Dieng, Prau, dan Kebahagiaan yang Dicari

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2023 22:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wisatawan dengan latar belakang candi Arjuna, Dieng. Foto: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Wisatawan dengan latar belakang candi Arjuna, Dieng. Foto: koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seminggu yang lalu, saya dan keluarga turut berwisata acara kantor ke Dieng dan gunung Prau. Keputusan itu diambail pada hari H-1. Kami bersepakat untuk bersenang-senang dengan mengikuti kegiatan perjalanan wisata ke Dieng dan pendakian ke gunung Prau.
ADVERTISEMENT
Kegiatan didesain oleh pimpinan di kantor dengan tujuan membangun keakraban, mengikat soliditas, melepas penat, dan menikmati alam raya yang disediakan Tuhan. Intinya adalah agar anggotanya bahagia. Tidak ada tujuan lain.
Saya dan keluarga membuat kesepatakan bahwa perjalanan ini harus dibuat happy, senang, dan gembira. Perjalanan bersama rombongan berisiko tidak bisa semau gue. Harus ada adaptasi, menerima berbagai kemungkinan perbedaan keinginan, dan meluaskan pemakluman atas ketidakcocokan yang dilakukan orang lain.
Saya membayangkan perjalanan yang sangat nyaman. Kendaraan, konsumsi, peristirahatan, dan segala kebutuhan akomodasi semuanya telah tertangani oleh tim dengan sempurna. Kami melakukan packing di malam hari menjelang keberangkatan.
Tibalah hari H, bertemulah dengan peserta rombongan yang lain. Saya mendengar suara seorang pegawai yang sedang menelpon dengan nada yang tidak biasanya. Samar-samar terdengar jika bus mengalami keterlambatan. Sementara mobil elf sudah stand by.
ADVERTISEMENT
Jebakan Bus odong-odong
Sekitar setengah jam kemudian, bus datang. Saya agak terkejut karena bus tidak sesuai imanjinasi sebelumnya. Ternyata yang lain juga merasakan hal yang sama. Usut punya usut, bus yang datang memang tidak sesuai dengan pesanan. Yang hadir adalah bus odong-odong.
Semua rombongan menaiki bus dan elf yang tersedia. Saya dan keluarga dijatah naik elf. Sebenarnya saya terbiasa naik bus untuk model perjalanan jauh. Tapi melongok bus yang tampak seperti odong-odong, saya urung untuk mengajukan pindah kendaraan.
Ilustrasi bus pariwisata. Foto: koleksi pribadi
Di perjalanan ternyata WA grup rombongan perjalanan ke Dieng riuh karena bus tampak tidak perform, kecepatan tidak maksimal, AC yang hanya mengeluarkan angin semata, dan tampak keberatan jika jalanan menanjak.
Tentu saja para penumpang menjadi stres karena perjalanan ke Dieng adalah perjalanan menanjak. Pilihan rute bus dan elf terpisah. Bus memilih rute landai via Purwokerto sementara elf memilih rute esktrim via Batang.
ADVERTISEMENT
Mobil elf yang saya tumpangi tentu memiliki performa lebih baik dari bus. Namun juga tidak sesuai ekspektasi yang dibayangkan sebelumnya.
Apakah kita kemudian perlu mengeluh atau menyalahkan penyelenggara? Seperti yang sudah disepakati sebelum memutuskan memilih mengikuti kegiatan ini, saya dan istri berkomitmen untuk tetap mencoba positif, akomodatif, dan nrimo. Tujuannya agar tetap bahagia.
Ilustrasi wisataman dieng. Foto: koleksi pribadi
Menerima kenyataan
Materi umum dalam berbagai kajian psikologi ketika seseorang menghadapi masalah atau hal negatif terdiri dari lima tahap. Tahap tersebut adalah penyangkalan (denial), marah (anger), menawar (bargaining), depresdi (depression), dan terakhir adalah penerimaan (acceptance).
