Jaring Pengaman Sosial Terperosok Resesi

Fatkur Huda
lecturer at Muhammadiyah University Surabaya
Konten dari Pengguna
23 September 2020 6:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fatkur Huda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
detikFinance
zoom-in-whitePerbesar
detikFinance
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gejolak ekonomi akhir kuartal III pada pandemic Covid-19 ini yang menghantam Indonesia bagaikan sebuah perfeck strom yang memberikan dampak besar bagi perekonomian negara. Salah satunya adalah melemahnya daya beli masyarakat akibat bekurangnya konsumsi rumah tangga, yang merupakan penopang ekonomi sebesar 60 persen.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik mencatat bahwa konsumsi rumah tangga tumbuh negatif hingga dari 5,51 persen pada kuartal II tahun 2020, dibandingkan pada tahun 2019 dalam periode yang sama. Padahal pada kuartal I tahun 2020 masih berada di titik 2,83 persen. Konsumsi rumah tangga merupakan Kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan konsumsi atau daya beli masyarakat, pemerintah melalui berbagai programnya mengupayakan peran Jaring Pengaman Social sebagai solusi penguatan daya beli masyarakat, yang akan berimplikasi secara langsung pada pertumbuhan ekonomi khususnya sector konsumsi.
Kenyataanya program tersebut masih belum mampu meningkatkan daya beli masyarakat, terlepas dari persoalan apakah stimulus dan mekanisme yang digunakan sudah tepat atau belum.
Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2020 merilis Indek Harga Perdagangan Besar (IHPB) Umum Nasional turun sebesar 0,07 persen terhadap juli 2020, penurunan IHPB tertinggi justru terjadi pada sector Pertanian sebesar 1,12 persen.
ADVERTISEMENT
Pada aspek lain, sebagai upaya mengamankan keberlangsungan ekonomi, pemerintah mengucurkan anggaran untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan anggaran yang cukup besar, namun dipenghujung kuartal III pertumbuhan ekonomi anggaran tersebut baru terserap 36,6 persen atau baru mencapai Rp 254,4 triliun dari pagu anggaran Rp 695,2 triliun.
Sinyal resesi semakin dekat, pemerintah harus mampu melakukan redesign program peningkatan daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi nasional agar lebih efektif serta mempercepat proses akselerasi realisasi dari anggaran sehingga terhidar dari depresi.
Resiko Sistemik Resesi
Kondisi ini menjadi ancaman bagi seluruh elemen, sehingga COVID-19 disebut sebagai pandemic yang menciptakan krisis global multidimensi. Terlebih bagi mereka yang mengelola bank dan para pelaku di pasar keuangan, dan tentunya para pelaku otoritas moneter dan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Jika resesi terjadi, maka akan menciptakan krisis yang sangat terasa bahkan menciptakan suasana mencengkam. Kondisi likuiditas bank dapat berubah dengan sangat cepat. Dan ini menentukan apakah bank dapat menyelesaikan transaksi – transaksinya dengan nasabah serta bank mitranya.
Semua itu akan mempengaruhi psikologi masyarakat, dampaknya tidak dapat diperkirakan. Otoritas moneter dan pemerintahlah yang mampu mengendalikan sehingga tidak terjadi kecemasan dan kepanikan pada masyarakat menghadapi krisis.
Belajar dari krisis pada tahun 2008, pemerintah mampu mengupayakan penanganan krisis dengan berbagai cara, salah satunya adalah adanya Perppu untuk keadaan darurat (Boediono, 2016) dengan memperkuat fungsi lender of the last resort Bank Indonesia. Memperkuat system LPS dan mengatur mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Cegah Depresi Ekonomi
ADVERTISEMENT
Indonesia telah diperkirakan akan mengalami resesi pada akhir bulan ini, yakni pada kuartal III dengan capaian pertumbuhan minus hingga 2,9 persen, melanjutkan kontraksi pada kuartal sebelumnya yang sebesar minus 5,32 persen.
Banyak hal yang melatarbelakangi, dilihat dari aspek kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi nasional, keterlambatan serapan anggran khususnya UMKM yang selama ini menyumbang Product Domestic Bruto (PDB) sebesar 60,34 persen. Serta kontribusi terhadap total tenaga kerja sebesar 97 persen.
Masih banyak kebijakan fiscal yang belum terserap secara maksimal. Sehingga dalam hal ini UMKM hanya mengaktifkan mode bertahan agar bisnisnya tetap berjalan, sehingga kondisi ini membuat ekonomi cenderung stagnan.
Ekonomi suatu negara dapat dikatakan depresi jika mengalami pertumbuhan negative di atas 18 bulan sampai 36 bulan atau 3 tahun. Ukuran lainya adalah terjadi minus double digit, artinya mencapai kurang lebih minus 10% pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pandemi yang masih terus menyelimuti, persoalan akan kesehatan yang masih belum mampu diselesaikan oleh pemerintah, bahkan beberapa kebijakan cenderung berpotensi mengakibatkan sebaran semakin kompleks yang akan berdampak secara sistemik pada seluruh lapisan masyarakat.