Titus Taima dan Perubahan di Pedalaman Papua

Fawaz Al Batawy
Volunteer Sokola Rimba
Konten dari Pengguna
16 Juni 2017 6:36 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fawaz Al Batawy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Papua (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Papua (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2014, di buku catatan kelahiran milik pihak Gereja Mumugu Batas Batu, Titus Taima berusia 18 tahun. Anak dari Kepala Perang Suku Asmat rumpun Wiptiu ini tinggal seorang diri di kampung Mumugu Batas Batu. Setelah bapaknya meninggal dunia, Ibu dan adik-adik Titus pindah ke kampung Mumugu Bawah.
ADVERTISEMENT
Antara Mumugu Batas Batu dengan Mumugu Bawah berjarak 1 jam perjalanan menggunakan speedboat. Jika menggunakan sampan tradisional yang mesti didayung, waktu tempuh menjadi 4 jam.
Mumugu Batas Batu sesungguhnya adalah kampung baru yang dibentuk pada tahun 2008 hasil konfederasi 7 fam yang mewakili rumpun Wiptiu. Kepala Perang bersama pihak gereja paroki Sawaerma bersepakat membuka kampung baru yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Nduga di timur laut.
Ekspansi yang semakin masif dari wilayah Nduga ke Asmat, pembangunan pelabuhan dan jalan raya trans-Papua, serbuan pendatang dari luar Papua, menjadi alasan pendirian kampung yang sebelumnya hutan belantara tanah ulayat mereka.
Awalnya Titus tinggal di Jew (rumah adat) bersama kaum lelaki dewasa di kampung. Setelah Puskesmas Pembantu (Pustu) berdiri di kampung, dua orang petugas kesehatan di pustu mempekerjakan Titus sebagai petugas kebersihan. Selanjutnya, Titus memiliki kamar sendiri di pustu.
ADVERTISEMENT
Tahun 2013, bersama 90 anak lain di kampung, Titus ikut belajar di Sokola Asmat, program pendidikan yang diinisiasi komunitas pendidikan untuk masyarakat adat bernama SOKOLA.
Titus menjadi salah seorang murid yang paling rajin ikut belajar. Belum genap 2 bulan mengikuti program belajar, Titus sudah cukup lancar membaca dan mengerjakan operasi perhitungan sederhana berupa penjumlahan, pengurangan dan perkalian.
Titus Taima dan Perubahan di Pedalaman Papua (1)
zoom-in-whitePerbesar
(Titus Taima/dok.Faris Bobero)
Sesaat sebelum program Sokola Asmat berlangsung, adik kandung Titus meninggal dunia. Penyebab kematian sang adik karena over dosis obat. Awalnya sang adik sakit, lalu petugas kesehatan di pustu memberikan beberapa obat dan menjelaskan petunjuk penggunaan obat.
Berdasarkan petunjuk tersebut, obat harus di minum selama 3 hari dan diperkirakan di hari ketiga adik Titus bisa pulih. Orang tua Titus berpikir, jika obat diminum dengan cara dicicil seperti petunjuk petugas kesehatan, di hari ketiga baru akan sembuh, mengapa tidak diminum langsung semua saja dan sembuh saat itu juga.
ADVERTISEMENT
Tiga hari adalah waktu yang lama untuk sembuh, kasihan jika harus menanggung derita selama itu. Akhirnya pikiran itu benar-benar dilakukan, obat langsung dikonsumsi semua. Kejadian ini yang membuat Titus semangat belajar saat program Sokola Asmat resmi dimulai.
Sehari-hari, selain bertugas di pustu, Titus pergi ke hutan membawa senapan yang dibebankan di bahu. Ia berburu binatang apa saja yang layak dikonsumsi yang ia temui di sepanjang jalan.
Pada kesempatan lain ia mendayung sampan ke tengah sungai untuk menjaring ikan dan udang. Itu di luar rutinitas utama pergi ke dusun sagu untuk memangkur sagu. Di sela kesibukan itu semua, Titus belajar bersama guru-guru di Sokola Asmat.
Tanah Papua, selain diberkati dengan sumber daya alam melimpah, juga dikaruniai talenta alamiah dalam olahraga sepak bola. Bahkan jauh ke pedalaman seperti di Kampung Mumugu Batas Batu, talenta-talenta itu melimpah ruah.
