news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Belajar dari Mbah Kadiyo: Mewariskan yang Bersisa

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
16 Mei 2022 8:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi ayah dan anak sholat. Foto: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi ayah dan anak sholat. Foto: freepik.com
ADVERTISEMENT
Namanya mbah Ran, entah siapa nama panjangnya. Dia adalah seorang perantau yang berasal dari Bandung. Setibanya di desa Kuncen dia langsung membuka usaha kerupuk yang diracik dari tepung tapioka, bawang putih, dan racikan rahasia lainnya. Rasanya yang gurih membuat pasar terbuka lebar atas produksinya.
ADVERTISEMENT
Sebagai pendatang yang berasal dari tanah Sunda, mbah Ran muda datang dengan kekentalan logat sundanya. Cara memanggil mbah Ran dengan menggunakan kata kadiyeu yang berarti ke sini akhirnya teridentikkan dengannya. Jadilah mbah Ran memiliki panggilan gelar mbah Kadiyo lantaran di Jawa Timur tidak mengenal huruf “eu” dan menggantinya dengan huruf “o”.
Sampai-sampai orang-orang di Desa Kuncen dan sekitarnya tidak tahu lagi siapa nama lengkapnya karena dua nama yang tersemat yaitu mbah Ran dan mbah Kadiyo sudah cukup banyak.
Mbah Kadiyo menggeliatkan Desa Kuncen dan sekitarnya. Usaha kerupuknya maju pesat, menyerap karyawan dan menjadi alternatif pekerjaan tetangga. Perdagangan memang menjadi pekerjaan utama warga Desa Kuncen selain bidang pekerjaan formal perkantoran.
Dengan telaten, mbah Kadiyo mengajarkan karyawannya bagaimana membuat kerupuk yang berkualitas. Meracik tepung tapioka dengan racikan bumbu khas-nya membuat kerupuk klenteng mbah Kadiyo terasa cocok sebagai sajian pelengkap ragam warung makanan di sekitar Bojonegoro dan Cepu. Cuaca panas sepanjang tahun di daerah Bojonegoro memang menjadi berkah tersendiri karena kerupuk menjadi mudah kering sempurna.
ADVERTISEMENT
Kerupuk yang gurih dan renyah menjelajah di puluhan atau ratusan warung. Sarapan pecel tidak lagi hanya bersanding peyek, ada kerupuk mbah Kadiyo di warung-warung pecel. Penjaja bakso dan mie ayam, warung nasi padang, dan warung-warung nasi kelontong berisi kerupuk mbah Kadiyo.
Di tengah puncak kesuksesan produksi kerupuknya, mbah Kadiyo meninggal dunia di medio tahun 90-an. Tampaknya anak keturunan mbah Kadiyo tidak terwarisi keahlian memproduksi dan mengelola perusahaan kerupuk. Jiwa bisnis juga tidak mengalir dengan baik kepada darah dagingnya. Perlahan, perusahaan kerupuk garapan almarhum mbah Kadiyo melemah dan bahkan tutup.
Mbah Kadiyo memang gagal mewariskan cara memproduksi kerupuk dan mengelola perusahaan kerupuk kepada anak-anaknya. Namun, kemampuan memproduksi kerupuknya terwarisi kepada karyawan-karyawannya dengan cukup baik. Alhasil, mantan-mantan karyawannya kini memproduksi kerupuk dalam skala sedang. Tidak sebesar mbah Kadiyo.
Kerupuk. Sisa amal jariah. shutterstock.com
Mbah Kadiyo tetap dianggap berhasil beramal jariah kepada masyarakat sekitar. Sampai hari ini, kerupuk-kerupuk masih diproduksi walaupun bukan oleh anak-anaknya. Saya sendiri kenal dengan salah satu anaknya. Tentu saja usianya sudah sepuh. Namanya mbah Sumari.
