Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kurikulum yang Tak Pernah Tuntas: Antara Reformasi dan Realita
12 Mei 2025 12:26 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Fatih Khairil Jiyad Al Falah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Reformasi yang Terlalu Cepat: Dampak Perubahan Kurikulum di Indonesia
ADVERTISEMENT
Pendidikan adalah tulang punggung kemajuan bangsa, dan kurikulum adalah kerangka dasar yang membentuk proses belajar mengajar. Di Indonesia, perubahan kurikulum bukanlah hal baru. Dalam dua dekade terakhir, kita telah menyaksikan lahir dan tenggelamnya berbagai model kurikulum: dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP, K13, hingga Kurikulum Merdeka. Namun, satu pertanyaan krusial muncul: apakah perubahan ini benar-benar membawa perbaikan, atau justru menjadi beban baru?
ADVERTISEMENT
Reformasi yang Terlalu Cepat
Salah satu kritik utama terhadap dinamika kurikulum di Indonesia adalah frekuensi perubahannya yang terlalu cepat. Hampir setiap pergantian menteri membawa semangat reformasi kurikulum, seolah-olah solusi pendidikan terletak pada mengganti sistem, bukan memperbaiki pelaksanaannya. Akibatnya, guru dan siswa menjadi korban dari sistem yang belum sempat matang, sudah diganti kembali.
Kesenjangan Implementasi
Reformasi kurikulum seringkali lahir dari ruang-ruang diskusi akademik di pusat, namun pelaksanaannya bergantung pada kesiapan sekolah di daerah. Banyak sekolah—terutama di wilayah 3T—kesulitan mengakses pelatihan, teknologi, dan sumber daya yang dibutuhkan. Kurikulum Merdeka, misalnya, menjanjikan fleksibilitas dan kebebasan belajar, namun bagaimana bisa diterapkan secara adil jika infrastruktur dasar pun belum merata?
Beban Guru yang Semakin Berat
ADVERTISEMENT
Setiap kurikulum baru datang dengan tuntutan administratif baru. Guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tetapi juga menyusun dokumen, mengikuti pelatihan, dan mengejar indikator keberhasilan yang kadang tidak realistis. Alih-alih fokus pada pengembangan potensi siswa, guru sering terjebak dalam rutinitas administratif yang menguras energi.
Perlu Evaluasi yang Mendalam, Bukan Sekadar Ganti Nama
Perubahan kurikulum seharusnya dilandasi oleh evaluasi yang mendalam dan berkelanjutan, bukan hanya karena tekanan politik atau tren global. Pendidikan tidak bisa diseragamkan dengan pendekatan "satu model untuk semua". Dibutuhkan keberanian untuk tidak hanya mengganti nama kurikulum, tetapi memperbaiki akar masalah: kualitas guru, pemerataan fasilitas, dan orientasi pembelajaran yang lebih manusiawi.
Kurikulum adalah alat, bukan tujuan. Reformasi pendidikan sejati bukan hanya tentang mengganti sistem, tetapi menciptakan ekosistem yang mendukung proses belajar yang bermakna dan relevan. Selama kita terus mengganti tanpa menuntaskan, maka kurikulum akan tetap menjadi proyek setengah jadi yang membingungkan semua pihak—guru, siswa, dan orang tua.
ADVERTISEMENT