Hujan Pertama di Pulau Pari

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
14 Oktober 2023 17:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang wisatawan sedang mengabadikan keindahan Pantai Pasir Perawan Pulau Pari. Foto: dok pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wisatawan sedang mengabadikan keindahan Pantai Pasir Perawan Pulau Pari. Foto: dok pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hujan di Jakarta seringkali menjadi masalah bagi penduduknya. Apalagi jika hujan deras, banjir dan kemacetan adalah niscaya. Jakarta yang sudah tua ini tampak tidak berdaya jika hujan tiba.
ADVERTISEMENT
Ibu kota negara Indonesia ini memang sudah tua. Usia Jakarta hanya berjarak empat tahun sebelum mencapai lima abad. Usianya jauh melampaui usia kemerdekaan republik ini.
Tuanya Jakarta tercermin dari banyak hal. Baik bukti sejarah yang diabadikan atau kondisi sosial, budaya, dan alam yang kian rapuh.
Saya yang tinggal di Jakarta sejak tahun 90-an cukup faham dengan ragam perubahan yang ada. Jakarta adalah kota yang dibangun dengan basis pelabuhan di sisi utara. Jumlah pelabuhannya saja mencapai tiga belas. Pelayanannya mencapai ragam keperluan.
Di antara fungsi tersebut adalah penghubung kota Jakarta yang ada di Pulau Jawa dan puluhan pulau huni yang ada di Laut Jawa, terutama Kepulauan Seribu. Kepulauan yang menjadi alternatif wisata bagi warga perkotaan.
ADVERTISEMENT
Kepulauan di utara Jakarta ini memiliki cerita panjang dalam sejarah nusantara. Di antara pulau yang eksotik adalah pulau Onrust. Pulau ini adalah tempat karantina jamaah haji, lahan kuburan, sekaligus benteng untuk pemerintah Hindia Belanda.
Saya sendiri telah mengunjungi sekitar tujuh pulau. Masing-masing memiliki cerita sendiri. Pulau terakhir yang saya kunjungi adalah Pulau Pari. Dari berbagai reviu, pulau ini termasuk lima besar untuk area tujuan wisata Kepulauan Seribu.
Sebagaimana saran seorang teman, jika Anda membawa keluarga ke sana dan itu menjadi pengalaman pertamanya, sebaiknya manjakan agar mereka tidak mengalami trauma.
Speed boat yang cukup nyaman. Seorang wisman membaca novel dan beberapa tertidur lelap. Foto: dok pribadi.
Jangan berlayar dengan menggunakan kapal penumpang dari Pelabuhan Muara Angke karena akan berdesak-desakan, tempat duduk yang kurang nyaman, atau kecepatan kapal yang terbatas. Kata teman saya tersebut, itu adalah harga yang harus diterima karena memang harga tiketnya yang merakyat.
ADVERTISEMENT
Saya berkali-kali ke kepulauan Seribu, dari sejak masih berseragam abu-abu. Kini, anak pertama saya yang mengenakan seragam serupa. Di kepulauan ini, saya pernah mengalami terguncang badai hebat hingga kapal yang ditumpangi sepertiganya terisi air laut. Merasakan hidup – mati di lautan.
Kapal yang kami tumpangi juga pernah mengalami kebakaran sehingga saya harus mencari kapal di pulau seberang untuk mengangkut rombongan teman-teman organisasi mahasiswa ketika tiba waktunya harus kembali ke Jakarta. Pengalaman tersebut tidak seharusnya menimpa anak-anak kami yang masih belia agar mereka tidak merasakan trauma.
Dermaga Pulau Pari. Foto: dok pribadi.
Jadilah kami nyebrang ke Pulau Pari dengan menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Marina Ancol. Kapal cepat ini cukup nyaman dan untuk menempuh ke tujuan memakan waktu sekitar satu jam. Anda akan menghabiskan waktu dua kali lipatnya jika naik dari Pelabuhan Kaliadem, Muara Angke dengan menggunakan kapal kayu.