ADVERTISEMENT
Sepertinya, tak ada lelaki yang tak bisa bermain sepak bola. Lebih dari itu, kemampuan mereka di atas rata-rata. Titus Taima salah satunya.
Memanfaatkan lapangan pasir di tepi sungai utama yang melalui kampung, Titus rutin mengisi waktu luang dengan bermain sepak bola bersama teman-teman seusianya. Saat Sokola Asmat menentapkan hari jumat adalah hari olahraga, hanya sepak bola yang dipilih untuk dimainkan di hari itu, lain tidak.
Biasanya Titus memilih posisi penyerang kiri selama permainan. Kaki kiri yang lebih dominan dibanding kaki kanan menjadi alasan Titus memilih posisi dalam permainan.
Menyaksikan gaya permainan Titus di lapangan berpasir, mengingatkan saya akan kemunculan awal Boaz Solossa di tim nasional negeri ini. Pun begitu dengan anak-anak lainnya, membuat saya ternganga sembari geleng-geleng kepala.
ADVERTISEMENT
Saat mereka sudah turun ke lapangan dan memulai permainan, waktu seakan tak berguna, mereka memainkan si kulit bulat sejak pagi hingga senja tiba, atau jika di rasa sudah benar-benar lelah, atau ada urusan adat yang tak boleh ditinggalkan.
Titus Taima dan Perubahan di Pedalaman Papua (2)
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Faris Bobero
Di malam-malam gelap yang begitu sunyi, Titus kerap datang ke rumah guru untuk meminta pelajaran tambahan. Kadang ia datang bersama beberapa anak lain namun lebih sering seorang diri.
Kebiasaannya ini menyebabkan perkembangan kemampuan belajar Titus berkembang lebih pesat dibanding anak-anak Mumugu lainnya. Dengan pena di tangan kiri, Titus menyuntuki pelajaran yang diberikan semalam suntuk.
Perkembangan pesat yang dialami Titus membuatnya naik jabatan di pustu, bukan lagi sekadar petugas kebersihan. Titus mulai diperbantukan melayani dan memberikan petunjuk penggunaan obat, memberikan penyuluhan tentang air bersih dan sanitasi, serta beberapa pekerjaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Di dinding bagian belakang pustu, Titus menulis pengumuman berukuran besar berisi anjuran agar air yang hendak diminum agar direbus dahulu hingga mendidih. "Agar perut tidak sakit dan tidak berak cair." Begitu ia menulis alasannya.
Yang terbaru, Titus mendapat tugas tambahan setelah ia ikut belajar hampir satu tahun di Sokola Asmat. Setiap hari minggu saat misa di gereja, Titus dipercaya membaca beberapa ayat di Al Kitab atau membaca doa umat. Hampir setiap minggu Ia bergantian dengan beberapa anak lainnya mendapatkan tugas ini.
Titus Taima, dan anak-anak lain di Mumugu Batas Batu, berusaha menyerap pelajaran dari luar dan sistem kehidupan dari luar yang perlahan masuk hingga jauh ke kampung mereka di pedalaman Papua.
ADVERTISEMENT
Semua itu mereka harus hadapi sembari tetap berusaha menjalankan pola kehidupan yang sudah mereka lakukan hasil pendidikan adat setempat. Pendidikan yang mereka dapatkan dari orang tua, yang orang tua mereka dapatkan dari kakek nenek mereka, terus hingga nenek moyang dan leluhur mereka.
Ini semua mau tak mau harus mereka lakukan agar mereka tetap bisa menjadi tuan di tanah sendiri. Bukankah yang bisa bertahan dalam kehidupan ini adalah mereka yang mampu beradaptasi?
Dengan latar belakang keluarga, bukan tak mungkin tak akan lama lagi Titus dipilih menjadi Kepala Perang di Mumugu Batas Batu, jabatan tertinggi yang ada di Suku Asmat. Sambil menunggu kabar baik itu, tentu saja Titus akan tetap bermain sepak bola bersama anak-anak Mumugu Batas Batu lainnya.
ADVERTISEMENT