Menggugat Minimal Usia Penyelenggara Pemilu

Fathin Robbani Sukmana
Penulis dan Pengamat Kebijakan Publik, Manajer Riset, Publikasi dan Media di Seknas LS-VINUS
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2021 10:55 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathin Robbani Sukmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penyelenggara Pemilu || Sumber : Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penyelenggara Pemilu || Sumber : Kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Sulit untuk masuk penyelenggara pemilu jika masih muda.”
Inilah beberapa curhatan teman-teman saya yang fokus dalam penyelenggaraan pemilu. Mereka aktif menjadi “pembantu” penyelenggara pemilu di lingkungan masing-masing sejak usia 17 tahun. Paling tidak, mereka pernah menjadi KPPS dan juga petugas quick count di beberapa lembaga survei hingga masuk di lembaga-lembaga pemantau pemilu.
ADVERTISEMENT
Di negara +62, diskriminasi usia selalu terjadi di banyak lembaga swasta ataupun pemerintah. Padahal produktivitas dan kompetensi tidak selalu ditentukan oleh berapa usia seseorang. Khususnya produktivitas dalam bekerja.
Dalam dunia industri swasta, kebanyakan perusahaan menetapkan usia muda untuk menjadi buruh, tidak jarang beberapa posisi profesional juga diharuskan berusia kurang dari 30 tahun. Sebut saja, untuk posisi level manajer dengan usia di bawah 30 tahun dengan pengalaman 3-5 tahun di posisi yang sama.
Untuk di dunia pemerintahan justru sebaliknya, banyak jabatan fungsional yang “diobral” dengan syarat usia di akhir masa muda. Misalnya jabatan level kepala dinas, komisioner diharuskan minimal usia 35-45 tahun.
Padahal menurut Badan Pusat Statistik menyatakan usia produktif bekerja adalah penduduk yang merupakan angkatan kerja berusia 15 hingga 64 tahun. Tentu ini menjadi catatan tersendiri dalam membatasi usia untuk menduduki jabatan tertentu di lembaga pelat merah ataupun pelat hitam
ADVERTISEMENT

Alasan yang Tidak Berdasar

Beberapa hari yang lalu, di grup whatsapp yang saya ikuti, tersebar surat usulan tim seleksi calon anggota penyelenggara pemilu baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berisi beberapa nama usulan. Karena yang menurut saya namanya familiar di masyarakat. Munculnya surat tersebut karena jika dilihat menurut jadwal, masa jabatan KPU dan Bawaslu akan berakhir pada 11 April 2022.
Dinamika pemilihan tim seleksi hingga seleksi komisioner penyelenggara pemilu selalu menjadi sorotan masyarakat khususnya bagi para pengamat pemilu. Pengawalan dalam proses awal ini hingga ditetapkan menjadi komisioner agar kita dapat menyelenggarakan pemilu yang berkualitas, maka perlu juga dipilih orang-orang yang berkualitas.
Tetapi, saya sangat menyayangkan, banyak para aktivis serta pengamat pemilu yang gugur terlebih dahulu bahkan sebelum seleksi dilakukan. Ya, karena mereka terbentur dengan persyaratan minimal usia calon komisioner.
ADVERTISEMENT
Dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 pasal 15 ayat 1 huruf b bertuliskan syarat calon anggota KPU minimal 40 tahun, lalu syarat calon anggota KPU Provinsi 35 tahun dan calon anggota KPU Kabupaten/Kota 30 Tahun.
Sedangkan, pasal 101 ayat 1 huruf B dalam Undang-undang yang sama bertuliskan syarat calon anggota Bawaslu minimal 40 tahun, calon anggota Bawaslu Provinsi 35 tahun serta syarat calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota 30 tahun. Sedangkan untuk Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) hingga Pengawas TPS (PTPS) minimal 25 tahun.
Syarat-syarat usia tersebut menurut saya tidak berdasar dan tidak mengakomodir anak-anak muda, karena syarat usia yang tercantum terlalu tinggi. Apalagi untuk Panwascam hingga PTPS minimal usia yang ditentukan sangat tinggi. Padahal di jajaran paling bawah KPU atau petugas KPPS bisa diisi penduduk yang berusia 17 tahun.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi usia ini seakan tidak mempercayai anak muda untuk duduk sebagai Anggota penyelenggara pemilu. Bahkan syarat usia dalam undang-undang sebelumnya tetap masih belum mempercayai anak-anak muda memimpin lembaga pesta demokrasi 5 tahunan.
Padahal saat ini, banyak anak-anak muda yang memiliki kompetensi untuk duduk sebagai pemimpin di dalam penyelenggara pemilu. Jika, syarat usia ini tidak direvisi, dampaknya akan menghambat regenerasi di dalam jajaran penyelenggara pemilu.
Lalu, KPU dan Bawaslu menurut saya akan sedikit tertinggal dari lembaga negara lain dalam hal regenerasi. Jika kita lihat di DPR, staf kepresidenan bahkan pembantu presiden diisi oleh anak-anak muda yang berbakat dan berkompetensi.

