Bermimpilah! Karena Mimpi adalah Gratis

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
4 April 2021 9:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saat presentasi dalam acara Pre Departure Orientation di gedung sekretariat ASEAN. Foto: ig AMINEF-Fulbright
zoom-in-whitePerbesar
Saat presentasi dalam acara Pre Departure Orientation di gedung sekretariat ASEAN. Foto: ig AMINEF-Fulbright
ADVERTISEMENT
Salah satu mimpi dalam list perjalanan hidup saya adalah mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri, apapun bentuknya. Setelah beberapa kali mendapatkan kesempatan mengikuti berbagai training singkat di luar negeri, berikutnya adalah berupaya meraih program beasiswa dengan durasi bulanan atau tahunan.
ADVERTISEMENT
Setelah gagal dalam seleksi beasiswa yang diselenggarakan pemerintah Amerika Serikat di Bonn, Jerman, saya tidak berhenti mencari yang lain. Seorang teman menginformasikan adanya seleksi beasiswa Fulbright US-ASEAN Visiting Scholar Initiative. Beasiswa penelitian di Amerika Serikat untuk negara-negara ASEAN.
Akhirnya saya selesai untuk submit beberapa dokumen termasuk proposal penelitian (project statement). Saya bolak-balik mengecek inbox email, akhirnya undangan wawancara itu datang, rasa senangnya tak terkira sekaligus deg-degan. Saya lihat, ada dua peserta lain yang juga diwawancara di hari yang sama. Entah di hari yang lain.
Undangan wawancara, moment menentukan
Pada hari H wawancara, Ibu Rianti, petugas senior dari AMINEF-Fulbright yang bertugas sebagai host, memanggil saya dan memberitahu agar menjawab dengan singkat, padat, dan tidak bertele-tele. Jawab dengan jelas. Juga perkenalkan diri dengan singkat, jawab apa yang ditanya dan jelaskan apa yang diminta. Ibu Rianti kemudian menutup dengan pertanyaan, “Jelas pak Maman?” “Yes, It is clear, Thanks!!”
ADVERTISEMENT
Saya memasuki ruangan ber-AC, meja wawancara berbentuk persegi panjang. Terdapat satu kursi kosong di sisi panjang kanan. Ibu Rianti yang berposisi sebagai host, berada di sisi pendek sebelah kiri. Pewawancara duduk di sisi panjang kiri, menghadap fokus kepada mangsanya. Dua dari mereka adalah orang Indonesia, sementara dua lainnya adalah bule Amerika. Saya terperangah, mengira jika hanya diwawancarai satu orang.
Segala rencana untuk mendeskripsikan apa yang tertera dalam project statement menguap di sedot AC 1 PK ruangan ini. Host kemudian membuka acara, sementara saya masih terduduk kaku, membatu seperti manusia melihat hantu. Saya berusaha senyum atau malah menjadi cengar-cengir, macam anak seribu pulau ditanya turis bule.
Ibu Rianti membuka acara dengan Bahasa Inggris yang canggih, fluent. Mendengar suaranya tampak renyah, seperti peyek yang baru diangkat dari penggorengan. Dia mengenalkan satu-satu dewan penguji di depan saya. Satu orang perempuan, berjilbab dengan mode kekinian, baju yang tampak ceria, berwarna-warni. Dia adalah alumni Fulbright, peroleh gelar S3 di Amerika Serikat. Karena gugup, saya tak sanggup mengeja asal kampusnya, pokoknya Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Berturut-turut, di sampingnya adalah seorang peneliti dari Harvard, seorang mahasiswa di kampus super keren itu. Bagi orang udik macam saya, mendengar kata Harvard saja membuat perut melilit, sakit. Membayangkan otak encernya seperti apa. Gayanya khas orang barat, memakai kaos berkerah, celana jeans, model sepatu gunung warna coklat, tas ransel, dan tumbler ukuran besar ditenteng dengan ringan. Entah kalimat apa yang akan keluar darinya, mengerikan untuk dibayangkan.
Di samping peneliti Harvard adalah pak Alan H. Feinstein, bos AMINEF. Tampangnya ramah, rambut putihnya bersahaja, kaca matanya menunjukkan kelasnya, betapa orang bule yang satu ini akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tajam tentang sepenting apa tema yang anda ajukan untuk dilakukan penelitian di Amerika Serikat. Begitulah dugaan saya seperti yang diceritakan oleh para “korban” pelamar beasiswa Fulbright.
