Konten dari Pengguna

Pandemi Covid-19: Pentingnya Perhatian terhadap Keamanan Non-tradisional

Fariz Aslami
Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25 Oktober 2022 20:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fariz Aslami tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penyebaran Covid-19. Sumber: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyebaran Covid-19. Sumber: unsplash.com
ADVERTISEMENT
Setelah berakhirnya Perang Dingin, pembahasan mengenai isu keamanan tidak lagi terbatas pada keamanan tradisional yang berkaitan erat dengan ancaman militer. Keamanan pada masa kini tidak hanya dimaknai sebagai ancaman terhadap kedaulatan suatu negara tetapi juga terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat. Keamanan non-tradisional mencakup berbagai isu seperti perubahan iklim, migrasi, dan penyakit menular. Dalam menghadapi ancaman-ancaman baru ini, kerja sama yang komprehensif antar negara sangat dibutuhkan mengingat bahwa ancaman tersebut bersifat transnasional.
ADVERTISEMENT
Pandemi Covid-19 telah menjadi salah satu peristiwa kesehatan global yang paling kritis di abad ini. Pandemi Covid-19 bukan hanya merupakan masalah kesehatan global tetapi juga masalah politik, ekonomi, dan keamanan. Berdasarkan data dari WHO, tercatat lebih dari 600 juta kasus terkonfirmasi dan lebih dari 6 juta kematian di seluruh dunia. Berbagai kebijakan diberlakukan oleh pemerintah negara-negara di seluruh dunia seperti lockdown dan penutupan perbatasan. Lockdown menghasilkan efek yang parah terhadap ekonomi sementara penutupan perbatasan berdampak pada pergerakan orang dan barang lintas negara.
Hingga Februari 2020, isu mengenai Covid-19 tidak dianggap sebagai ancaman nyata oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah seolah-olah menjauhkan isu Covid-19 dari ranah keamanan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan pemerintah yang tidak membahas penyakit ini sebagai ancaman meskipun para ahli telah memperingatkan kemungkinan keberadaan penyakit ini di Indonesia. Kecenderungan untuk meremehkan penyakit ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki rasa akan krisis dan kemampuan untuk merespon krisis.
ADVERTISEMENT
Pada 27 Januari 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengatakan, “Pencegahan virus korona adalah dengan tidak panik dan resah, enjoy saja, dan makan secukupnya.” Dirinya juga mendiskreditkan penelitian yang dilakukan oleh Harvard T.H. Chan School of Public Health. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa virus corona seharusnya sudah ada di Indonesia tetapi tidak terdeteksi. Menko Polhukam Mahfud MD juga optimis terhadap kondisi Indonesia melalui pernyataannya, “Indonesia adalah satu-satunya negara besar di Asia yang belum memiliki kasus positif virus corona.”
Dalam menghadapi ancaman kesehatan ini, pendekatan ekonomi justru lebih dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia. Maskapai penerbangan domestik diminta untuk menawarkan tiket penerbangan yang lebih murah ke Bali, Bintan, dan Sulawesi Utara. Kemudian pada 25 Februari 2020, pemerintah memberikan diskon harga tiket pesawat serta membebaskan pajak hotel dan restoran. Di saat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan paket stimulus senilai Rp10,3 triliun yang berfokus pada sektor pariwisata, maskapai penerbangan, dan perumahan. Citra Indonesia yang aman dan stabil tampaknya ingin dijaga oleh pemerintah untuk meyakinkan investor.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan pemerintah, isu mengenai Covid-19 tidak sepenuhnya diabaikan. Sejak akhir Januari, pemerintah memasang 195 pemindai termal serta menyiapkan 100 rumah sakit yang akan digunakan untuk menangani pasien virus corona. Sebanyak 238 WNI dari Wuhan juga dievakuasi dan dikarantina oleh pemerintah pada awal Februari. Meskipun demikian, respons terhadap pandemi Covid-19 terbatas dan tidak proporsional dengan ancaman yang ditimbulkan dari Covid-19. Pengujian yang dilakukan terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Uji preventif terhadap populasi yang berisiko tidak dilakukan dan hanya fokus kepada pasien yang memiliki gejala.