Jangan Meragukan Anak Muda

Penentuan usia minimal untuk menempati suatu jabatan di lembaga negara memang tidak diatur secara rinci. Lalu. Setiap lembaga berhak menentukan batasan usia dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kompetensi.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam pembatasan usia penyelenggara yang terlalu tinggi dapat menghambat anak-anak muda yang memiliki banyak inovasi di berbagai bidang, salah satunya adalah dalam kinerja penyelenggara pemilu.
Saat ini, rentang usia 21-23 sudah banyak sarjana-sarjana yang memang berminat dan berfokus pada kegiatan pemilihan umum. Bahkan tidak sedikit juga yang sudah menjadi lulusan magister yang memiliki konsentrasi terhadap Kepemiluan dan demokrasi.
Kemampuan anak muda, bisa saja dapat berdampak baik untuk perubahan besar penyelenggara pemilu, entah itu dari segi intelektual, kompetensi, kinerja di lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum atau Badan Pengawas Pemilu.
Salah satunya, mencegah perilaku transaksional di jajaran penyelenggara pemilu. Ini bisa dilihat dari Indeks Perilaku Anti Korupsi tahun 2020 yang diterbitkan oleh BPS menuliskan penduduk berusia 40 tahun ke bawah memiliki nilai 38,5. Nilai ini merupakan nilai tertinggi di antara usia lain pada tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Tentu, kita tidak ingin kembali melihat Komisioner KPU terciduk oleh KPK. Dengan melihat nilai Indeks Perilaku Anti Korupsi seharusnya penduduk berusia di bawah 40 tahun diberi kesempatan untuk mencalonkan sebagai Anggota KPU dan Bawaslu di tingkat pusat.
Selanjutnya, penduduk usia muda memiliki kemampuan berpikir kritis, sehingga dapat menegakkan keadilan bagi seluruh elemen yang berpartisipasi dalam pemilu. Setidaknya dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang biasa terjadi di dalam setiap pemilu.
Lalu, penduduk usia muda bisa lebih energik untuk turun langsung ke lapangan dan menyosialisasikan peraturan-peraturan agar masyarakat dapat memahami pentingnya melaksanakan hak pilih mereka untuk memilih dalam pemilu yang akan datang.

Anak Muda Membawa Perubahan

Saat ini, Indonesia sedang mengalami bonus demografi, di mana penduduk usia produktif lebih banyak hidup mewarnai kemajuan serta perubahan bagi bangsa Indonesia. Maka para pemegang kepentingan harus memikirkan lembaga penyelenggara pemilu di masa depan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengubah syarat usia, memang harus ada revisi Undang-undang Kepemiluan. Saya yakin wakil rakyat di DPR sudah bisa membaca situasi bonus demografi dan harus memiliki keberanian untuk mengusulkan perubahan syarat usia dalam UU Pemilu.
Saya membayangkan, jika usia syarat anggota KPU dan Bawaslu diturunkan menjadi 30 tahun untuk tingkat pusat, 27 Tahun untuk tingkat provinsi, serta 24 tahun untuk tingkat Kabupaten/Kota akan berdampak pada semangat anak muda untuk berlomba-lomba memperkuat intelektual mereka untuk menjadi Anggota KPU/Bawaslu yang bertujuan untuk memperbaiki sistem kepemiluan yang ada.
Lalu jajaran Bawaslu dari tingkat kecamatan hingga TPS usia dapat diturunkan menjadi minimal 20 tahun untuk kecamatan dan desa, serta 17 tahun untuk PTPS, tidak ada lagi kegalauan karena sulit mencari para petugas di jajaran bawah.
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan jika anak-anak muda duduk sebagai Anggota Penyelenggara Pemilu, dengan keberanian mereka bisa meminimalisir pelanggaran, meningkatkan kesadaran pentingnya memilih dalam Pemilu sehingga perubahan dalam sistem kepemiluan dan kepemimpinan di Indonesia bisa terlihat walaupun secara perlahan-lahan.
Fathin Robbani Sukmana, Peneliti DEEP Indonesia