Yusril Permalukan Natsir

Fauzul Adhim
Mahasiswa Hukum Universitas Islam Makassar
Konten dari Pengguna
17 April 2024 15:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fauzul Adhim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ketua tim pembela paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan tanggapan atas gugatan terhadap kliennya saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (28/3/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Ketua tim pembela paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan tanggapan atas gugatan terhadap kliennya saat sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (28/3/2024). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Law is not, as it is sometimes said, a rule. It is a set of rules having the kind of unity we understand by a system. It is impossible to grasp the nature of law if we limit our attention to the single isolated rule.” Kutipan tersebut ada di dalam buku General Theory and State (1949) karya Hans Kelsen. Ia adalah ahli hukum dan filsut asal Austria yang terkenal karena The Pure Theory of Law. Bagi Kelsen, hukum bukanlah sebuah aturan, melainkan seperangkat aturan yang memiliki kesatuan yang kita pahami sebagai suatu sistem. Kita, menurutnya, tidak mungkin memahami hakikat hukum jika kita membatasi perhatian kita pada satu aturan saja. Dari sudut pandang itulah semestinya kita melihat duduk perkara yang disidangkan di Mahakamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 agar tak timbul perdebatan konyol perihal di mana, kapan, dan sejauh mana etika dan hukum saling terkait. Sayangnya perdebatan konyol perihal itulah yang terjadi dalam persidangan di MK beberapa Minggu lalu. Padahal semua orang yang belajar hukum tahu betul bahwa “ius est ars boni et aequi”. Frasa latin itu berarti hukum adalah seni kebaikan dan keadilan. Bangsa Romawi, melalui Celsus, mendefinisikan hukum sebagai seni kebaikan dan keadilan, tanpa membedakan antara hukum dan moralitas. Kita sudah usai menyaksikan perdebatan konyol terkait dua hal yang sebenarnya relasinya tak perlu diperdebatkan di ruang pengadilan MK. Sekarang para hakim MK sedang bermusyawarah terkait perkara itu. Mari kita tunggu hasilnya. Putusannya akan dibacakan pada Senin, 22 April 2024. Para Pemohon optimis permohonannya akan diterima. Pasalnya, banyak Guru Besar, budayawan, dan masyarakat sipil mengajukan amicus curiae (sahabat pengadilan) ke Mahkamah Konstitusi. Para sahabat pengadian meminta para hakim MK berani mengambil keputusan yang adil demi menyelamatkan demokrasi dengan mendiskualifikasi pasangan Prabowo-Gibran sebagai calon presiden dan wakil presiden karena kemenangannya dinilai penuh dengan praktik yang tak patut. Apabila Mahkamah Konstitusi Mengambil keputusan seperti itu, maka MK akan mendorong percepatan terbentuknya sistem, struktur, dan budaya politik yang baru. Sehingga menjadi dasar pengembangan kehidupan demokrasi di Indonesia. Namun saya meyakini para hakim tak terlampau berani dan akan menolak permohonan itu. Harus diakui keputusan MK tak berdiri di ruang hampa. Sangat mungkin dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan yang keinginannya turut dibela oleh pengacara kondang, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Tampilnya Yusril sebagai Pembela Hukum Prabowo-Gibran dalam Sidang PHPU Pilpres 2024 menuai banyak kritikan. Kritikan itu muncul karena sikap politik Yusril yang inkonsisten. Dalam salah satu forum diskusi Yusril sempat mengkritisi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung cacat hukum serius. "Andaikata saya Gibran, saya tidak akan mencalonkan diri," katanya. Hal itulah yang membuat banyak orang menilai Yusril tidak ada bedahnya dengan kebanyakan para politisi Indonesia yang tidak punya prinsip luhur sebagai penuntun dalam berpolitik. Tanpa malu ia mengambil sikap yang berlawanan dengan pikiran dan hati nuraninya sendiri. Yusril sepertinya lupa siapa dirinya di mata publik. Ia tak sadar bahwa dirinya adalah seorang guru besar yang banyak sekali mahasiswa hukum mengidolakannya. Sebagai guru besar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra juga sangat dikenal luas sebagai pemikir politik Islam yang memiliki titik kesamaan secara pemikiran dengan Mohammad Natsir, dan bahkan Yusril kerap dijuluki sebagai Natsir Muda. Natsir merupakan cendekiawan muslim. Ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia dan Ketua Dewan Masjid Se-dunia. Ia pun tokoh politik Indonesia yang dikenal konsisten memberi keteladanan dalam kehidupan politik Indonesia. Natsir pernah menduduki jabatan penting, dari posisi menteri Penerangan (1946-1947), bahkan sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951). Sebagai politisi berlatar intelektual muslim, Natsir selalu menunjukkan sikap dasar yang harus dimiliki pemimpin negara yaitu, memisahkan kepentingan pribadi dan ekonomi dari politik. Sepanjang menduduki jabatan penting Natsir tidak mempunyai aset pribadi dan selalu berpenampilan sederhana. George McTurnan Kahin, guru besar Universitas Cornell, sampai terhenyak kala bertemu Natsir untuk kali pertama pada 1946. Ketika itu, Natsir adalah Menteri Penerangan RI. “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” terang Kahin seperti tertulis dalam buku Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Sosok yang meninggal pada 6 Februari 1993 ini selalu konsisten mengupayakan terwujudnya tatanan kehidupan politik demokratis yang bersih dari korupsi, serta mendorong tata pembentukan pemerintahan yang konstitusional dan bermartabat. Keutamaan-keutamaan yang ditunjukkan oleh Natsir ini tidak kita temukan dalam diri muridnya, Yusril Ihza Mahendra. Bahkan, sikap-sikapnya justru mempermalukan gurunya. Politisi yang mengaku dirinya murid sekaligus penerus perjuangan politik Natsir ini faktanya pada masa puncak kuasa Soeharto justru berperan sebagai speech writer alias penulis pidato sang diktator. Bayangkan saja, dalam kurun 1996-1998, Yusril telah menulis 204 naskah pidato untuk Soeharto. Ini bukti ia begitu aktif membela Soeharto. Sikap politik Yusril selama ini justru menunjukkan bahwa dirnya tidaklah jauh berbeda dengan politisi karbitan pada umumnya yang menjadikan politik sebagai pasar taruhan bagi segelintir kepentingan, alih-alih meletakkan politik sebagai perbuatan kenegaraan demi kesejahteraan umum. Dalam praktik politik yang tidak demokratis, pembusukan hukum dan etika, ketidakadilan di bidang ekonomi serta ketamakan pemimpin, Yusril harusnya mengambil sikap politik layaknya Natsir, sebagai teladan. Yusril mestinya menginterupsi tatanan kehidupan politik seperti itu dengan mentransformasikan nilai-nilai Islam yang universal sehingga menciptakan suatu iklim politik yang lebih demokratis, berkeadilan, serta berbudi luhur. Hanya dengan memilih sikap politik seperti itu, maka Yusril akan dikenal bukan hanya sebagai orang yang memiliki jalan pemikiran sama dengan Natsir, tetapi juga keserupaan sikap-sikap politiknya. Dalam konteks ini, Yusril harus mengambil jalan memutar untuk kembali insaf. Yusril harus sekali lagi mengatakan di depan publik bahwa Pilpres 2024 berjalan tanpa keluhuran budi serta nir keadilan. Saya yakin sikap ini sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya sendiri, di samping juga berguna bagi dirinya sebagai pembatas kelalaian agar tak lebih jauh memperlakukan gurunya.
ADVERTISEMENT