ADVERTISEMENT
Istri saya telah memesan penginapan di Pulau Pari. Pengelola penginapan menyambut kedatangan kami di pelabuhan. Kami segera mengelilingi pulau setelah sedikit berkemas. Sepeda mini menjadi kendaraan utama di pulau 41,32 ha. Kami menyusuri jalanan khas pulau menuju Pantai Bintang.
Di pantai ini, semestinya bintang laut bertebaran. Tapi ternyata sedang tidak musimnya. Jadilah kami bermain ayunan pohon, bermain air, dan berfoto ria. Pantai seolah milik pribadi karena tidak ada pengunjung lainnya.
Para wisman yang bermain di salah satu spot Pulau Pari. Foto: Dok. Pribadi
Setelah puas, kami kembali ke penginapan untuk bersiap menyantap makan siang dan sorenya kami melakukan snorkeling sampai menjelang maghrib. Kami bermain-main dengan ragam jenis ikan, warna warni. Kami juga menikmati sahut-sahutan para pemburu cumi-cumi. Musim cumi-cumi memang mulai bersemi di sekitaran Pulau Pari.
ADVERTISEMENT
Para pemburu tersebut adalah penduduk penduduk setempat. Beberapa dari mereka adalah generasi kedua dan ketiga dari orang tua yang berasal dari Tangerang.
Malamnya, selepas sholat maghrib dan isya, kami menikmati ikan bakar yang segar. Rasanya manis gurih. Sambal ikan bakarnya benar-benar menggugah selera. Kami berlima dan masing-masing satu ekor disantap tanpa sisa. Jeruk dan teh hangat menyempurnakan sajian malam kami.
Setelahnya kami kembali menikmati bintang di berbagai sisi. Pandangan langka di tempat tinggal kami yang berada di sisi timur Jakarta.
Keesokan paginya kami menuju pantai Pantai Rengge. Kami membeli sarapan dan menyatapnya di sisi Pantai Rengge. Pantai yang indah menawan. Kami duduk santai sementara tigak anak laki-laki kami berlarian tampak ceria. Begitu juga dengan pengunjung lain.
Berlari di Pantai Rengge, menyambut terbit matahari. Foto: dok pribadi.
Tetiba langit tampak menggelap. Setelah kami menengok ke belakang, ternyata pengunjung lain telah pergi. Kami segera mengayuh sepeda. Hujan tidak bisa kami hindari. Kami bersepada melintasi ilalang dengan penuh dramatis. Tentu saja kami tertawa-tawa. Baju kami basah kuyup tak terkira.
ADVERTISEMENT
Setelah kami selidiki, itu adalah hujan pertama di Pulau Pari di musim penghujan tahun 2022. Penduduk pun tampak ceria. Kami memesan air hangat, kopi, dan beberapa jenis gorengan yang ciri khasnya pesan dahulu baru digoreng.
Tidak ada gorengan yang tersedia tanpa memesan. Alasannya tentu saja agar gorengan tidak mengeriput didera angin pantai yang selalu deras. Kenikmatan yang tiada tara. Sampai-sampai kami memesan tiga kali gorengan demi menikmati hujan yang tidak kunjung berhenti.
Setelah hujan berhenti, kami langsung menuju wisata pamungkas kami di Pulau Pari, menyusuri Hutan Mangrove dengan perahu dayung. Di sisi hutan tersebut, menyembul Pantai Pasir Perawan. Anak-anak tidak bisa dikendalikan berlarian di pantai tersebut.
Dari pengalaman saya mengunjungi pulau-pulau di Kepuluan Seribu, Pulau Pari termasuk yang memuaskan. Apalagi kami menikmati hujan yang menenteramkan jiwa dan pikiran. Hujan pertama di Pulau Pari. Hujan yang dramatis.
Seorang wisman tampak ceria, menikmati area Pantai Pasir Perawan Pulau Pari. Foto: dok pribadi.