Perhatikan tahapan tersebut, semakin cepat seseorang berada di tahap penerimaan atau acceptance, maka dia akan semakin cepat release (lepas) dari situasi penyangkalan, marah, atau rasa sedih yang berlarut. Apalagi kalau kita sendiri tidak berusaha menjadi solusi atas masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Kendaraan adalah bagian primer dalam perjalanan. Dia akan menemani kemanapun pergi. Sedangkan faktanya, bus yang mengantarkan rombongan bermasalah. Bukan hanya soal performa tapi juga soal ketepatan janji.
Bayangkan, bus ternyata hanya sanggup mengantarkan rombongan sampai terminal Wonosobo. Mau tidak mau, kami harus menyewa elf lokal untuk dapat menjangkau lokasi wisata Dieng.
Kekesalan terus bertambah karena ternyata bus tidak dapat diajak bekerja sama saat di perjalanan pulang untuk sekadar mampir ke tempat makan yang jarak tempuhnya akan memakan waktu sekitar setengah jam. Padahal, bus tersebut sama sekali tidak bergerak di Wonosobo selama dua hari selama kami berputar-putar di daerah Dieng.
Apa yang terjadi, sebagaimana disampaikan oleh penanggung jawab perjalanan yaitu Kepala Bidang Pemberantasan BNNP DKI Jakarta, adalah evaluasi untuk perjalanan berikutnya. Menyalahkan keadaan, apalagi tanpa kontribusi apapun sebelumnya, adalah sia-sia.
Wisatawan Dieng memilih bahagia. Foto: koleksi pribadi
Memilih nrimo
ADVERTISEMENT
Saya termasuk yang memilih menerima dan berusaha tetap bahagia karena memang dalam proses perjalanan ini sama sekali tidak memberi perhatian apapun kepada panitia. Pokoknya terima jadi. Ketika akhirnya tidak sesuai yang dibayangkan, nrimo adalah pilihan satu-satunya.
Eric Weiner, seorang wartawan dan penulis kenamaan yang tinggal di Washington, dalam salah satu ulasannya ketika melakukan penelitian tentang kebahagiaan menemukan bahwa masyarakat Thailand termasuk berkategori paling bahagia.
Orang Thailand memiliki konsep nrimo yang dikenal dengan sebutan mai pen rai. Konsep ini membuat orang-orang negeri Gajah Putih segera bersikap untuk menerima keadaan yang tidak ideal.
Mereka akan menganggap wajar orang datang terlambat, kendaraan yang mereka tumpangi mogok, dan beragam aspek lainnya. Mereka mudah untuk bersikap “Tidak masalah!” atau “Jangan khawatir!”
Soerang anak dan wisatawan dewasa di area perkemahan puncak Prau. Foto: koleksi pribadi
Jika mau diungkap hal-hal yang tidak ideal selama perjalanan kami berwisata ke Dieng, laman artikel ini akan penuh dengan umpatan dan keluhan. Semakin banyak keluhan, kita akan semakin lupa untuk bahagia.
ADVERTISEMENT
Kalau mau mencatat sesuatu yang tidak sesuai pasti banyak. Sebut saja misalnya terkait kamar penginapan, pemanas air yang mati di hari terakhir sehingga kami harus mandi dengan “air es”, beban yang berlebihan saat melakukan pendakian, Mie Ongklok yang rasanya aneh dan menu makanan yang kurang cocok, dengkuran yang saling sahut-sahutan, dan seterusnya.
Padahal Dieng adalah wisata alam yang nyaris sempurna. Apalagi panorama alam saat di puncak gunung Prau. Bagi saya, yang pernah muncak beberapa kali di tempat yang lain, muncak ke gunung Prau adalah salah satu yang terbaik. Di Dieng, di puncak Prau, saya menemukan bagian dari kebahagiaan yang selama ini dicari.
Penyajian yang diberikan Tuhan berupa sunset, bulan purnama tanggal 15 bulan hijriah, bintang gemintang yang bertebaran tak terhingga, panorama ajaib saat sunrise, dan lukisan detail lainnya adalah nikmat Tuhan yang tidak mungkin didustakan.
Latar belakang pegunungan yang terlihat dari puncak Prau. Foto: koleksi pribadi