Hilangnya Partisipasi Politik Perguruan Tinggi

Nurul Fatta
Penulis, Pemerhati Demokrasi dan Ekonomi Politik sekaligus Anggota Divisi Pendidikan Pemilih JPPR
Konten dari Pengguna
7 Juli 2022 14:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Fatta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto pribadi saat rapat pengawasan partisipatif di Bawaslu DKI Jakarta
zoom-in-whitePerbesar
Foto pribadi saat rapat pengawasan partisipatif di Bawaslu DKI Jakarta
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Kami punya ribuan peserta didik termasuk yang magang, dan tersebar di 28 titik di wilayah Indonesia. Tapi dalam hal kepemiluan, mungkin kami penyumbang golput terbanyak. Saya yakin mereka tidak tahu apa itu Bawaslu. Jangankan paham tentang pemilu, datang ke TPS saja belum tentu mau.”
ADVERTISEMENT
Dengan lantang, bait-bait kalimat itu meletup-letup dari lidah Ibu yang tidak sempat saya hafal namanya. Yang jelas, Ibu itu mewakili lembaganya, LP3I, dalam kegiatan rapat Pengawasan Pemilu Partisipatif di kantor Bawaslu DKI Jakarta, membeberkan rendahnya partisipatif politik di lingkungan lembaganya, pada 30 Juni kemarin.
Dalam kalimat Ibu LP3I itu, menyimpan pesan implisit yang berusaha disampaikan kepada Bawaslu, kasarnya dia seolah-olah ingin menyampaikan “ini loh tugasmu yang belum selesai wahai penyelenggara Pemilu”. Peserta lain menambahkan, ibu-ibu lagi, entah dari perguruan tinggi (PT) apa, dibantu microphone dengan vokalnya dia menegaskan “penyelenggara pemilu harusnya lebih masif lagi sosialisasi tentang kepemiluan, agar mahasiswa lebih melek pemilu. Sebab one vote one value, satu suara menentukan satu perubahan”. Ya memang benar!
ADVERTISEMENT
Tidak berhenti di situ. Masih dalam suasana jajak argumen dalam forum. Beberapa dosen dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ini, juga meminta bagaimana para mahasiswa ini terlibat langsung dalam proses Pemilu yaitu menjadi panitia Ad Hoc, untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian mahasiswa tehadap pemilu. Saya yakin, para pimpinan Bawaslu DKI saat itu, makin pusing dan bingung, karena banyak permintaan.
Menangkap arah pembicaraan sebagian dosen PTS itu, poinnya ingin menyampaikan, kalau tugas Bawaslu itu belum tuntas dalam memberikan pendidikan politik dan pendidikan pemilih di lingkungan kampus.
Namun bagi saya, peran untuk meningkatkan partisipasi politik, dalam hal ini baik memberikan pendidikan politik maupun pendidikan pemilih, tidak sepenuhnya tugas penyelenggara Pemilu. Ada NGO, ada partai politik, individu, lebih-lebih perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Perguruan tinggi seharusnya tidak menunggu lemparan bola konsolidasi dari penyelenggara Pemilu untuk terlibat dalam partisipasi politik. Setidaknya perguruan tinggi itu memiliki inisiatif tinggi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat kampus. Sebab perguruan tinggi ini merupakan lumbung strategis yang dapat meningkatkan partisipasi politik dan lahirnya bibit-bibit agen demokrasi. Sedangkan salah satu syarat terwujudnya demokrasi di sebuah negara adalah terselenggaranya Pemilu. Pemilu yang berkualitas ketika melahirkan pemimpin-pemimpin yang membawa keadilan dan kesejahteraan.
Pemimpin yang demikian hanya dapat terwujud ketika memiliki pemilih rasional dan kritis. Sedangkan sebagian pemilih rasional dan kritis tersebut berada di lingkungan masyarakat kampus. Jika perguruan tinggi tidak acuh terhadap tingkat partisipasi politik mahasiswanya, lantas apa peran lulusan-lulusan sarjana dalam proses konsolidasi demokrasi di masyarakat?
ADVERTISEMENT
Saya yakin tidak hanya di LP3I, ada banyak perguruan tinggi swasta bahkan PTN di Indonesia, baik yang sifatnya akademik (universitas dan institut) ataupun vokasi (akademi, politeknik, kursus keterampilan), yang minim tingkat partisipasi politik mahasiswanya. Pengecualian mungkin bagi sebagian mahasiswa sosial, politik dan hukum, serta mahasiswa yang aktif di organisasi kemahasiswaan dan organisasi kepemudaan (OKP) tentunya.
Untuk itu, hal di atas menjadi suatu masalah yang penting agar dipikirkan bersama. Bagi saya ada tiga elemen yang dapat berperan penting dalam meningkatkan partisipasi politik (baik pendidikan politik maupun pendidikan pemilih) di lingkungan perguruan tinggi swasta selain penyelenggera pemilu. Antara lain; pemerintah, kopertis, dan perguruan tinggi itu sendiri.
Pertama, hadirnya pemerintah. Setidaknya pemerintah memberi penekanan dalam bentuk kebijakan, sebagai upaya langkah awal meningkatkan partisipasi politik di lingkungan kampus. Kedua, kopertis—atau sekarang disebut LLDIKTI—ikut serta memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap perguruan tinggi swasta di wilayah kerjanya, dalam melaksanakan pendidikan politik. Ketiga, perguruan tinggi itu sendiri, paling tidak dapat memberikan pendidikan politik bagi setiap mahasiswa baru pada saat Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB).
ADVERTISEMENT
Jadi untuk memberikan pendidikan politik atau pendidikan pemilih di kampus, tidak perlu menunggu adanya pemilu. Masak iya, perguruan tinggi tidak mau tahu soal itu? Tugas kampus kan bukan hanya berlomba-lomba mendapatkan akreditasi ter-TOP, atau menyelenggarakan wisuda dengan mahasiswa terbanyak. Apa iya perguruan tinggi hanya melahirkan budak-budak politik. Ya paling tidak ikut mengawal jalannya demokrasi lah ya. Bagaimana?