Kekuasaan Otoritarianisme Tidak Akan Pernah Padam

Nurul Fatta
Penulis, Pemerhati Demokrasi dan Ekonomi Politik sekaligus Anggota Divisi Pendidikan Pemilih JPPR
Konten dari Pengguna
27 Februari 2022 14:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Fatta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam sebuah diskusi virtual yang diselenggarakan forum Demokrasi Asia, Andrew Nathan, Profesor Ilmu Politik Universitas Columbia, menyatakan bahwa dorongan-dorongan kekuasaan menuju sebuah otoritarianisme pada dasarnya tidak akan pernah padam.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini mengusik rasa ingin tahu saya sebagai aktivis pro demokrasi. Benarkah demikian? Apa maksudnya? Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Otoritarianisme
Sebagian dari kita sudah tidak asing dengan otoritarianisme, yakni biasa disebut dengan politik otoriter. Di mana dalam pemerintahan ini, kekuatan pada bidang politik terkonsentrasi terhadap seorang pemimpin. Sedangkan salah satu ciri pemerintahan yang otoriter yakni tidak menghargai HAM (Hak Asasi Manusia).
Dalam konteks Indonesia, seperti yang disampaikan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), ada tiga pola kebijakan yang menunjukkan pemerintah saat ini bersifat otoriter. Pola-pola itu di antaranya, menghambat kebebasan sipil, mengabaikan hukum yang berlaku, dan berwatak represif dengan cara pendekatan keamanan. Bahkan YLBHI mencatat ada 27 kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter sejak 2014 sampai 2020.
ADVERTISEMENT
Catatan di atas bukan untuk mendistorsi kebijakan pemerintah. Faktanya bisa kita lihat sendiri, kelemahan yang signifikan pada aspek demokrasi di Indonesia adalah sedikit penghormatan terhadap kebebasan dan hak-hak sipil. Seperti kasus diskriminasi terhadap warga yang mengkritik pemerintah.
Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat fakta itu. Misal kasus baru-baru ini, penangkapan terhadap 64 warga Wadas, Purworejo (baca: Wadas) oleh aparat kepolisian, lantaran menolak penambangan batu andesit untuk Bendungan Bener.
Belum usai konflik di Wadas, di tempat lain terjadi penembakan seorang demonstran yang menolak tambang emas PT Trio Kencana di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Tindakan-tindakan di atas seperti pelibatan aparat keamanan, merupakan cara-cara yang tidak demokratis. Hal itu sangat cukup dijadikan alasan untuk bersikap selalu kritis terhadap penguasa rezim ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai individu yang berhak hidup bebas, sudah selayaknya kita mempertahankan demokrasi. Dalam upaya mempertahankan keutuhan hak asasi manusia. Sebab hak asasi manusia merupakan kebutuhan setiap individu.
Demokrasi, HAM dan Kebutuhan
Ada sebuah argumen bahwa HAM dan demokrasi adalah ide-ide Barat. Argumen tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebab pada dasarnya HAM dan demokrasi adalah kebutuhan setiap individu. Siapa pun, di mana pun setiap individu butuh kebebasan, butuh keamanan, butuh pengakuan atas hak-hak yang dimiliki dan semacamnya.
Seorang demonstran penolak tambang tadi berani turun jalan, menolak adanya penambangan, karena mereka butuh penghormatan atas hak-haknya. Mereka butuh didengarkan suaranya. Mereka butuh keamanan dalam menyampaikan pendapatnya. Mereka berani melakukan protes karena ada jaminan kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi. Di sini jelas, bahwa HAM dan demokrasi adalah kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, disampaikan juga oleh Andrew Nathan. Ia mengatakan, siapa pun yang belajar dan berpartisipasi dalam gerakan hak asasi manusia dan demokrasi ini, tidak sedang terlibat dalam neokolonialisme kontemporer, yang memaksakan nilai-nilai Barat kepada masyarakat lain. Sebab HAM dan demokrasi bukan hanya milik Barat.
Misal, kemenangan Taliban di Afghanistan tidak bisa diinterpretasikan bahwa budaya Afghanistan tidak mendukung HAM dan demokrasi, atau dimaknai sebagai upaya pemaksaan budaya Barat yang gagal. Masyarakat Afghanistan tidak berbeda dengan orang-orang di tempat lain. Dalam keinginan mendasar mereka, sesungguhnya orang Afghanistan ingin kebebasan individu baik dalam berpikir, berpendapat dan menulis, serta dihormati martabat setiap individu oleh yang berwenang.
Meski HAM dan demokrasi adalah kebutuhan, dapat kita saksikan banyak orang di dunia bahkan di Indonesia, untuk sementara waktu takut menuntut hak-haknya lantaran sering disakiti atau tidak mendapat keamanan dari sebuah penindasan.
ADVERTISEMENT
Kewaspadaan
Banyak politisi berkuasa hanya ingin mengendalikan segalanya, hanya beberapa saja yang berkuasa mencoba untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Tak sedikit politisi kita yang terdorong untuk memiliki kekuasaan yang permanen.
Maka dari itu harus senantiasa waspada. Kewaspadaan bisa dilakukan dengan berpartisipasi dalam politik. Sedangkan berpartisipasi ke dalam politik bisa dilakukan dengan cara bergabung ke partai politik atau menjadi bagian dari civil society.
Melalui dua pintu demokrasi itu, kita bisa berupaya mencegah otoritarianisme dan sifat dorongan kekuasaan menuju permanen tadi. Tentu pertempuran ini membutuhkan waktu yang sangat panjang. Karena ini bukan pertarungan yang sekali pukul mendapat kemenangan. Bukan pertarungan seperti yang kita ketahui dalam film-film, yang berakhir dengan sebuah kemenangan.
ADVERTISEMENT
Meskipun merasa bahwa kita ini adalah pihak yang lebih lemah dalam pertempuran ini, karena melihat pihak lain memiliki kekuatan yang besar. Kita tetap berupaya berjuang melawannya, melindungi individu dari manusia lain yang memiliki dorongan kekuasaan permanen.
Kita tidak tahu kapan dorongan-dorongan otoritarianisme kekuasaan akan pergi. Yang jelas sikap kritis pada setiap rezim tetap dibudayakan. Cepat atau lambat akan ada peningkatan perlawanan terhadap penindasan. Sebab reformasi bukan the end of history dari kemenangan terhadap rezim otoriter di Indonesia.