Berdemokrasi Seperti Raja

Nurul Fatta
Penulis, Pemerhati Demokrasi dan Ekonomi Politik sekaligus Anggota Divisi Pendidikan Pemilih JPPR
Konten dari Pengguna
16 Juli 2022 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Fatta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto  milik probadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto milik probadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum lama ini masih segar dalam ingatan kita, ada seorang anak kiai menjadi tersangka kasus pencabulan santriwati. Sebut saja namanya Mas Bechi. Sejak 29 Oktober 2019, Mas Bechi sudah dilaporkan. Polda Jawa Timur pun mengambil alih kasus itu pada awal Januari 2020, namun Mas Bechi selalu mangkir dari panggilan. Malah justru menggugat Polda Jawa Timur karena tidak terima dengan status tersangka yang diberikan ke padanya. Mirisnya, sang ayah, membelanya. Meski pada akhirnya, Mas Bechi berhasil dijemput paksa.
ADVERTISEMENT
Sementara informasi lain yang juga menjadi perhatian publik datang dari pemerintah, yakni tentang RKUHP. Di mana Pemerintah tetap berupaya mempertahankan pasal penghinaan presiden dan turunannya dalam RKUHP tersebut, bahkan beberapa pasal lain yang sempat memicu demonstrasi besar-besaran sampai memakan 5 korban jiwa pada 2019 lalu, juga tetap dipertahankan. Jadi secara umum pasal penghinaan presiden itu menyatakan, siapa saja yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden, maka siap-siap dipidana.
Lantas apa hubungan dari kedua isu yang masih anget-anget pisang goreng itu? Memang sepintas tidak saling berkaitan, bahkan konteksnya pun berbeda. Akan tetapi, dari menu yang berbeda itu, keduanya memiliki masalah yang sama. Apa masalahnya?
Identifikasi Masalah
ADVERTISEMENT
Mari kita diagnosis masalahnya. Dalam kasus pencabulan itu, ada sikap-sikap keangkuhan yang ditunjukkan, baik dari Mas Bechi sendiri maupun dari sang Ayah. Mungkin mereka merasa memiliki kedudukan terhormat, mulia, tidak ingin nama keluarga tercoreng, atau tidak ingin nama baiknya terhina, sehingga masalah pencabulan terhadap santriwati ini dianggap sebatas masalah keluarga dan fitnah semata.
Faktanya, beberapa sikap tidak kooperatif dipertontonkan oleh Mas Bechi dan keluarga. Salah tiga di antaranya; tidak mau berhadapan dengan hukum; menggugat balik penegak hukum, yakni Polda Jatim; dan sikap sang ayah laksana “seorang raja” meminta Polisi tidak menangkap anaknya, dengan dalih demi keselamatan bersama dan kejayaan Indonesia. Bahkan meminta tidak melakukan pemaksaan agar tidak terjadi pertumpahan darah.
ADVERTISEMENT
Padahal, dalam kasus tersebut, menyangkut hak-hak orang lain (santriwati) yang diduga telah dirampas secara paksa oleh Mas Bechi. Di sini, terlihat seolah-olah mereka adalah “raja-raja kecil” yang memiliki aturan sendiri, dan setiap masalah apapun hanya dapat diselesaikan di ruang lingkup kerajaan mereka. Pihak luar tidak boleh ikut campur, bahkan pemerintah sekalipun. Wow, sangat monarkis! Jelas, cara mereka itu adalah bentuk sikap tidak demokratis.
Sedangkan dalam persoalan RKUHP, dengan kokohnya pemerintah mempertahankan pasal-pasal penghinaan, kritik dan turunannya itu, juga termasuk sikap angkuh para penguasa, demi alasan yang sama seperti kasus Mas Bechi, yakni demi kehormatan semata.
Padahal, dari yang saya baca di tempo.co, menurut Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), praktik-praktik pasal penghinaan terhadap figur kekuasaan sudah tidak berlaku di negara-negara demokratis. Sebagian negara demokrasi yang mempertahankan delik penghinaan terhadap figur kekuasaan adalah negara bersistem monarki.
ADVERTISEMENT
Lanjut, menurut PSHK, pasal penghinaan telah dihapus di banyak negara, seperti Prancis pada tahun 2013, dan Jerman di tahun 2017. Kalau pemerintah masih mempertahankan pasal penghinaan, itu berarti pemerintah, tokoh atau figur pemimpin bangsa ini cenderung anti-demokrasi.
Mungkin Anda menganggap tulisan saya mengulas soal keangkuhan? Atau soal kehormatan? Tidak. Kalau kita cermati ada satu poin masalah utama yang sama, dan itu penting bagi saya, entah Anda? Jadi, dari dua persoalan di atas menunjukkan bahwa demokrasi kita belum jauh bergeser lebih maju, justru mundur jauh ke belakang. Sebab masalah-masalah seperti kedua kasus di atas bersifat feodal dan monarki.
Sampai titik ini, saya ingin mengatakan bahwa pola pikir figur kekuasaan masih terkontaminasi budaya-budaya monarki. Baik itu kekuasaan yang bersumber dari instrumen rasional seperti presiden, maupun kekuasaan yang bersumber dari kultur dan patronase seperti kiai. Sehingga jika hal-hal demikian masih melekat pada figur kekuasaan dalam bentuk apapun itu, maka perjalanan panjang masih jauh untuk menuju demokrasi yang sehat, tanpa penyakit-penyakit kekuasaan monarki, yang cenderung otoriter.
ADVERTISEMENT
Sementara ini, tuan-tuan pemilik kekuasaan berupaya membentuk embrio demokrasi yang baru, berdemokrasi dengan cara-cara tidak demokratis (monarki). Sampai pada akhirnya, demokrasi hanyalah milik tuan-tuan penguasa.