Arena Kepentingan Omnibus Law

Fauzi AK
Mahasiswa Pascasarjana Kebijakan Publik UNPAD, Sekretaris Jendral Keluarga Mahasiswa Kab. Bandung Barat
Konten dari Pengguna
18 Maret 2020 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzi AK tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Sejak awal tahun 2020, atmosfir diskusi dalam ruang publik kita ramai memperbincangkan perihal Omnibus Law. Di berbagai sosial media bahkan sampai warung kopi hampir seluruhnya tersisipkan obrolan mengenai pekerjaan Pemerintah dan DPR yang sedang menggagas RUU Omnibus Law. Argumentasi pro dan kontra terkait RUU Omnibus Law dilancarkan berbagai kalangan, mulai dari Akademisi, Politikus, Mahasiswa, Serikat Petani, bahkan Buruh.

ADVERTISEMENT
Sebelum beranjak ke dalam pergulatan soal Omnibus Law, terlebih dahulu kita musti mengetahui bahwa Omnibus Law adalah metode yang di dalamnya memuat seperangkat rumusan aturan yang akan menggantikan aturan-aturan lama sebelumnya. Perbedaan Omnibus Law dengan rumusan aturan sebelumnya terletak pada kuantitas perumusannya. Sebab Omnibus Law ini merupakan metode yang mengganti sekaligus beberapa aturan lama yang sudah ada. Sehingga, apabila RUU Omnibus Law ini disahkan, ia akan menjadi satu-satunya rujukan yang berlaku menggantikan banyak peraturan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Memang sudah seharusnya kita terus mengawasi berjalannya proses perumusan RUU Omnibus Law ini. Sebab, segala bentuk kebijakan akan selalu berdampak kepada seluruh lapisan masyarakat. Dan dalam sistem demokrasi seperti sekarang, partisipasi publik merupakan suatu prinsip yang fundamental dan musti menjadi pegangan bagi seluruh pemangku kebijakan yang ada di negara.

Problematika Kepentingan Kelompok

Dalam proses perumusan kebijakan, idealnya Pemerintah harus menggandeng banyak pihak untuk terlibat. Hal tersebut bertujuan agar kualitas kebijakan yang dihasilkan mampu memberikan impact positif terhadap target kebijakannya. Namun, sejalan dengan itu Pemerintah pun harus mampu mengelola faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan. Pemerintah haruslah mampu bertindak secara kooperatif kepada pihak-pihak yang terlibat dan harus memposisikan mereka secara adil dan setara. Pemerintah dilarang keras untuk memihak kepada salah satu kepentingan kelompok atau golongan.
ADVERTISEMENT
Namun yang terjadi faktanya hari ini, Pemerintah justru mendapatkan protes keras dari banyak kelompok masyarakat, salah satunya kelompok Buruh yang menyoroti RUU Cipta Kerja (sebelumnya RUU Cilaka akronim dari Cipta Lapangan Kerja). Protes keras dari kaum Buruh ini menjadi sangat wajar terjadi, sebab Pemerintah sendiri yang dalam perumusannya terkesan terburu-buru dan tidak melibatkan kaum Buruh. Seharusnya, Pemerintah terlebih dulu menyiapkan ruang-ruang komunikasi yang terbuka kepada publik dan mengundang seluruh stake holder yang terlibat, baik itu pengusaha dan utamanya kaum Buruh, sebab kaum Buruh adalah taget dari adanya RUU Cilaka tersebut.
Jika kita analisis lebih dalam lagi, jejaring kebijakan yang mempengaruhi jalannya proses perumusan tersebut pun dari awal sudah berada dalam posisi asali yang tidak adil. Hal tersebut tercermin dari mayoritas pejabat Pemerintahan dan DPR yang diisi oleh para pengusaha. Sehingga dampaknya adalah merengseknya kepentingan dalam perumusan kebijakan tanpa adanya filterisasi internal. Secara sadar maupun tidak, Pemerintah dan DPR terlalu memaksakan kehendaknya sendiri tanpa mempertimbangkan aspirasi publik khususnya kaum Buruh.
ADVERTISEMENT

Kegagapan Elite Penguasa

Sekali lagi saya tegaskan, bahwa sudah sewajarnya kita sebagai masyarakat menekan Pemerintah dan DPR sebagai pemangku kuasa di negara ini. Bukan tanpa tujuan, pressure dari masyarakat menurut pandangan akademis, mampu memberi pengaruh yang jelas dalam menekan para penguasa agar tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya. Sebagai pressure groups pun kita harus mampu menterjemahkan bahasa dan argumentasi penguasa dengan teliti dan cermat.
Argumentasi yang dilancarkan Pemerintah hari ini, berkutat pada peningkatan investasi dan ekonomi negara. Padahal dalam merumuskan kebijakan, negara tidak bisa bergantung pada satu argumentasi saja. Apalagi dalam perumusan Omnibus Law hari ini, Pemerintah pun tidak terbuka dengan landasan akademik apa yang mereka gunakan sampai mampu memberikan kesimpulan bahwa dengan adanya Omnibus Law maka investasi dan ekonomi negara akan baik. Naskah akademik yang menjadi syarat berlakunya sebuah undang-undang pun tidak pernah di komunikasikan kepada publik secara terbuka. Tentu dengan fakta tersebut kita mampu mengetahui bahwa para elite penguasa baik dari Pemerintah maupun DPR, sama-sama gugup dan gagap dalam merumuskan kebijakan Omnibus Law.
ADVERTISEMENT

Arena Kepentingan Omnibus Law

Dalam perumusan kebijakan, tidak akan pernah lepas dari kepentingan. Kelompok maupun individu akan cenderung membela kepentingannya masing-masing. Pendekatan Pentahelix dalam teori Policy Networking dirasa sangatlah cukup untuk menguraikannya. Ada lima kelompok yang memberi pengaruh dalam perumusan kebijakan yaitu Akademisi, Kelompok Bisnis, Pemerintah, Media Massa dan Masyarakat Sipil.
Posisi masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan selalu berada dalam posisi yang lemah. Sehingga media massa berperan sebagai penguat argumentasi dari masyarakat sipil tersebut. Namun yang terjadi hari ini, para elite penguasa pun menggunakan media massa untuk melancarkan kepentingannya. Maka dari itu, cara paling efektif untuk melawan hegemoni kekuasaan tersebut adalah dengan cara berjejaring dengan sesama kelompok masyarakat. Buruh beraliansi dengan mahasiswa, serikat tani beraliansi dengan Buruh, dan memprogandakannya lewat media massa yang masih ideal dalam menyampaikan aspirasi publik.
ADVERTISEMENT
Pertarungan kepentingan yang terjadi dalam perumusan Omnibus Law, idealnya Pemerintahlah yang menjadi wasit di dalam arena. Menjadi mediator diantara banyak kelompok yang ada dalam lingkungan arena kebijakan. Namun kenyataan hari ini, Pemerintah justru berkolaborasi dengan DPR dalam merumuskan kebijakan Omnibus Law. Sehingga kita sebagai masyarakat harus bekerja sama serta tetap mengedepankan argumentasi kritis terhadap berjalannya proses perumusan kebijakan Omnibus Law ini. Jangan sampai kebijakan yang kelak disahkan, tidak berlaku adil dan merugikan banyak pihak, utamanya masyarakat itu sendiri.