Gen Z, Mari Berhenti Mendiagnosis Penyakit Mental Sendiri

Faradita Aprillya Ayu Cania
Halo, saya Cania. Saya adalah mahasiswi semester 3 dari Universitas Muhammadiyah Tangerang program studi Ilmu Komunikasi. Tujuan saya di sini untuk mengembangkan kemampuan menulis saya.
Konten dari Pengguna
29 November 2021 18:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Faradita Aprillya Ayu Cania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(sumber: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
(sumber: pixabay)
ADVERTISEMENT
Halo, teman-teman! Di masa sekarang ini, kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan kata ‘Milenial’. Milenial adalah sebutan untuk orang-orang kelahiran tahun 80-90an, di tahun 2021 ini, para milennial sudah memasuki usia akhir 20-an. Namun, bukan tentang para generasi milenial yang akan saya tulis pada tulisan ini, melainkan tentang generasi setelah milenial. Ya! Gen Z.
ADVERTISEMENT
Gen Z adalah sebutan untuk orang-orang kelahiran tahun akhir 90-an hingga 2012. Gen Z atau bisa disebut juga dengan Zoomers ini digadang-gadang sebagai ‘Sang Penggerak Inovasi’, lho. Dengan segala kecanggihan teknologi saat ini, membuat Gen Z dipandang sebagai generasi yang paling melek dan paham soal perkembangan teknologi. Berdasarkan pada studi yang dilakukan oleh McKinsey (2018), perilaku Gen Z dapat dikategorikan ke dalam empat komponen besar yang berlandas pada satu fondasi yang kuat bahwa Gen Z adalah generasi yang mencari akan suatu kebenaran.
Empat komponen besar itu di antaranya, “the undefined ID” atau keadaan di mana Gen Z menghargai setiap cara individu mengekspresikan diri tanpa memberi label tertentu. Kemudian, “the communaholic” atau di mana Gen Z sangat senang mengikuti kegiatan atau berbagai komunitas dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Lalu ada “the dialoguer” atau Gen Z dikenal sebagai generasi yang memiliki kepercayaan tinggi akan penting berkomunikasi dalam hal penyelesaian suatu konflik. Dan yang terakhir “the realistic” atau Gen Z yang dianggap lebih realistis dan analitis di setiap proses pengambilan suatu keputusan.
ADVERTISEMENT
Dari penjelasan di atas, kelihatannya Gen Z ini benar-benar generasi yang mendekati sempurna apalagi ditambah dengan adanya kemajuan teknologi saat ini. Tapi tunggu dulu, teman-teman! Bagaimanapun juga, di setiap generasi pasti selalu ada permasalahan pelik sesuai dengan era masing-masing. Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang paling rentan mengalami kecemasan, depresi, atau permasalahan mental lainnya yang dipengaruhi oleh lingkungan mereka. Faktor lain yang memengaruhi permasalahan mental yang dialami oleh Gen Z adalah media sosial.
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa perkembangan dan kemajuan teknologi saat ini mengarah ke sosial media yang menciptakan dua dunia bagi para penggunanya; dunia nyata dan dunia maya. Ternyata, ‘dunia kedua’ para Gen Z membawa pengaruh cukup besar untuk kesehatan mental mereka. Mudah diaksesnya berita atau isu-isu mengenai dunia yang tragis dan ironis membuat mereka menjadi cemas dan merasa tertekan karena takut tidak dapat beradaptasi dengan segala hal yang telah terjadi di dunia ini. Selain itu, faktor lingkungan mereka juga sering dikaitkan untuk menjadi alasan pada gangguan kesehatan mental mereka.
ADVERTISEMENT
Gen Z dan Self-Diagnosis
(sumber: Mohamed Hasan dari pixabay)
Faktor dari lingkungan dan dunia luar membuat para generasi ini merasa bahwa mereka adalah generasi yang tertekan. Gen Z memang salah satu generasi yang sangat aware akan permasalahan mental yang kerap menjadi perbincangan hangat di masa ini. Akan tetapi, tidak jarang dari mereka yang malah menjadi self-diagnosis. Self-diagnosis sendiri merupakan keadaan di mana seseorang mendiagnosis diri sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara mandiri. Maraknya kampanye-kampanye mengenai pentingnya sadar akan kesehatan mental ternyata seolah menjadi hal yang rancu. Banyak Gen Z yang malah mendiagnosis diri mereka sendiri setelah mengetahui indikasi-indikasi penyakit mental yang telah mereka baca melalui internet. Padahal semua itu hanya asumsi mereka dan belum tentu benar adanya.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang Gen Z, saya sering kali menjumpai hal yang menggelitik seperti, tidak jarang dari mereka mendiagnosis diri sendiri dengan permasalahan mental melalui sesuatu yang sebenarnya tidak mempunyai korelasi antara hal tersebut dengan permasalahan mental. Contoh, mereka yang mendengarkan lagu-lagu dari Billie Eilish dianggap sebagai sosok yang depresi dan penuh dengan kesuraman. Atau, contoh lainnya adalah mereka yang sering kali mengalami perubahan suasana hati dicap sebagai pengidap bipolar atau suatu gangguan yang berhubungan dengan perubahan suasana hati mulai dari posisi terendah depresif atau tertekan ke tertinggi atau manik. Padahal untuk mendiagnosis semua itu membutuhkan waktu dan penangan professional. Tidak boleh seenaknya kalian beranggapan bahwa mengalami depresi setelah membaca gejala depresi melalui internet.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, pengaruh lingkungan dan keadaan dunia masa kini yang menjadi faktor terbesar mengapa Gen Z rentang menjadi self-diagnosis. Terlebih pengaruh di dunia internet yang seolah menjadikan gangguan kesehatan mental adalah sebuah tren yang perlu dimiliki dan adanya tes pemeriksaan kesehatan mental berbasis daring yang bukan dikelola oleh professional. Saya sangat mengharapkan agar ke depannya Gen Z menjadi lebih bijak lagi dalam menghadapi sebuah isu dan tidak dengan mudahnya mendiagnosis diri sendiri karena itu akan berdampak lebih parah jika tidak ditangani oleh dokter atau ahli kesehatan mental.
