Menjawab Pertanyaan Kapan

Farhanah Fitria Mustari
Managing Director Yayasan Teman Saling Berbagi II Membuat hidup #MenjadiLebihBermakna bersama Yayasan Teman Saling Berbagi II Berbagi pesan kebaikan tentang hidup yang #SalingBukanSilang.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2022 16:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Farhanah Fitria Mustari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ditulis oleh: Farhanah Fitria Mustari (Ketua Yayasan Teman Saling Berbagi)
Sumber: Foto Pribadi Penulis
Apa yang paling berkesan di benak ketika mengenang Hari Raya?
ADVERTISEMENT
Saya memperkirakan opsi terakhir selalu mengundang reaksi tak terduga. Pertanyaan “kapan” yang selalu menjadi rentetan basa-basi dan pada akhirnya, kita terjebak dengan tekanan batin.
“Kapan nikah”
“Kapan lulus kuliah”
“Kapan kerja”
“Kapan punya anak”
“Kapan membawa pacar”
dan masih banyak lagi pertanyaan “kapan” yang tidak perlu saya utarakan.
Paham sekali rasanya tidak nyaman dikarenakan siapa pula manusia di dunia ini yang mampu memprediksi masa depan. ‘Kapan’ selalu mengarah pada ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Banyak dari kita yang pada akhirnya memilih untuk mundur dari interaksi Hari Raya karena enggan untuk terus-terusan sadar menyikapi respons orang lain. Di sudut perasaan lain, kita juga tidak ingin meninggalkan momen langka yang hanya terjadi satu kali dalam satu tahun. Perasaan yang terombang-ambing dan dilematis selalu menjadi warna di Hari Raya. Namun, diri saya seperti angkuh sekali jika memilih untuk kabur seperti melarikan diri di tengah keadaan yang netral ini.
Sumber: Foto Pribadi Penulis
Perbedaan bahwa tidak semua orang belum tentu mengenal istilah privasi. Hingga, penting sekali bagi kita untuk menyadari bahwa tidak selamanya orang lain paham dengan batasan diri kita. Hal ini tidak terlepas oleh berbagai faktor, dari tingkat pendidikan hingga budaya yang membentuk respons individu. Kita umumnya senang berasumsi pada orang lain yang tak selaras dengan nilai hidup kita. Ini menjadi alasan kuat bahwa manusia memang sulit untuk memahami tindakan sebagian orang.
ADVERTISEMENT
Komunikasi positif selalu berakar dari niat untuk menyadari bahwa kita tidak mungkin membuat orang lain paham hanya dengan membaca pikiran mereka. Bahkan, selarasnya sebuah hubungan selalu didasari oleh empati yang bertumbuh dari pemikiran positif bahwasanya perbedaan adalah hal yang lumrah.
Saya mengambil contoh dengan Uwa (sebutan untuk kakak dari orang tua) yang setiap lebaran selalu bertanya bagaimana kabar saya dengan menggunakan jurus “kapan”. Setelah saya amati, mereka hanya ingin mengetahui apa yang terjadi di hidup saya. Bukan memaksa untuk mempercepat timeline hidup. Ketika saya tidak punya jawaban yang berarti, saya hanya tersenyum dan memohon doa untuk kebaikan hidup bersama.
Pada awalnya, saya juga merasa jengkel dan tidak nyaman. Tapi, setelah saya belajar untuk bereaksi dengan wajar dan welas asih. Pada tahap itu, saya justru mendapat banyak doa yang diucap oleh mereka yang berusia puluhan tahun dari saya.
ADVERTISEMENT
Doa tersebut yang menjadi “mahal” harganya. Mengingat tidak setiap saat kita bertemu dengan mereka. Hingga, tak ada jaminan apakah lebaran berikutnya akan berjumpa dengan mereka. Bukankah, hidup yang positif selalu membuka ruang kemungkinan untuk menjadikan diri dan sekitar secara lebih baik?
Sumber: Foto Pribadi Penulis
Oleh karena itu, kenangan Hari Raya selalu kita sendiri yang memutuskan ingin tersimpan di relung hati sebagai bentuk yang seperti apa dan bersama siapa. Karena, hidup adalah soal apa yang kita masukkan ke dalam hati.