ADVERTISEMENT
Saya mengenalnya sebagai muazin, pembaca sholawat dan puji-pujian di antara azan dan ikamah. Sekaligus imam di sebuah langgar yang terbuat dari paduan tembok dan bambu. Langgar yang dibangun oleh kakek dari istri saya. Jamaah langgar juga terbatas kepada beberapa rumah di sekitaran langgar. Langgar ini begitu ramai di bulan Ramadan. Tapi sepi setelahnya.
Seperti biasa, saya terbangun sesaat azan berkumandang dari beberapa masjid atau musala di sekitaran tempat tinggal. Juga seperti biasa, tiga anak laki-laki dibangunkan untuk turut salat subuh. Mereka tampak susah untuk bangun karena memang baru tiba setelah 12 jam perjalanan darat Jakarta – Bojonegoro.
Ada yang kurang dari suara-suara azan tadi. Suara khas kakek-kakek tua yang kerap kali membangunkan kami saat di rumah keluarga istri. Ketika sampai di langgar, ternyata kakek muazin tersebut tidak ada. Hanya ada beberapa ibu-ibu sepuh yang masih bertali-temali dengan keluarga istri.
ADVERTISEMENT
Saya didaulat menjadi imam secara otomatis karena menjadi laki-laki dewasa tertua. Selepas salat, saya baru sadar kalau kakek muazin yang dicari tersebut sudah tiada. Masa hidupnya sudah purna. Menyusul mbah Kadiyo, ayahnya yang telah pergi sekira dua puluh tahun lalu.
Zuhur dan asar pun sepi. Hanya ada saya dan tiga anak laki-laki. Magrib biasanya cukup ramai. Selain pria dewasa juga ada anak-anak. Mereka memeriahkan dengan puji-pujian di antara waktu azan dan ikamah. Saya jadi ingat ratusan purnama lalu saat masih seumuran mereka, berebut mik untuk azan, puji-pujian dan ikamah.
Biasanya kami tinggal di kampung tidak lebih dari seminggu. Pertanyaan ibu-ibu sepuh yang kerap muncul adalah kapan datang dan kapan kembali ke Jakarta. Mereka terlihat sumringah saat kami datang lalu bersedih saat kami hendak pamit pulang. Katanya, langgarnya jadi kembali sepi. Tidak ada laki-laki yang secara rutin mengimami katanya. Kalau sudah seperti itu, maka salah satu dari ibu-ibu sepuh tersebut terpaksa menjadi imam.
ADVERTISEMENT
Cerita langgar sepi tersebut bukan hanya di desa asal kampung istri saya. Ada langgar atau musala lain yang juga bernasib serupa. Cerita sahabat almarhum bapak mertua di desa tetangga juga menggambarkan nasib serupa. Salah satu langgar bahkan tampak tak terurus, berdebu, dan menjadi sarang laba-laba. Penyebabnya adalah karena sang imam telah tiada. Sementara regenerasi tidak berjalan dengan baik.
Tampaknya, kita tetap perlu belajar dari mbah Kadiyo. Mewariskan sesuatu dari yang bersisa. Walau mbah Kadiyo terkesan gagal mewariskan kepada anak-anaknya, tapi Mbah Kadiyo sukses mewariskan sisa-sisa keahliannya dalam memproduksi kerupuk kepada karyawannya. Ada amal jariah dari apa yang mbah Kadiyo lakukan.
Begitu juga ketika mbah Kadiyo berhasil mendidik anaknya untuk menjadi penyeru kebaikan, penyeru salat, pelantun salawat dan pujian, dan menjadi imam bagi ibu-ibu sepuh jamaah langgar di kampungnya.
ADVERTISEMENT
Semoga, sepeninggal mbah Sumari, ada keturunan lain dari mbah Kadiyo untuk menjadi penerus kebaikan-kebaikannya. Sebagaimana kutipan doa dari Surat Al-Furqan yang senantiasa diucapkan kita di tiap selesai salat “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”