Tapak Tilas Kondisi Pedagang Jawa di Masa Lampau Lewat Kartu Pos

Farhan Fernandi
Mahasiswa Magister Sejarah Universitas Gadjah Mada dan Awardee LPDP 2022
Konten dari Pengguna
25 Januari 2023 16:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhan Fernandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Surat yang dilengkapi dengan kartu pos (ilustrasi), Foto: Margaritha Kocheva, https://pixabay.com/photos/text-letter-old-letters-retro-4095909/
zoom-in-whitePerbesar
Surat yang dilengkapi dengan kartu pos (ilustrasi), Foto: Margaritha Kocheva, https://pixabay.com/photos/text-letter-old-letters-retro-4095909/
ADVERTISEMENT
“Sebuah gambar bernilai seribu kata” adalah kalimat yang seringkali kita jumpai untuk memaknai arti dari sebuah gambar. Gambar-gambar yang seringkali kita jumpai adalah potret dari peristiwa yang telah terjadi. Tentu saja ketika kita menemukan gambar-gambar akan terbesit keinginan untuk mengetahui tentang apa saja yang terjadi pada kurun waktu ketika gambar tersebut diambil, seperti pekerjaan seseorang, bangunan, keluarga, kendaraan, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Upaya kita untuk mengetahui masa lampau melalui gambar akan mengalami kesulitan. Misalnya, gambar yang baru saja dipotret beberapa jam ke belakang saja sangat sulit untuk kita ketahui tentang hal yang sebenarnya terjadi. Hal yang sama juga terdapat dalam gambar seseorang yang sedang tersenyum, belum tentu ia tersenyum karena sedang bahagia, melainkan karena adanya kamera yang memotretnya.
Begitu juga dengan kita yang sedang membereskan gudang yang penuh dengan barang-barang bekas. Secara tiba-tiba, kita menemukan gambar dari kartu pos berusia 50 hingga 100 tahun. Temuan dari kartu pos tersebut ingin sekali kita ketahui tentang kehidupan di masa lampau. Namun, terasa sangat sulit karena ketidakhadiran kita pada kurun waktu tersebut dan gambar hanyalah benda mati yang tidak mampu bercerita. Mau tidak mau, kartu pos yang menggambarkan kehidupan di masa lampau tersebut hanya menjadi koleksi dan pajangan saja.
Penjual Sate (diterbitkan P. Morgues, Djocja en Semarang pada tahun 1906), Sumber: Olivier Johannes Raap, Pekerja di Djawa Tempo Doeloe, (Yogyakarta: Galang Pustaka, 2013).
Sekarang, coba perhatikan gambar dari kartu pos yang sudah ada sejak tahun 1906 di atas. Gambar tersebut memperlihatkan adanya seorang pria dengan pikulnya sedang menggenggam kipas untuk membakar daging dan menjajakan kepada empat orang pelanggannya. Jika kita bayangkan, penduduk Jawa pada saat itu sudah ada yang berprofesi sebagai pedagang sate yang dijajakan secara berkeliling kepada pelanggan tanpa harus datang ke suatu restoran.
ADVERTISEMENT
Lalu, mengapa fotografer tersebut tidak ingin terlewatkan untuk mengambil gambar pedagang sate dan pelanggannya yang sedang menyantap hidangan nikmat tersebut? Bukankah lebih baik mengambil gambar gedung, moda transportasi dan pemandangan alam Jawa lainnya yang lebih bernilai?
Inilah yang telah dijelaskan oleh Olvier Johannes Raap tentang gambar pedagang sate dan para pelanggannya tersebut. Raap yang telah mengoleksi kartu pos tersebut tidak ingin melewatkan untuk mengetahui kehidupan penduduk Jawa di masa lampau. Ia menjelaskan gambar tersebut merupakan para pedagang yang menjadi model di dalam sebuah studio. Mereka menjadi model bukan atas dasar keinginan sendiri karena biaya untuk melakukan foto di dalam studio sudah tentu memakan biaya yang sangat mahal apabila foto tersebut digunakan untuk koleksi pribadi. Berbeda dengan kelompok elite di lapisan kelas sosial atas yang diharuskan membayar biaya studio dan fotografer.
ADVERTISEMENT
Perusahaan penerbit menjual kartu pos tersebut kepada orang Eropa yang sangat meminati kartu pos bergambar penduduk Jawa. Minat menggunakan kartu pos yang menggambarkan kehidupan penduduk Jawa pada umumnya dijadikan sebagai oleh-oleh untuk kerabat mereka yang berada di Eropa, sekaligus menggambarkan keunikan Pulau Jawa yang terdapat pedagang keliling yang justru tidak ada di Eropa.
