Kompleksitas Perang Melawan Narkoba

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
16 Januari 2021 12:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi narkoba. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi narkoba. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perang melawan narkoba bukan perkara sederhana mengingat masalah narkoba adalah masalah global, berwajah gelap (clandestine), dan berkelindan dengan kejahatan lain. Sifat kejahatan narkoba juga adaptif dalam ragam tantangan yang dihadapi di berbagai negara di dunia.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan kejahatan tradisional seperti pembunuhan, perampokan atau pencurian yang pelaku dan korbannya jelas, kejahatan narkoba bermuka ganda. Reaksi sosial terhadap model kejahatan tradisional juga jelas, sepakat bahwa itu adalah kejahatan yang harus diatasi oleh penegak hukum.
Sementara model kejahatan narkoba berada pada posisi yang kompleks, dinamis, dan pandangan hukum dapat berubah-ubah. Karena itu, upaya menghadapi persoalan ini, termasuk upaya memerangi peredaran narkoba, harus dapat beradaptasi dengan kompleksitas tersebut.

Kriminalisasi narkoba

Di antara penyebab kompleksitas kejahatan narkotika adalah dinamisasi yang terjadi dalam pro-kontra kriminalisasi jenis narkoba tertentu. Perdebatan yang paling abadi soal ini adalah kriminalisasi penggunaan ganja. Bukan hanya di level domestik, perdebatan soal ini berkali-kali mengemuka di forum PBB. Terakhir adalah keputusan sidang PBB yang mengeluarkan ganja dari tabel IV, namun tetap dalam tabel I. Artinya, ganja yang semula secara keseluruhan dilarang dalam segala aspek, kemudian saat ini “diperbolehkan” untuk keperluan terbatas, khususnya medis.
ADVERTISEMENT
Kriminalisasi ini, kalau kita tarik sejarahnya, sudah terlanjur kompleks. Ethan Nadelmann di kanal ted.com menyebutkan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Pada akhir abad ke-19, narkoba opiat di saat itu adalah legal. Para pengguna opiate umumnya warga kulit putih dan digunakan untuk meredakan rasa sakit (analgesic).
Masalah timbul setelah ribuan warga Tionghoa bermigrasi ke Amerika Serikat dan mereka melakukan “penyalahgunaan” opiate untuk keperluan lain, agar tetap bekerja keras di rel kereta dan tambang. Negara bagian California dan Nevada kemudian mulai melarangnya secara keseluruhan.
Ehtan, berdasarkan penelitian yang dia lakukan sebagai aktivis, menyebutkan bahwa orang-orang baik menjadi kehilangan pekerjaan, rumah, kebebasan, bahkan kehilangan anak-anak mereka karena negara, karena kriminalisasi undang-undang. Mereka mengalami itu semua bukan karena mereka menyakiti orang lain tetapi karena mereka memilih untuk menggunakan satu jenis obat yang secara undang-undang dilarang, memilih opiate dari pada analgesic yang lain.
ADVERTISEMENT
Begitupun cerita tentang ganja. Bahkan, perdebatan soal ganja ini seperti candu itu sendiri, tidak pernah berakhir. Ganja secara masif dapat tumbuh di negara dengan iklim tropis dan sub-tropis. Secara mudah, ganja juga dapat ditanam di pot, polybag, atau di halaman belakang rumah. Ganja telah menjadi konsumsi tradisional bagi sebagian masyarakat. Karena itu, perdebatan terkait ganja tiada berakhir.
Terkait ganja, Indonesia berpegang teguh pada pelarangan ganja secara total. Namun, peluang perubahan peraturan selalu terbuka karena ilmu pengetahun terus berkembang dan karena itu tetap mempunyai peluang untuk mempengaruhi kebijakan. Apa yang terjadi di negara-negara lain di dunia juga memberikan pengaruh kepada negara lain.
Dengan memasukkan jenis narkoba tertentu sebagai obat terlarang, maka akan berimplikasi terhadap meningkatnya angka kejahatan, penyelundupan, sesaknya penjara, korupsi, dan dampak ikutan lainnya.
ADVERTISEMENT

Mengubah pendekatan

Kompleksitas persoalan narkoba dapat diatasi dengan berbasis ilmu pengetahuan, pada sains, kasih sayang, kesehatan dan kemanusiaan. Pada konteks tertentu, misalnya terkait pemanfaatan ganja dalam ranah medis, pendekatan terhadap penggunaan ganja dapat berdiri pada sisi yang berbeda, bukan pada pandangan mengkriminalisasi sebagaimana dilakukan kepada kelompok jaringan yang hanya berorientasi bisnis, menjual narkoba kepada pelajar dan mahasiswa, merusak generasi muda.
Pandangan para penegak hukum terhadap penyalahguna harus bergeser dari memenjarakan kepada merehabilitasi dan dari upaya pidana kepada upaya memulihkan dari kecanduan. Pergerseran pendekatan ini berdampak positif dari membebani negara dengan membiayai semua proses peradilan. Bahkan, jika upaya sanksi denda diberlakukan makan akan memberikan sumbangan pemasukan bagi negara.
Kita dapat belajar dari Portugal karena penghuni penjara tidak lagi penuh karena narkoba. Perubahan tersebut terjadi karena pemerintah secara serius memperlakukan kecanduan sebagai masalah kesehatan, bukan masalah kriminal. Begitu juga di Swiss, Jerman, Belanda, Denmark, Inggris, yang telah mengubah pandangan dan aturan terkait kriminalisasi para pecandu heroin.
ADVERTISEMENT
Negara-negara tersebut memfasilitasi para pecandu guna memperoleh “heroin farmasi” dan memberikan layanan di klinik medis. Tentu kita juga harus berbasis riset mendalam dan hati-hati dengan pendekatan ini. Hasil dari kebijakan tersebut adalah menurunnya penyalahgunaan narkoba ilegal, penyakit dan overdosis, dan kejahatan dan penangkapan.
Selain itu, kesehatan dan kesejahteraan meningkat, peningkatan pembayaran pajak diuntungkan. Yang lebih penting adalah para pengguna narkoba melupakan kecanduan yang selama ini menimpa mereka karena adanya pelayanan medis yang terkendali.
Sekali lagi, perubahan kebijakan ini tentu saja harus bertahap dan hati-hati. Harus berbasis pada ilmu pengetahuan dan hasil penelitian yang akurat. Jika tidak, alih-alih masalah narkoba membaik, tapi yang terjadi adalah sebaliknya.