Bahaya Self-Diagnosis
Perlu diingat dan ditegaskan bahwa mental issues bukanlah suatu tren yang bila mengidapnya maka akan terlihat keren. Bagi mereka yang mengidap gangguan kesehatan mental, hal tersebut merupakan sesuatu yang menyakitkan selayaknya kita sakit fisik, lho. Ada banyak sekali faktor yang memengaruhi munculnya gangguan kesehatan mental pada seseorang, contohnya seperti trauma mendalam atau gangguan pada fungsi sel otak dan tentunya untuk mengetahui apakah kita mengalami gangguan kesehatan mental bukan semata-mata hanya membaca indikasi yang di internet melainkan harus pergi ke dokter atau mendapatkan penanganan dari profesional.
ADVERTISEMENT
Menurut Ateev Mehrotra, Associate Professor Kebijakan Kesehatan dan Pengobatan di Harvard Medical School dan Beth Israel Deaconess Medical Center, self-diagnosis sebenarnya mungkin berguna pada pasien yang masih mencoba untuk memutuskan apakah mereka harus mendapatkan penanganan segara. Namun dalam banyak kasus, orang-orang hanya berakhir dengan langsung percaya dengan pemeriksaan gejala yang ada di internet dan hal itu tentunya tidak cukup ya, teman-teman.
Self-diagnosis menjadi sangat bahaya karena hal tersebut akan membuat seseorang tidak akan mampu membedakan penyakit media yang menyamar sebagai sindrom gangguan kesehatan mental. Mereka yang melakukan self-diagnosis juga akan mengalami penurunan pada self-esteem atau cara seseorang dalam memandang, menghargai, dan mencintai dirinya sendiri. Dengan melakukan self-diagnosis juga akan membuat seseorang menjadi mengkhawatirkan sesuatu yang seharusnya tidak perlu hingga yang paling parah adalah dengan self-diagnosis hanya akan semakin memperburuk kesehatan mental itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Mari Berhenti Mendiagnosis Sendiri Penyakit Mental!
Zoomers, di masa sekarang ini sangat penting untuk menyaring dan memilah-milah berita ataupun isu-isu yang ingin kamu konsumsi, lho! Semakin banyaknya platforms di media sosial memang sering kali membuat para Gen Z menerima terlalu banyak informasi sehingga mereka tidak dapat menyaringnya satu persatu. Di era seperti saat ini, memang tidak jarang banyak tokoh-tokoh idola yang digemari kalangan Gen Z berani speak up mengenai permasalahan kesehatan mereka. Tapi, jangan pernah menjadikan apa yang telah mereka suarakan sebagai sebuah rujukan atau indikasi bahwa kalian juga memiliki masalah yang sama. Gen Z juga sebaiknya menghindari pemeriksaan atau tes-tes mental issues yang beredar di internet, hasil yang ditampilkan pemeriksaan tersebut adalah gejala umum dan bukan sesuatu yang spesifik.
ADVERTISEMENT
Jika memang merasakan beberapa indikasi atau gejala gangguan kesehatan mental, sudah seharusnya kalian pergi ke dokter atau mencari pertolongan dari profesional. Jika kalian belum berani atau memiliki kesiapan memeriksakan diri ke professional, kalian bisa berdiskusi dengan teman atau keluarga yang kalian percaya. Hindari mencari tahu tentang apa yang kalian rasa melalui internet karena sudah sangat jelas bahwa hal tersebut hanya akan memperparah keadaan kalian. Perbanyak habiskan waktu kalian untuk hal-hal positif dan bermanfaat
Sekarang ini, juga sangat banyak lembaga dan aplikasi-aplikasi konsultasi mengenai permasalahan mental. Daripada mencari tahu sendiri, akan lebih baik jika kalian segera atau menghubungi orang-orang yang lebih profesional agar terhindar dari self-diagnosis. Harus kembali diingat serta tanamkan dalam diri bahwa mental issues bukan suatu tren. Sebagai generasi yang dikaruniai banyak kemudahan dalam mengakses segala sesuatu saat ini, kita perlu memanfaatkan hal tersebut dengan baik dan bukan malah disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Sebagai sesama Gen Z, saya ingin mengajak kalian untuk saling memberi semangat untuk satu sama lain dalam menjalani kehidupan di masa sekarang ini. Mari kita saling memedulikan satu sama lain karena Gen Z adalah generasi penggerak inovasi. Mari bersama-sama gali potensi diri demi masa depan bangsa yang cerah dan tidak lupa untuk peduli pada kesehatan baik mental maupun fisik masing-masing.