Lalu, minat yang besar dari orang Eropa terhadap kartu pos bergambar pedagang Jawa memunculkan pertanyaan, seperti “apakah mereka dipekerjakan secara paksa untuk menjadi model foto?” Di sini Raap menyampaikan bahwa para pedagang yang bekerja sebagai model kartu pos telah memperoleh upah dan tidak bekerja secara cuma-cuma. Hal tersebut juga dapat diasumsikan adanya komunikasi yang terbangun antara fotografer dengan pedagang pikul tersebut ketika memperkerjakannya sebagai model, pose yang harus dilakukan, model pakaian, dan adanya penghasilan tambahan sebagai model. Dengan demikian, dapat kita bayangkan adanya profesionalitas yang dibangun sebagai tanggung jawab pekerjaan antara pedagang sebagai model dengan si fotografer.
ADVERTISEMENT
Kemudian, kita perlu perhatikan lebih dalam mengenai kartu pos bergambar yang menunjukkan sosok pedagang, pakaian, barang-barang dagangan, pikulan, dan layer sebagai background gambar juga merupakan bagian dari subjektivitas dari fotografer untuk mengatur hal sedemikian rupa agar hasil gambar sesuai dengan selera para peminat. Minat besar tersebut didorong atas selera pelanggan Eropa yang ingin melihat kehidupan koloni melalui kartu pos bergambar sebagai bentuk pembuktian atas kejayaan ekonomi, ilmu pengetahuan, atau sekadar koleksi pribadi. Subjektivitas dari fotografer tersebut tentu tidak sepenuhnya menggambarkan keadaan para pedagang sebenarnya.
Bagaimanapun, gambar merupakan salah satu sumber sejarah yang kaya, tetapi tidak dapat menjadi satu-satunya bukti untuk menggambarkan masa lampau yang jauh dari diri kita saat ini. Adanya kesaksian dari si fotografer, model yang difoto, dokumen dan para saksi lain akan mampu menjelaskan realitas yang terjadi begitu juga dengan kehidupan pedagang sate pada tahun 1906 tersebut. Apakah kesaksian dari fotografer, model, dokumen perusahaan penerbit kartu pos, dan saksi mampu dihadirkan untuk menceritakan kehidupan pedagang pada tahun 1906? Jawabannya adalah tidak.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dapat dihadirkan melalui interpretasi atau penafsiran, tetapi tidak sepenuhnya dapat dihadirkan karena Hayden White telah mengungkapkan kekuatan narasi yang dapat mempengaruhi interpretasi yang berujung subjektivitas seseorang. Hal yang dilakukan oleh Raap dalam upayanya mengoleksi kartu pos dan menceritakannya kepada kita barangkali adalah subjektivitas narasinya. Namun, pernyataan dari Raap yang telah kita peroleh saat ini telah melalui proses interpretasi yang disertai dengan pembacaan literatur secara komprehensif, ketersediaan data, serta kuat atau lemahnya argumen.
Bisa jadi, Raap dan kita semua dapat menyadari kesalahan atas interpretasi terhadap gambar dalam kartu pos di masa depan. Hal tersebut tidak serta merta menjadi hantu yang harus kita takuti. Kita tidak dapat menghindari kesalahan interpretasi karena adanya kemungkinan fakta baru yang akan terus hadir dan juga akan didorong dengan interpretasi yang baru. Melalui semangat revisi atas interpretasi terhadap gambar di masa lampau, kita akan lebih terbuka dan leluasa.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, Raap sebagai kolektor kartu pos bergambar dan sekaligus sebagai penulis buku tidak melakukan interpretasi lebih karena latar belakangnya bukan sebagai seorang sejarahwan, melainkan sebagai arsitek.
Bagaimanapun, Monty L. Lynn menyatakan bahwa interpretasi atas peristiwa di masa lampau melalui kartu pos dapat memberikan pemahaman kepada kita mengenai pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, tekanan dan kesesuaian sosial, norma, kondisi kerja, teknologi, dan tanggung jawab sosial.
Minat dan upaya yang telah dilakukan oleh Raap telah menunjukkan kegunaan dari kartu pos bergambar sebagai sarana untuk melihat realitas di masa lampau yang tidak semuanya terekam dalam dokumen pemerintah. Dengan demikian, kartu pos yang dikumpulkan olehnya tidak hanya menjadi koleksi pribadi dan pajangan di kediaman Raap saja, melainkan dapat kita ketahui adanya kehidupan para pedagang Jawa yang telah menunjukkan eksistensi mereka di masa lampau agar mereka juga mendapatkan tempat dalam cerita keseharian tanpa harus memiliki embel-embel kepahlawanan.
ADVERTISEMENT