Penemuan kasus pertama di Depok pada 2 Maret 2020 menjadi titik awal konstruksi isu Covid-19 sebagai sebuah ancaman. Akan tetapi, respons pemerintah masih tidak proporsional sehingga WHO menulis surat kepada Presiden Joko Widodo yang meminta Indonesia untuk mendeklarasikan keadaan darurat Covid-19 secara nasional. Status Indonesia sebagai negara dengan rasio kematian Covid-19 terburuk di dunia, yakni sebesar 8,67%, semakin meningkatkan persepsi ancaman terkait penyakit ini.
ADVERTISEMENT
Setelah pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang terdiri dari Kemenkes, TNI, dan Polri pada 13 Maret 2020, area penyebaran Covid-19 sengaja tidak diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo dengan maksud untuk tidak menyebabkan keresahan di masyarakat. Akan tetapi, area penyebaran pasien positif Covid-19 di Jakarta diungkapkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah juga mengumumkan bahwa ada 46 pasien yang berada dalam pengawasan Covid-19 di provinsi tersebut. Hal ini menunjukkan tidak kompaknya pendekatan yang diambil oleh pemerintah pusat dan daerah dalam menanggapi Covid-19.
Indonesia memang bukan negara maju, tidak memiliki sumber daya yang memadai dalam menangani isu kesehatan global. Akan tetapi, hal itu tidak bisa menjadi satu-satunya acuan. Amerika Serikat sebagai negara maju memiliki total pengeluaran kesehatan nasional yang fantastis, yakni sebesar 3,8 triliun USD pada tahun 2019. Amerika Serikat juga memiliki badan bernama Centers for Disease Control and Prevention (CDC) yang tujuan utamanya adalah perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat melalui pengendalian dan pencegahan penyakit. Meskipun demikian, Amerika Serikat menempati peringkat pertama sebagai negara dengan jumlah kasus dan jumlah kematian terbanyak di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Tidak berbeda jauh dengan Indonesia, Amerika Serikat juga terlalu optimis dalam menghadapi pandemi Covid-19. Presiden Trump memberikan pernyataan bahwa pandemi ini terkendali dan kasusnya akan menurun. Berbeda dari harapan, kasus virus corona di Amerika Serikat justru semakin naik. Pemerintah federal juga gagal dalam memberikan tanggapan yang memadai di negara-negara bagiannya. Tidak hanya itu, orang-orang di sana juga menyerukan penolakannya untuk memakai masker dan menerima vaksin. Apa yang terjadi di Indonesia dan Amerika Serikat menunjukkan pola yang sama. Kesadaran dan kemampuan dalam menghadapi pandemi masih terbilang minim.
Setelah berakhirnya Perang Dingin, dipercayai bahwa sistem internasional telah mengalami perubahan dari politik kekuasaan menuju kepada kolaborasi dan saling ketergantungan. Berbagai negara di seluruh dunia bekerja sama dalam memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, pandemi Covid-19 diharapkan mampu ditangani secara kolektif mengingat dampaknya secara global dan status negara-negara yang saling berhubungan. Hal ini berarti bahwa dalam menangani virus, negara-negara tidak hanya fokus terhadap diri mereka masing-masing tetapi juga terhadap dunia secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Harapan bahwa negara-negara berkolaborasi dalam menangani pandemi Covid-19 dihancurkan oleh realita. Bukannya memberikan kepemimpinan global, negara-negara terkemuka seperti Amerika Serikat dan Tiongkok justru terlibat dalam praktik anti-kolaborasi. Kontribusi keuangan Amerika Serikat kepada WHO ditahan oleh pemerintahan Donald Trump sementara Tiongkok menolak untuk membagikan data terkait dengan pandemi. Negara-negara yang tergabung dalam sistem politik terintegrasi seperti Uni Eropa bahkan menutup perbatasan mereka dan menolak untuk menawarkan dukungan. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan runtuhnya kolaborasi antar negara.
Kolaborasi secara multilateral kurang dapat ditunjukkan dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. Meskipun demikian, terjadi peningkatan dalam diplomasi kesehatan secara bilateral maupun regional. Selama masa pandemi, Tiongkok menyumbang perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD). Diplomasi kesehatan secara bilateral ini bahkan terjadi dari negara berkembang ke negara maju, seperti sumbangan Turki dan India ke Amerika Serikat yang sedang berada dalam puncak pandemi. Diplomasi kesehatan secara bilateral sejatinya tidak didorong oleh tujuan kemanusiaan tetapi untuk meningkatkan hubungan. Alih-alih mengutamakan hubungan global, hubungan bilateral dan regional justru akan membuat pandemi bertahan lebih lama dan memberikan efek yang lebih besar.
ADVERTISEMENT