Artidjoisme dan Rasa Kemanusiaan Terpidana

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
4 Maret 2021 12:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anggota Dewas KPK Artidjo Alkostar dalam Konferensi pers kinerja Dewas KPK Tahun 2020. Foto: Dok. Humas KPK
zoom-in-whitePerbesar
Anggota Dewas KPK Artidjo Alkostar dalam Konferensi pers kinerja Dewas KPK Tahun 2020. Foto: Dok. Humas KPK
ADVERTISEMENT
Artidjo Alkostar, mantan hakim MA, kini telah tiada. Beliau meninggal sehari sebelum hari kehakiman. Testimoni dari berbagai pihak bertebaran. Timeline juga dipenuhi heroisme almarhum selama menjadi hakim. Artidjo dikenal tegas, keras, dan tak berbelas kasih terhadap narapidana yang berkasnya mampir di mejanya.
ADVERTISEMENT
Tak berbilang koruptor yang diperberat hukumannya ketika berkas banding melipir di meja kerjanya. Anas Urbaningrum dan Ratu Atut adalah salah dua nama yang menjadi “korban” atas putusannya. Jabatan akhir Artidjo sendiri pascapensiun adalah anggota Dewan Pengawasa KPK. Artidjo mendapat tempat yang “sempurna” di mata aktivis antikorupsi pada umumnya.

Vonis Artidjo pada kasus narkoba

Kalau kita melongok pada kasus-kasus narkoba, catatan keras Artidjo juga bertebaran. Artidjo tentu sosok hakim yang dihindari oleh jaringan sindikat narkoba. Namun, kerasnya Artidjo atau “Artidjoisme” tidak selalu diamini dan selaras dengan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan.
Pada momen eksekusi mati oleh Kejaksaan Agung pada Juli 2016 lalu, Kejaksaan Agung telah menyiapkan 14 orang yang telah divonis hukuman mati oleh hakim. Mereka telah masuk sel isolasi dan telah dipersiapkan secara sempurna untuk dilakukan eksekusi mati.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata Kejaksaan Agung hanya mengeksekusi 4 dan meloloskan 10 orang dari eksekusi tersebut. Satu dari orang yang semestinya dieksekusi hukuman mati adalah “petelur” Okonkwo Nonso Kingsley.
Warga negara Nigeria ini tidak dapat mengelak saat anjing pelacak berhasil mengendus isi perutnya yang telah diisi 1,1 kg heroin. Dia lolos dari deteksi X-ray, tapi tidak dari K-9 yang menyalak tiada henti.
Okonkwo, pada 4 Mei 2004, mendapatkan vonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan. Putusan yang menimpa Okonkwo kemudian diperkuat Pengadilan Tinggi (PT) Medan pada 16 Agustus 2004. Okonkwo tidak menyerah dan mengajukan banding. Namun, vonis hukuman mati kembali dijatuhkan pada 16 Februari 2006.
Okonwo adalah pejuang tangguh, setelah segala daya disiapkan, Okonkwo memanfaatkan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK) pada satu dasawarsa kemudian. Sialnya, Okonkwo harus berhadapan dengan ketua majelis hakim bertangan besi, Artidjo Alkostar. Dengan mantap, Artidjo bersama dua hakim agung lainnya berkeyakinan bahwa hukuman mati kepada Okonkwo adalah tepat dan benar.
ADVERTISEMENT
Okonkwo kemudian dipersiapakan menjadi rombongan yang akan dieksekusi hukuman mati bersama 13 orang lainnya. Kegigihan Okonkwo tampaknya dijawab Tuhan dengan takdir Okonkwo tidak dikeluarkan dari ruang isolasi. Bersama 9 orang lainnya, Okonkwo masih dapat bernafas. Sementara empat lainnya tereksekusi dengan sempurna.
Yang menarik, HM Prasetyo, Jaksa Agung saat itu, memberikan alasan mengapa melakukan penundaan terhadap 10 orang lainnya untuk dilakukan eksekusi mati dengan sarat makna "tidak semua yang benar itu baik, dan yang baik itu tidak selamanya benar". Pernyataan HM Prasetyo tersebut menjadi vis a vis dengan putusan keras Artidjo. HM Prasetyo menolak “Artidjoisme”.
Saya sendiri tidak selalu sepakat dengan pendekatan “Artidjoisme” bahwa hukuman harus keras dan tegas. Aspek manusiawi dan rasa keadilan, khususnya bagi pelaku juga sisi manusiawi yang harus terisi. Jika semua hakim bertangan besi, maka peluang kesalahan putusan hakim pun besar.
ADVERTISEMENT

Menilik Putusan Artidjo pada Li Lin Fei

Saya mengikuti dengan detail kasus yang menimpa Li Lin Fei pada tahun 2014 hingga 2015. Li Lin Fei ditangkap oleh BNN bersama Chen Weibiao di daerah Jakarta Utara dengan barang bukti berupa 140 kg sabu yang dikirim dari Tiongkok.
Li divonis bebas oleh PN Jakarta Utara sementara temannya, Chen Weibiao divonis hukuman mati. Hakim berpendapat jika Li tidak bersalah dalam kasus tersebut. Peran Li yang menerima paket dari Tiongkok di rumah Chen tidak cukup menguatkan bahwa Li mengetahui apalagi terlibat. Tidak ada bukti lain yang menunjukkan bahwa Li sesuai dengan tuntutan jaksa.
Sesuai dengan norma yang berlaku, penuntut umum melakukan upaya banding langsung kepada MA agar Li dihukum mati, serupa dengan Chen. Majelis hakim MA yang dipimpin Artidjo kemudian menerima banding penuntut umum, membatalkan putusan hakim di tingkat PN dan Li dinyatakan bersalah dan pantas dihukum mati.
ADVERTISEMENT
Apakah Li pantas menerima hukuman mati tersebut. Apakah Li sejahat itu sehingga nyawanya harus diselesaikan di depan regu tembak. Menurut saya, hukuman keras model “Artidjoisme” tidak selalu tepat. Jika Li dalam kasus ini memenuhi unsur pasal pidana dalam Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika, belum tentu vonis Li sesuai dengan kebenaran yang hakikat.
Kesalahan Li yang jelas adalah dia kehabisan uang dan menghubungi Chen sehari sebelum paket narkoba tersebut tiba. Padahal, menurut Li, keesokan harinya adalah jadwal Li kembali ke Tiongkok.
Perasaan hakim bukan perasaan Tuhan. Hakim, termasuk Artidjo bisa saja kurang tepat atau salah dalam memvonis seseorang. Sebagaimana adagium klasik yang dianut hakim-hakim di seluruh dunia “lebih baik membebaskan 1.000 (seribu) orang yang bersalah, daripada menghukum 1 (satu) orang yang tidak bersalah.”
ADVERTISEMENT
Adagium tersebut selaras dengan asas in dubio pro reo yang pertama kali ditemukan dalam risalah seorang ahli hukum dari Milan, Egidio Bossi (1487-1546). Asas tersebut tampaknya tidak berarti bagi Li padahal hakim di PN Jakarta Utara sebelumnya telah membebaskannya dari semua tuntutan. Li bukan kembali pulang ke Tiongkok, tapi harus antre dalam daftar terpidana hukuman mati. Asas “Artidjoisme” harus bersanding dan berbanding dengan asas in dubio pro reo, agar rasa kemanusiaan terpidana dapat terpenuhi.
Keteguhan dan tegasnya putusan-putusan almarhum harus dimaknai dengan jeli dan benar agar kemanusiaan dan keadilan dapat dirasakan oleh segenap manusia, termasuk terpidana. Lahuu Alfatihah.