Pancasila dan Solidaritas terhadap Tetangga

Fathurrohman
Analis Kejahatan Narkotika, Penulis Cerita Perjalanan, ASN di BNN.
Konten dari Pengguna
1 Juni 2021 21:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi solidaritas dan persamaan hak. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi solidaritas dan persamaan hak. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekitar pukul 14.00 WIB, saya dihubungi oleh pengurus RT bahwa salah seorang tetangga berusaha untuk mengakhiri hidupnya. Saya terperanjat. Terlebih setelah tahu bahwa orang yang diceritakan tadi adalah seorang nenek-nenek yang tanggal 3 Juni esok genap berusia 87 tahun.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, tepat di hari Pancasila, 1 Juni 2021 saya bersama pengurus RT tersebut berkunjung ke rumahnya. Sang nenek sedang duduk termenung di kursi renta. Lantai rumahnya tampak basah padahal hujan tidak seberapa.
Iya, nenek tua ini sedang merana karena lantai ubinnya senantiasa basah saat hujan turun. Rumahnya bocor tanpa sanggup untuk membenahinya karena uang pensiunnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Basahnya lantai rumahnya mewakili matanya yang tampak sayu dan sembab.
Nenek adalah anak tentara dan istri dari seorang polisi (brimob). Kedua laki-laki yang telah bergantian menemani semasa hidupnya tersebut telah tiada.
Nenek yang matanya tak lagi melihat dengan sempurna bertanya, “ini siapa?” Anak perempuannya yang juga telah ditinggal pergi suaminya itu lalu membisikkan ke telinga kiri sang nenek “Ini pak Fathur, pak RT.”
ADVERTISEMENT
Nenek tampak senang dengan kedatangan kami. Mukanya mulai cerah. Nenek yang berasal dari Bandung tampak lebih cerah saat disampaikan kalau pak RT adalah sama-sama asli Jawa Barat, sesama orang Sunda. Sesekali kami berbahasa Sunda.
Romansa masa mudanya diceritakan dengan heroik. Nenek merasakan penjajahan Jepang atau merasakan menjadi pengungsi dengan menaiki kereta dari Bandung ke Gombong karena agresi Belanda.
Nenek adalah hasil didikan seorang tentara (RPKAD) yang bersahaja. Saat ayahnya meninggal, nenek diasuh oleh kakak pertamanya yang tentara. Nenek kemudian menikah dengan seorang polisi (Brimob) yang berasal dari Maluku.
Nenek menceritakan bahwa tambatan hatinya terhadap anak seorang dokter, ganteng, dan sesama suku sunda yang juga menyukainya kandas karena kakaknya melakukan lotre jodoh terhadap tiga nama pelamar dan nama yang keluar adalah yang kemudian menjadi suaminya.
ADVERTISEMENT
Nenek begitu taat dan teguh pada pilihan. Dia kemudian mengikuti agama suaminya, menaati semua kemauan suaminya seperti dilarang “ngerumpi” dengan tetangga, dilarang bepergian tanpa didampingi suaminya, dan mengikuti kemanapun suaminya dinas.
Batin saya, beruntung sekali suaminya mendapatkan istri yang taat walaupun bukan cinta pertamanya. Apalagi, saat foto hitam putihnya dipamerkan, masa mudanya sangat cantik.
****
Nenek kemudian melanjutkan ceritanya yang penuh kegetiran. Aksi nekatnya ingin melakukan upaya bunuh diri adalah puncak kegetiran atas nasibnya yang dirasa terus memburuk. Dua anak perempuannya meninggal dunia saat masih bayi dan remaja. Anak perempuan semata wayangnya harus hidup sendiri karena ditinggal suami.
Sementara cucunya pun mengalami nasib yang tidak lebih baik. Suaminya pemalas, tidak bertanggung jawab dan akhirnya diusir pergi oleh nenek karena cucunya disakiti tanpa belas kasihan. Nenek mengancam memenggal suami cucunya tersebut dengan pedang pattimura warisan almarhum suaminya.
ADVERTISEMENT
Kini, di rumah yang semakin renta yang kalau hujan deras jaminan banjir ratusan senti, nenek harus menopang beban hidupnya, nenek harus menjadi tumpuan hidup seisi rumah. Anak dan cucunya tidak bekerja. Sementara dua cicitnya masih berjuang untuk mencari pekerjaan. Situasi pandemi semakin membuat keluarga kecil ini menderita.
Sebegitu getirnya kah hidup. Tidak kah nenek mendapatkan perhatian di akhir-akhir hayatnya. Baginya, “keadilan sosial” masih jauh dari nasib seisi rumahnya.
Nenek tidak lagi merasakan getaran usulan Soekarno saat mengusulkan dasar negara keempat di hadapan sidang BPUPKI “kesejahteraan sosial.” Nenek jauh dari sejahtera. Pikiran nenek melayang jauh, segera bertemu Tuhan.
Nek, kalaulah boleh saya menyampaikan kembali petuah salah satu pendiri negara, Bapak Soekarno. Saya ingin mengutip kembali apa yang beliau citakan.
ADVERTISEMENT
Nek, bersabarlah. Jasa orang tua dan suamimu mungkin tidak cukup berarti untuk mengangkat derajat hidup keluarga nenek. Namun, kita adalah Indonesia.
Selembar atau dua lembar rupiah yang dikumpulkan tetangga atau sedikit perhatian dari gereja semoga membuat nenek kembali bersemangat, bersabar, dan tidak lagi berusaha mengakhiri hidupnya. Solidaritas ini, walau kecil adalah nyata. Pancasila dalam tindakan. Kita bersatu untuk Indonesia tangguh.
Nek, seperti hari ini, di hari Pancasila, nenek tampak sehat, menyampaikan segala resah di dada, lalu menangis dan tertawa dalam cerita. Sekali lagi, janganlah putus asa nek!