ADVERTISEMENT
Pewawancara berikutnya adalah sosok wanita paruh baya, mengenakan pakaian yang simpel, aktivis sosial, rambutnya terurai tanpa diikat. Tampangnya serius, tampak sulit tersenyum. Mungkin, perlawanan atas ketidakadilan yang dihadapinya membuatnya beradaptasi seperti itu. Entah, ibu aktivis ini akan bertanya soal apa.
Kalaulah mungkin, kabur dari ruangan ini tampaknya menjadi pilihan logis. Tapi, itu tidak mungkin. Wawancara adalah penentu lulus tidaknya seleksi ini.
Sing penting yakin
Ibu Rianti kemudian mempersilahkan saya untuk mengenalkan diri dan menyampaikan gagasannya sesuai dengan project statement yang telah saya buat.
Saya memundurkan kursi putar yang saya tempati, mencoba mengambil jarak, agar dapat memandang semua pewawancara, mengulur waktu beberapa detik, menarik nafas, mencoba tersenyum, memepertemukan kedua telapak tangan dengan posisi salaman, lalu mulai menyapa pewawancara dan host.
ADVERTISEMENT
“My name is Fathurrohman, I work for BNN… bla…bla…”
“My research topic around drugs issues… Indonesia's position is the same as the United States in the region, as the destination country for illicit drug trafficking from neighboring countries...”
Belajar dari puluhan testimoni wawancara beasiswa yang telah saya baca dari berbagai blog di internet, sing penting yakin, percaya diri.
Saya fokus memberikan penjelasan pada bagian-bagian yang pewawancara tidak tahu banyak untuk menarik perhatian, tapi tidak memberikan titik tekan penjelasan pada isu yang dia tidak kuasai. Intrik tradisional yang ternyata juga tidak berguna.
Ibu Rianti kemudian mempersilahkan pewawancara bertanya. Bule peneliti dari Harvard mengambil kesempatan pertama untuk bertanya. Si Bule Harvard bertanya terkait metode penelitian, seberapa banyak data yang dianalisis, menggunakan big data atau data yang berbasis kasus-kasus tertentu saja. Saya menjawab bahwa akan melakukan analisis big data dengan metode social network analysis (SNA) langsung kepada ahlinya, seorang professor di bidang SNA.
ADVERTISEMENT
Si Bule tersenyum, mengintimidasi, dan mengkoreksi bahwa dari penjelasan yang diberikan, itu tidak cukup disebut big data. Itu hanyalah data-data sampel dari kasus-kasus tertentu. Saya tetap berupaya tegak, senyum-senyum macam orang gila kesurupan. Tapi, dia benar dan otoritatif untuk bicara apapun terhadap saya yang bau kencur tak laku di pasar ini.
Sementara pewawancara berikutnya, ibu aktivis sosial, menggunakan Bahasa Inggris dengan aksen yang aneh, meliuk-liuk, dan nyaris tidak dimengerti apa yang dijelaskan dan ditanyakan. Beruntungnya, saya menangkap beberapa frase four month, home sick, dan deadline research. Intinya, apakah saya dapat menyelesaikan riset saya dalam waktu empat bulan saja? Saya menangkis dengan beberapa kalimat, tuntas dijawab dengan percaya diri. Ibu itu manggut-manggut, menghibur saya yang sedang menderita.
ADVERTISEMENT
Berikutnya saya dicecar soal apa relevansinya untuk Amerika dengan riset yang akan dilakukan, diminta jelaskan kembali mengapa harus ke Amerika, rencana paska kepulangan dari Amerika, sumbangan apa yang dapat diberikan untuk ASEAN, bagaimana kalau project belum selesai sementara waktu penelitian di AS telah habis, dst.
Saya dibuat sakit perut, terdiam khusu’ saat pewawancara memberikan masukan, memelas dan pasrah.
Email berikutnya adalah permintaan revisi project statement. Tergopoh-gopoh saya menyelesaikan revisi karena terlambat membuka email. Setelahnya, lagi-lagi saya pasrah.
Dua bulan kemudian, saat bulan puasa, selepas membaca beberapa lembar ayat di pojok ruangan kantor, inbox email saya bertambah. Saya dinyatakan berhak mengikuti program beasiswa Fulbright US-ASEAN Visiting Scholar Initiative!! Anak petani, penggembala kambing di masa kecilnya, pencari ikan di kali, dan penyuka mie ayam ini akan studi di Amerika, ajaib!!
ADVERTISEMENT
Benar, kita hanya perlu bermimpi, karena mimpi adalah gratis!!