis yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sangatlah luas, seperti tidak melakukan penipuan, tidak menyembunyikan cacat pada barang dagangan yang dijualnya, menimbang barang dengan ukuran timbangan yang tepat, dan lain-lain. Kejujuran Nabi Muhammad SAW dalam bertransaksi dilakukan dengan cara menyampaikan kondisi riil barang dagangan apa adanya bukan ada apanya.
ADVERTISEMENT
Beliau tidak menyembunyikan kecacatan barang atau mengunggul-unggulkan barang dagangannya, kecuali sesuai dengan kondisi barang yang dijualnya. Praktik bisnis ini dilakukan secara, rasional, wajar, dan proporsional dengan menggunakan bahasa yang santun dan lemah lembut. Sehingga, mendatangkan banyak pembeli. Dan tentu saja berkorelasi dengan keuntungan dan keberkahan yang diperolehnya.
Sabda Nabi Muhammad Saw: Penjual dan pembeli boleh meneruskan atau memutuskan transaksi selama belum berpisah. Jika keduanya jujur, keduanya akan diberkahi. Namun, jika keduanya berdusta dan saling tertutup, hilanglah berkah jual beli keduanya (Muttafaqun alaihi). Bandingkan dengan kondisi sekarang, di mana banyak pedagang, baik produsen maupun konsumen yang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan dengan mengabaikan kejujurannya. Akibatnya, keuntungan yang peroleh hanya sesaat, karena menimbulkan kekecewaan di kalangan konsumen. Maka dampaknya adalah tidak hanya kerugian tetapi juga kebangkrutan usaha bisnisnya.
ADVERTISEMENT
Teladan kedua, yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam berdagang adalah tidak melakukan sumpah untuk meyakinkan apa yang dikatakannya, termasuk dengan membawa-bawa nama Tuhan. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW berjualan di Syam, Beliau pernah bersitegang dengan salah seorang pembelinya terkait dengan barang dipilih pembeli. Calon pembeli berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Bersumpahlah demi Lata dan Uzza!” Nabi Muhammad SAW menjawab, “Aku tidak pernah bersumpah atas nama Lata dan Uzza sebelumnya.” Penolakan Nabi Muhammad SAW dimaklumi oleh pembeli tersebut, dan sang calon pembeli berkata kepada Maisarah, “Demi Allah, ia adalah seorang Nabi yang tanda-tandanya telah diketahui oleh para pendeta kami dari kitab-kitab kami.”
Dalam konteks sekarang, praktik ketidakjujuran dan melakukan sumpah palsu itu dilakukan dalam bentuk laporan keuangan yang direkayasa sehingga seolah-olah bagus, bahkan dengan menggunakan kantor akuntan publik independen dan ternama, padahal yang terjadi sebaliknya. Juga dalam menjelaskan komposisi produk, kehalalan, dan masa kadaluwarsa, terutama pada makanan dan minuman. Padahal mencantumkan izin resmi dari Kementerian Kesehatan dan Sertifikat halal dari MUI. Sehingga konsumen tertipu. Bersyukur kita telah punya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Jaminan Produk Halal, yang melindungi konsumen dari ketidakjujuran dan ketidakhalalan barang dan jasa yang dijual oleh produsen, distributor, dan pedagang.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan praktik kecurangan dalam berbisnis, Allah mengingatkan: Celaka bagi orang-orang yang mengurangi takaran (QS. Al-Muthaffifin: 1). Sedangkan Nabi Muhammad Saw bersabda: Barangsiapa yang menipu bukanlah golongan kami. Makar dan tipuan tempatnya adalah neraka (HR. Thabrani). Dalam hadis lain disebutkan: Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang yang mengandung cacat kepada orang lain, kecuali jika ia menjelaskan (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Memang, sekilas kedengarannya terasa aneh bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip dan etika bisnis yang harus dijunjung tinggi. Sebab, ada satu mitos yang keliru dan menyesatkan bahwa bisnis adalah kegiatan tipu menipu untuk meraup untung besar. Sehingga sulit membedakan antara cerdik dengan licik.
ADVERTISEMENT
Etika kejujuran ini agak problematik karena masih banyak pelaku bisnis sekarang yang mendasarkan kegiatan bisnisnya dengan cara curang, karena situasi eksternal atau karena perilaku internal (suka menipu). Sering pedagang menyakinkan kata-katanya disertai dengan ucapan sumpah (termasuk sumpah atas nama Tuhan), demi untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.
Beberapa praktik ketidakjujuran dalam berbisnis, kita tentu tidak akan lupa dengan kasus penipuan jamaah umrah oleh perusahaan jasa haji dan umrah. Begitu juga kasus laporan keuangan ganda yang dilakukan sebuah bank swasta nasional untuk mengelabui investornya. Juga kasus jual beli kendaraan, apartemen bodong, dan sebagainya. Semua kasus tersebut berakhir dengan bangkrutnya bisnis dan para pelakunya dihukum akibat perbuatan yang dilakukan.
Mereka bukannya untung tapi malah buntung. Dan muaranya adalah kekecewaan para konsumen yang menjadi korban penipuan akibat ulah yang dilakukan oleh para pebisnis yang tidak jujur dan menggunakan sumpah palsu. Jika terus dibiarkan, maka akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perdagangan.
ADVERTISEMENT
Semoga momentum peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW ini menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya para pebisnis agar meneladani sikap dan perilaku Nabi dalam berbisnis. Sehingga, akan meraih keuntungan, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Wallahu’alam.